Menebak Akhir atau Awal Turbulensi
Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA
POS, 21 Desember 2015
ADA teori
bahwa untuk bisa naik ke tingkat yang lebih tinggi, harus bisa melewati
turbulensi. Adakah berbagai turbulensi yang terjadi selama tahun 2015
menandakan bahwa kita akan naik kelas di tahun 2016?
Ataukah masih
akan terjadi berbagai turbulensi susulan?
Radio bisnis
Pas FM minggu lalu menampilkan dua ekonom yang bisa menggambarkan dua sudut
pandang. Yang satu ekonom INDEF Dr Enny Sri Hartati. Satunya lagi Dr Purbaya
Yudhi Sadewa yang dikenal berada dalam lingkungan dekat istana.
Saya yang
tampil bersama mereka mengenal keduanya. Terutama Purbaya yang dulu pernah di
Danareksa, salah satu BUMN bidang keuangan.
Enny
menunjukkan betapa buruknya ekonomi kita di tahun 2015. Pengangguran
meningkat, kemiskinan meningkat, pertumbuhan ekonomi menurun, bahkan kualitas
pertumbuhannya pun menurun.
Penyaluran
kredit menurun, bahkan kredit kecil menurun drastis. Dari Rp 35 triliun tahun
2014 tinggal Rp 5 triliun tahun 2015. Neraca perdagangan negatif dan angkanya
bisa mengindikasikan lemahnya posisi rupiah di mata dolar.
Yang paling
dia sesalkan adalah: terjadinya deindustrialisasi selama 2015. Susah payah
kita membangun industri untuk bisa meningkatkan daya saing di ASEAN, kini
terjadi lagi arus balik meninggalkan industri. Angka pendaftaran investasi
memang naik, tapi, katanya, yang merealisasikannya hanya 50 persennya.
Enny
menampilkan angka-angka yang lengkap dan terperinci untuk mendukung pendapatnya
itu.
Sejelek
itukah kita?
”Saat ini
arah ekonomi sudah berbalik. Sudah kembali naik,” ujar Purbaya. ”Ini karena
Bapak Presiden (Jokowi) mau mendengarkan masukan saya,” guraunya.
Waktu itu
Purbaya memang menjabat deputi pengelolaan isu strategis kepala staf
kepresidenan. Tapi, sejak kepala stafnya berganti dari Luhut Pandjaitan ke
Teten Masduki, doktor dari Purdue University, Indiana, Amerika Serikat, itu
mengundurkan diri. ”Agar bisa bicara bebas,” katanya.
Saat menjabat
di lingkungan istana pun, Purbaya mengaku tidak segan ngomong apa adanya
kepada presiden. Termasuk kritik yang paling pedas.
”Kalau garis
ini sampai melewati ini,” katanya sambil menunjukkan grafik yang terus
menurun, ”Bapak Presiden bisa jatuh.”
Purbaya
lantas menunjukkan grafik saat Pak Harto jatuh dan ketika Gus Dur jatuh dari
jabatan presiden. Waktu Purbaya bicara dengan Presiden Jokowi, pertengahan
tahun tadi, gambaran grafiknya mirip-mirip itu.
”Untung Pak
Presiden segera ambil langkah. Rupanya perlu ditakut-takuti,” ujarnya dengan
nada bergurau.
Grafik
ekonomi yang segawat itu juga terjadi tahun 2009. Saat Pak SBY menjadi
presiden. Tapi, Pak SBY langsung ambil langkah untuk membalikkannya. Dan
berhasil gemilang.
Jadi, kata
Purbaya, tiga bulan terakhir ini sebenarnya ekonomi sudah menunjukkan arah
yang membaik. Memang, jelas dia, masih harus waspada. Kalau lengah masih akan
berbahaya di bulan Maret nanti.
Jadi, kita
bisa berharap tahun depan ekonomi membaik. Sedikit. Bukan meroket. Setidaknya
tidak akan seburuk 2015: tahun yang penuh turbulensi. Ekonomi maupun politik.
Adakah kasus
”papa minta saham” ini akhir dari turbulensi? Atau awal dari turbulensi yang
lebih besar?
Kalaupun
turbulensi politik masih berlanjut, pengaruhnya pada ekonomi tidak akan
banyak. Pelaku ekonomi sudah kian kebal dari guncangan politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar