Momentum Meluruskan Kiblat Industri Manufaktur
Enny Sri Hartati ; Direktur Institute for Development of
Economic and Finance
|
KOMPAS,
21 Desember 2015
Dampak
pelambatan kinerja ekonomi global, terutama pelambatan ekonomi Tiongkok,
berdampak pada harga komoditas. Sampai dengan beberapa tahun ke depan, harga
berbagai komoditas di pasar global diprediksi masih belum membaik. Tak
terkecuali berbagai komoditas andalan ekspor Indonesia, seperti kelapa sawit,
karet, kakao, juga mineral, serta minyak dan gas. Padahal, hampir 80 persen
ekspor Indonesia masih berupa komoditas tersebut. Kondisi ini tentu menjadi
tantangan cukup berat terhadap kinerja ekspor Indonesia.
Di sisi lain,
ironisnya ketergantungan impor bahan baku dan penolong industri juga cukup
tinggi. Hampir semua industri manufaktur memiliki ketergantungan bahan baku
dan penolong, termasuk industri untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat,
seperti industri farmasi, tekstil, alas kaki, dan makanan minuman.
Sebagai
contoh, sekalipun bahan baku untuk industri makanan minuman tersedia di dalam
negeri, tetapi karena kebutuhan kepastian pasokan, akhirnya dipenuhi oleh
impor. Sebagai negara agraris dan maritim, tentu ironis bagi Indonesia ketika
bahan baku seperti gula, garam, kulit, susu, dan daging sapi untuk industri
harus mengimpor. Belum lagi ketergantungan impor bahan penolong produk
kemasan, seperti plastik dan kaleng, yang mengambil porsi cukup besar dalam
biaya produksi.
Meskipun
demikian, di balik tantangan berat tersebut, mestinya justru dapat menjadi
peluang emas. Dengan masih rendahnya harga berbagai komoditas di pasar
global, dapat menjadi bahan baku yang tersedia relatif melimpah untuk
industri dalam negeri. Artinya justru menjadi momentum percepatan berbagai
hilirisasi industri yang berdaya saing. Waktunya bagi Indonesia untuk
menghentikan ekspor komoditas dan mengolah berbagai hasil sumber daya alam,
baik yang berasal dari perut bumi maupun di atas bumi. Demikian juga,
depresiasi nilai tukar rupiah sekitar 11 persen menjadi momentum untuk
membangun industri substitusi impor.
Proses
pengolahan komoditas melalui industri tidak hanya meningkatkan nilai tambah
dari komoditas, tetapi juga menggerakkan industri lain. Pengolahan sawit,
kakao, karet, dan komoditas lain akan menarik sektor belakangnya (backward linkage) ataupun sektor ke
depannya (forward linkage).
Berbagai agroindustri tidak hanya mendorong pertumbuhan sektor perkebunan,
tetapi juga mendorong sektor perdagangan dan semua sektor jasa. Setiap
produksi dan distribusi barang tentu membutuhkan dukungan sektor keuangan,
jasa transportasi, jasa komunikasi, jasa asuransi, periklanan, dan
sebagainya.
Perhitungan
penyerapan tenaga kerja pun tidak hanya dari penggunaan tenaga kerja pada
industri yang bersangkutan, tetapi juga dari dampak pengganda semua sektor
yang ikut tumbuh. Dengan demikian, dampak terhadap penerimaan pajak pun
berlipat. Tidak hanya sekadar penerimaan dari pungutan pajak bea keluar
ekspor komoditas, tetapi hampir semua komponen pajak akan menjadi obyek
penerimaan.
Kunci utama
menggerakkan industri manufaktur tentu harus ada investasi. Berbagai paket
stimulus fiskal pemerintah yang terpenting harus konkret dan efektif
menghilangkan kendala investasi. Berbagai insentif fiskal tentu akan menjadi
daya tarik investor. Namun, jika prasyarat dasar investasi belum mampu
terpenuhi, investasi tetap tidak akan terealisasi. Ketersediaan infrastruktur
dasar, seperti pasokan energi, sistem logistik yang efisien, dan juga air
bersih, lebih penting daripada insentif fiskal. Apalagi ketersediaan kawasan
industri, karena sesuai amanat UU Nomor 3/2014 tentang Perindustrian, semua
industri harus berada di kawasan industri.
Percepatan
pembangunan kawasan industri atas prakarsa pemerintah mutlak diperlukan,
terutama untuk luar Jawa. Di samping ketersediaan lahan, potensi pengembangan
industri berada di luar Jawa. Kondisi infrastruktur di luar Jawa yang
terbatas tentu belum mampu menarik minat investasi swasta untuk membangun
kawasan industri. Untuk itu, urgen dibutuhkan badan layanan umum yang
bertugas melakukan percepatan pembangunan kawasan industri atas prakarsa
pemerintah.
Menghadapi
tantangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), tentu kompetisi semakin ketat.
Pertarungan hanya akan dimenangi oleh industri yang efisien. Indonesia harus
mampu memetakan industri-industri yang memiliki daya saing. Faktor penentu
efisiensi dan daya saing dimulai dari ketersediaan bahan baku lokal dan
faktor produksi yang efisien. Tentu juga harus didukung oleh kualitas tenaga
kerja yang terampil dan memiliki keahlian. Sebagian besar industri yang
mengolah sumber daya masih pada level nilai tambah dan teknologi yang
terbatas.
Fokus
kebijakan pemerintah harus mampu meyakinkan semua pemangku kepentingan
terhadap komitmen program hilirisasi industri dan membangun industri dasar.
Perdebatan memprioritaskan industri substitusi impor (inward looking) atau industri
promosi ekspor (forward looking) sudah tidak lagi relevan. Ke depan,
kiblat industri harus yang betul-betul efisien dan dapat memenangi
persaingan. Baik persaingan di pasar global maupun persaingan di pasar
domestik sebagai antisipasi penetrasi impor dampak pemberlakuan MEA. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar