Masih Bersama Ekonomi Utang
Ronny P Sasmita ; Analis Ekonomi-Politik Internasional
Financeroll Indonesia
|
SINAR
HARAPAN, 17 Desember 2015
Utang luar
negeri (ULN) Indonesia pada kuartal III tahun ini tampaknya semakin berisiko.
Pasalnya, rasio pembayaran pokok dan bunga atas utang jangka panjang serta
pembayaran bunga atas utang jangka pendek atau debt service ratio (DSR) triwulan naik menjadi 60,40 persen.
Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan DSR triwulan II/2015 yang tercatat
59,90 persen. Sementara itu, DSR tahunan pada triwulan III/2015 tercatat
57,47; naik dari posisinya di triwulan sebelumnya yang terhitung 53,42
persen.
Menurut sebagian
besar analis, kondisi utang saat ini memang menggambarkan kemampuan membayar
utang RI yang kian melemah. Pasalnya, rasio beban utang yang ditanggung
Indonesia ternyata dua kali lipat dari batas wajar yang ditentukan International Monetary Fund (IMF).
Batas wajar DSR yang ditentukan IMF berkisar 30-33 persen.
Mau tak mau,
tekanan depresiasi rupiah dan kinerja ekspor yang kian melemah akan menjadi double hit pressure atas pembayaran
ULN. Kenaikan DSR hingga 60,45 persen memiliki arti, penerimaan ekspor
barang, jasa, dan transfer pendapatan akan
habis untuk membayar ULN. Jika ekspor terus melambat, ini tentu
membahayakan.
Bahayanya
lagi, dalam kondisi yang bersamaan, realisasi penerimaan pajak masih sangat rendah. Tentu kedua hal ini
menjadi peringatan bagi pemerintah dalam mencari pinjaman guna menutup
defisit fiskal hingga akhir tahun. Pasalnya, membesarnya DSR akan memberikan
sentimen negatif bagi investor.
Kekhawatiran
atas default hutang dan ketakutan atas semakin memburuknya ekonomi domestik tentu
menjadi pertimbangan utama investor dalam memutar uangnya di dalam negeri.
Ditambah pula, instabilitas mata uang rupiah akan memperparah tingkat bahaya
ekonomi domestik karena akan langsung menekan industri yang berbasiskan
barang impor beserta harga-harganya.
Jika
diselisik secara detail, berdasarkan laporan statistik ULN Bank Indonesia
(BI), posisi ULN Indonesia triwulan III/2015 turun US$ 2,1 miliar menjadi US$
302,4 miliar dibandingkan utang luar negeri kuartal II/2015. Pelambatan
pergerakan utang ini didorong menurunya ULN swasta senilai US$ 1,7 miliar,
terutama ULN dari sektor bank. Sementara itu, ULN sektor publik juga tercatat
turun US$ 0,4 miliar, terutama ULN dari pemerintah.
Pada triwulan
III/2015, pangsa ULN sektor swasta masih lebih tinggi dibandingkan sektor
publik. ULN swasta tercatat 55,6 persen atau sebanyak US$ 168,2 miliar.
Sementara itu, pangsa ULN sektor publik mencapai 44,4 persen atau US$ 134,2
miliar. Pada triwulan III, BI juga melaporkan perlambatan pertumbuhan utang
RI dibandingkan triwulan sebelumnya; dari 6,2 persen (yoy) menjadi 2,7 persen
(yoy).
Tak bisa
dimungkiri, perlambatan ULN Indonesia, terutama dari pihak swasta, merupakan
imbas depresiasi nilai tukar rupiah yang cukup dalam selama September 2015.
Meski ekonomi mulai membaik pada kuartal III, swasta masih menahan posisi
ULN.
Selain faktor
depresiasi mata uang, perlambatan ULN swasta terjadi seiring pelonggaran
moneter BI yang menurunkan giro wajib minimum (GWM) dari 8 persen menjadi 7,5
persen. Kebijakan ini diperkirakan membuat swasta melakukan pinjaman di dalam
negeri karena likuiditas perbankan mulai meningkat.
Jika
dicermati dari sisi BI, perkembangan ULN pada triwulan III/2015 dianggap
masih cukup sehat. Setidaknya demikian yang pernah disampaikan Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi
BI, Tirta Segara, beberapa waktu lalu. Namun demikian, sebagaimana yang juga
dikhawatirkan Tirta Segara, meningkatnya risiko ULN terhadap perekonomian
(produk domestik bruto/PDB) layak diwaspadai jika rupiah semakin tak terkendali.
Optimisme
Dari sisi
mata uang rupiah, ternyata belum ada kepastian karena masih terombang-ambing
berbagai faktor yang berkaitan satu sama lain. Selain faktor ancaman
melandainya harga komoditas global akibat terseok-seoknya harga minyak dunia,
membaiknya data tenaga kerja Amerika Serikat (AS) yang dirilis awal bulan
November lalu benar-benar menjadi ujian bagi rupiah menjelang Desember
ini.
Pasalnya,
gembar-gembor rencana kebijakan kenaikan suku bunga kredit AS terus berhmbus. Optimisme bukan saja terlontar dari
para petinggi The Fed yang masuk dalam komite pengambil kebijakan, melainkan
juga oleh para ekonom dan pelaku pasar. Mereka mewanti-wanti ancaman ekonomi
domestik AS yang akan mengalami overheating jika suku bunga tidak juga dinaikan.
Jadi,
penguatan sementara mata uang rupiah sejak akhir September lebih disebabkan
sentimen teknikal yang juga bersifat sementara. Karena jika dilihat dari
persepktif yang lebih luas, rupiah justru sedang berada di bawah
bayang-bayang yang mengkhawatirkan, yakni kenaikan suku bunga The Fed,
perlambatan ekonomi Tiongkok yang kian mencemaskan, dan tertekannya harga
komoditas ekspor andalan Indonesia akibat melandainya harga minyak dunia.
Ketiga
bayang-bayang gelap ini berjalin kelindan satu sama lain. Kebijakan
pengetatan moneter AS akan menambah otot dolar terhadap semua mata uang
rivalnya dan menekan harga minyak dunia. Nah, harga minyak dunia yang kian
melantai akan menekan harga komoditas ekspor andalan Indonesia. Ini
serta-merta memangkas pemasukan negara dari sisi pajak komoditas nonmigas.
Demikian pula
dengan perlambatan ekonomi Tiongkok, mau tak mau ini mengancam stabilitas
neraca perdagangan Indonesia-Tiongkok karena memburuknya prospek permintaan
atas komoditas nonmigas dari Negeri Tirai Bambu. Pasalnya, berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru, Tiongkok adalah negara mitra dagang
kedua terbesar Indonesia untuk komoditas nonmigas, setelah AS. Kondisi ini
serta-merta meregangkan otot rupiah, menjulangkan nilai mata uang Negeri
Paman Sam, dan mempertebal ancaman capital
outflow yang pada ujungnya meningkatkan level risiko ULN terhadap PDB (depth ratio to PDB). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar