Kamis, 17 Desember 2015

Optimisme di Tengah Sejumlah Masalah Berat

Optimisme di Tengah Sejumlah Masalah Berat

Andreas Maryoto  ;  Wartawan Kompas
                                                      KOMPAS, 16 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada akhir tahun ini, Masyarakat Ekonomi ASEAN segera dibuka. Tantangan dan peluang baru pasti muncul. Menjelang tahun baru, kita bisa melihat perkembangan pembangunan infrastruktur yang menunjukkan perbaikan di berbagai tempat dan upaya perbaikan iklim investasi. Meski demikian, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, mulai dari pertumbuhan ekonomi yang menurun, nilai tukar yang melemah, hingga ketimpangan ekonomi yang masih lebar.

Warna-warni itulah yang akan ditemui ketika kita memasuki 2016. Ada optimisme menyongsong tahun baru, tetapi ada juga beban yang masih harus dipikul. Semangat optimisme sudah ditiupkan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. Presiden mengajak bangsa Indonesia untuk berani berkompetisi ketika pasar dibuka, salah satunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Pernyataan ini disambut karena pada kenyataannya sejumlah korporasi Indonesia sudah siap bersaing. Anak-anak muda yang menguasai teknologi digital juga tak kalah bersemangat menyambut ajakan Presiden.

Ajakan itu juga memperjelas keyakinan berbagai kalangan tentang sikap Indonesia memasuki MEA. Keraguan dan ketakutan terhadap pembukaan pasar bukan lagi sesuatu yang perlu muncul. Meski demikian, Jokowi mengingatkan semua pihak untuk cerdik dan memantau kemungkinan pihak-pihak yang terdampak dengan pembukaan pasar.

Keberanian untuk berkompetisi sudah barang tentu bukan jargon belaka. Persiapan menjadi bangsa yang kompetitif secara perlahan, meski terlambat, tengah dilakukan. Infrastruktur, seperti pembangkit listrik, jalan raya, pelabuhan, jalur kereta api, dan irigasi, tengah dibangun secara besar-besaran agar ongkos produksi menjadi murah. Sekali lagi, upaya ini terbilang terlambat di tengah bangsa lain yang sudah menyiapkan infrastruktur secara masif sejak puluhan tahun lalu. Meski demikian, kita masih bisa memperbaiki kekurangan ini.

Pemerintah juga mengeluarkan berbagai paket kebijakan secara beruntun sejak tiga bulan lalu. Deregulasi berbagai aturan mulai dirasakan di bawah. Ribuan aturan segera dipangkas. Kepastian sistem pengupahan dengan penetapan formula pengupahan yang berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan perhitungan kebutuhan hidup layak selama lima tahun memberi kepastian bagi dunia usaha.

Pelayanan satu atap yang dirintis pada awal pemerintahan Jokowi telah memotong sejumlah birokrasi. Pengurusan izin investasi, mulai dari izin prinsip investasi, pembuatan NPWP, hingga pembuatan akta perusahaan terbatas, yang semula memakan waktu beberapa minggu menjadi tiga jam.

Meski demikian, sejumlah izin masih belum dirasakan oleh para pengusaha karena terkesan sekadar memindahkan urusan dari kementerian teknis ke Badan Koordinasi Penanaman Modal. Kerja keras masih diperlukan agar investor asing berdatangan. Tahun depan, investasi menjadi penting karena bisa mendorong pertumbuhan ekonomi saat konsumsi diperkirakan masih datar.

Penurunan waktu inap peti kemas di pelabuhan (dwelling time) dari 6,33 hari pada Januari lalu menjadi 4,29 hari pada akhir November juga memberi citra positif dalam iklim investasi. Angka-angka itu masih jauh dibandingkan beberapa negara, tetapi perbaikan nyata akan makin mengundang banyak investasi. Kerja keras juga masih harus dilakukan sehingga arus barang menjadi kompetitif.

Langkah berani, yaitu lelang proyek infrastruktur di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, sejak dua bulan lalu menyebabkan penyerapan anggaran lebih cepat dan tidak menumpuk di akhir tahun. Setidaknya 10 persen anggaran sudah terserap pada awal tahun sehingga diharapkan ekonomi langsung bergerak di awal tahun meski harus diakui peran anggaran pemerintah dalam pertumbuhan tidaklah besar.

Di antara perbaikan itu, Indonesia masih menanggung beban masalah yang tidak ringan. Ekspor yang menurun menyebabkan pertumbuhan ekonomi juga menurun. Penurunan harga komoditas dunia menjadikan ekspor Indonesia lunglai. Kita masih mendasarkan ekspor pada sejumlah komoditas, seperti batubara, mineral tambang lain, dan komoditas pertanian. Hilirisasi dan pengembangan pasar nontradisional perlu dilakukan untuk menaikkan ekspor.

Masalah besar lain, pertumbuhan ekonomi yang tinggi beberapa tahun lalu ternyata tidak mengurangi ketimpangan. Dalam bahasa sederhana, yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.

Sejak 2009, ketimpangan di Indonesia melebar. Koefisien gini yang digunakan untuk mengukur ketimpangan naik dari 0,37 pada 2009 menjadi 0,41 pada 2013. Indikator lain, konsumsi. Pada 2002, nilai konsumsi 10 persen warga terkaya Indonesia setara dengan total konsumsi 42 persen warga termiskin. Pada 2014, nilai konsumsi 10 persen warga terkaya setara dengan konsumsi 54 persen warga termiskin.

Masalah ini perlu dicarikan penyelesaian. Ketimpangan akan menyebabkan masalah sosial yang tidak kalah rumit.

Terkait masalah fiskal, pemerintah masih harus mengejar penerimaan dari pajak untuk menutup defisit anggaran. Target pajak Rp 1.295 triliun hanya akan terpenuhi 85-87 persen. Pada tahun ini saja kemungkinan ada defisit sekitar 2,7 persen. Proyeksi awal, defisit hanya sekitar 1,9 persen.

Kekurangan ini harus ditutup dengan surat utang yang makin membesar. Sepertinya masih dibutuhkan cara-cara elegan dan kerja lebih keras untuk menarik pajak dari mereka yang selama ini belum tersentuh oleh kewajiban menjadi warga negara.

Masalah fiskal yang tidak kalah penting adalah APBD yang lambat disahkan dan sudah barang tentu penyerapannya pun lambat. Meski Kementerian Keuangan telah memberi sanksi kepada daerah yang lambat mengesahkan APBD, kejadian ini selalu berulang. Keadaan ini sangat menghambat pergerakan ekonomi di daerah.

Produksi pangan juga masih menjadi masalah besar. Pada akhir tahun ini, fenomena El Nino menyebabkan kemarau berkepanjangan. Dampaknya, pertanaman musim kedua atau musim kemarau terganggu sehingga stok pangan akhir tahun menipis. Dampak ikutannya, karena musim tanam pertama 20015/2016 juga akan mundur, stok awal tahun kecil. Ancaman inflasi pada Januari hingga Februari sangat nyata.

Impor beras yang dilakukan pemerintah harus digunakan untuk menekan inflasi. Untuk itu, pemerintah perlu cerdik mengendalikan harga beras. Setidaknya pemerintah perlu memperhatikan stok pangan yang dipegang swasta.

Sementara itu, peran industri digital diperkirakan akan makin naik, baik digerakkan oleh bisnis e-dagang maupun temuan aplikasi-aplikasi oleh anak muda. Ketergantungan masyarakat terhadap e-dagang semakin tinggi.

Kita berharap pertumbuhan bisa di atas 5 persen pada tahun depan. Konsumsi yang terjaga, investasi yang lebih besar, dan penyerapan anggaran yang lebih cepat dan lebih baik pada tahun depan menjadi syarat tercapainya pertumbuhan sebesar itu. Kita harus mengakui, pencapaian itu tidak mudah, tetapi cahaya harus dinyalakan di tengah keraguan dan ketidakpastian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar