Perempuan
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
|
KORAN
SINDO, 20 Desember 2015
Seorang
perempuan Arab dieksekusi oleh ayahnya sendiri. Ditenggelamkan sampai mati di
kolam renang di belakang rumah, gara-gara tertangkap basah oleh polisi
syariah ketika sedang berkencan dengan bule (orang kulit putih).
Perempuan
lain, juga di Arab Saudi, seorang ABG berumur 13 tahun, dihukum rajam sampai
mati gara-gara hamil setelah diperkosa teman-teman abangnya yang mabuk,
ketika orangtua mereka ke luar kota dan abangnya itu mengajak teman-temannya
ke rumah untuk pesta miras.
Para
pemerkosanya tidak ada yang kena hukuman karena semua ingkar, sedangkan si perempuan
ABG tidak bisa menghadirkan saksi untuk membuktikan bahwa dia memang
diperkosa.
Di sisi lain,
anak laki-laki dari seorang bangsawan kerabat dekat raja Arab Saudi, malah
dibelikan mobil merek Porsche walaupun ia ketahuan menyimpan majalah Playboy,
dan ketika berlibur ke Mesir dengan kawannya pernah ”memesan” seorang anak
perempuan berumur 9 tahun untuk diperkosa.
Padahal
ketika dibelikan mobil mewah itu, ABG laki-laki itu baru berumur 11 tahun.
Masih ada
lagi. Ketika Kuwait diserbu tentara Irak di bawah komando Presiden Saddam
Husein, banyak penduduk Kuwait melarikan diri ke Arab Saudi. Para perempuan
Arab Saudi tercengang, ketika mereka melihat ada wanita-wanita Arab (Kuwait)
mengemudikan mobil dan tidak bercadar, sementara perempuan Arab Saudi sendiri
dilarang keras untuk sekolah, apalagi mengemudi mobil dan harus selalu
bercadar setiap keluar rumah.
Pada masa itu
pula, seorang putri bangsawan (princess)
Arab Saudi bernama Sultana (nama samaran) menyaksikan bagaimana adik kandung
yang paling dicintainya dan paling cantik di antara saudari-saudari perempuannya,
dikawinpaksakan dengan pria teman bisnis ayahnya (yang tentu saja seusia
ayahnya) sebagai istri ketiga, dan sesudah menikah diperlakukan seperti bukan
manusia ketika berhubungan suami-istri. Beruntung Sultana, dengan bantuan
suaminya, berhasil memaksakan perceraian antara adiknya dan suaminya tua-bangka
yang bernaluri hewan itu.
Tetapi itu
Arab Saudi zaman dulu, yaitu sebagaimana dikisahkan oleh Putri (Princess) Sultana (nama samaran)
tentang pengalaman pribadinya sebagai Princess
of Saudi Arabia kepada sahabatnya, seorang wartawan Amerika bernama Jane
Sasson, yang kemudian menerbitkan kisah-kisah itu dalam sebuah buku berjudul ”The Princess: The True Story of Life
Inside Saudi Arabias Royal Family”. Buku itu diterbitkan pada 1992, dan tentunya
pengalaman-pengalaman Sultana telah terjadi minimal 23 tahun sebelum hari
ini, jadi sampai sekarang kisah-kisah yang mencengangkan di Arab Saudi itu
sudah berselang sekitar 25 tahunan yang lalu.
Sekarang,
kondisi di Arab Saudi mudah-mudahan sudah jauh lebih baik. Perempuan Arab
Saudi hari ini (2015) sudah boleh memilih dan dipilih di parlemen. Ada
beberapa orang perempuan yang benar-benar masuk dan menjadi anggota parlemen.
Perempuan-perempuan ini boleh tidak memakai cadar, dan di Arab Saudi keadaan
kerajaan masih aman terkendali. Walaupun demikian, keadaan di Arab Saudi
sangat terlambat dibandingkan dengan Indonesia.
Di
Yogyakarta, Indonesia, pada 22 Desember 1928 telah diselenggarakan Kongres
Perempuan pertama, di mana ibu saya (sekarang 93 tahun) ikut hadir sebagai
peserta termuda (umurnya baru empat tahun ketika itu), karena diajak oleh
ibundanya (eyang putri saya), Siti Zahra, yang membawakan
salah satu makalah dalam kongres itu. Siti Zahra sendiri adalah istri
Raden Goenawan (eyang kakung saya), ketua Sarikat Islam Batavia ketika itu.
Tahun 1928 ke
2015, selisih 82 tahun. Apalagi kalau ditarik lagi ke era RA Kartini pada
1904, berarti Arab Saudi ketinggalan 111 tahun dari Indonesia dalam hal
hak-hak perempuan. Padahal zaman Kartini, walaupun ketika itu Indonesia masih
dijajah Belanda, tidak ada perempuan dihukum mati secara kejam seperti itu.
Kartini hanya beraksi keras, karena dia dijadikan
istri kedua, dan dia merasakan betapa tidak adilnya perlakuan kepada
perempuan yang hak-haknya sangat dibatasi, termasuk hak untuk memperoleh
pendidikan. Kegalauan Kartini disuarakan lagi oleh eyang Siti Zahra dan
aktivis-aktivis perempuan lainnya pada 1928 dan seterusnya hingga sekarang.
Sehingga ibu saya, istri saya, anak, dan menantu-menantu saya, serta
cucu-cucu saya hari ini bisa menikmati pendidikan yang setinggi-tingginya.
Alhamdulillah, semua itu diperjuangkan Kartini dan penerus-penerusnya melalui
jalur Islam.
Walaupun
demikian, saya melihat bahwa belakangan ini Islam justru dijadikan alasan
untuk kembali mendiskriminasikan perempuan. Kalau tidak salah, di Kota (atau
Kabupaten?) Tangerang seorang ibu guru kemalaman dari sekolah dan belum
mendapat angkot untuk pulang ke rumah, ketika dia dicokok Satpol PP dengan
alasan melanggar perda (perempuan dilarang berada di luar rumah pada malam hari
tanpa dikawani muhrim). Maka dua hari dia pun hilang dari keluarganya, karena
HP-nya pun ikut disita oleh petugas. Di Aceh, perempuan dilarang membonceng
motor dengan mengangkang dan dilarang naik ojek, karena si tukang ojek bukan
muhrimnya. Kalau diskriminasi terhadap perempuan dan degradasi terhadap
hak-hak perempuan seperti itu dilanjutkan,
bukan tidak
mungkin kita mundur ke zaman Afghanistan ketika dikuasai kaum Taliban, di
mana laki-laki tak berjenggot bisa digantung dan janda-janda tidak bisa
bekerja untuk memberi makan anak-anaknya, karena tidak punya muhrim (suami)
yang bisa menemaninya ke tempat kerja.
Mudah-mudahan
Indonesia tidak akan menjadi Afghanistan zaman Taliban, tetapi mencermati
bagaimana Islam dipermainkan untuk tujuan-tujuan yang tidak islami, maka
ngeri juga kan ? Karena itu, kita yang dalam ilmu sosial dinamakan arus utama
(mainstream) dari umat Islam di
Indonesia, tidak boleh tinggal diam.
Entah bagaimana
caranya harus kita lawan mereka-mereka yang mau membawa Islam ke jalan yang
salah dengan menguatkan suara (vokal) kita untuk mengembalikan Islam ke jalan
yang benar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar