Khotbah Jumat tentang Freeport
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 19 Desember 2015
Khatib
(pemberi khotbah) salat Jumat di kampung saya kemarin siang memberi nasihat
kepada jamaah agar tidak suka saling memojokkan, saling menjelekkan, dan
mempermalukan orang lain di depan umum. Kata sang Khatib, orang bertakwa
tidaklah memfitnah atau melakukan ghibah terhadap orang lain. Fitnah adalah
menyebarkan isu atau berita yang tidak benar tentang orang lain, sedangkan
ghibah adalah memberitakan kejelekan orang lain yang memang ada dan terjadi.
Khatib melanjutkan, agama melarang kita membuat fitnah, agama melarang kita
melakukan ghibah, agama tidak
membolehkan kita saling menjelekkan orang lain di depan umum.
Agama
mengajarkan kasih sayang dan saling menghormati. Rupanya Khatib merasa bising
dan terganggu oleh kegaduhan di televisi. Dia memberi contoh perdebatan
tentang isu PT Freeport Indonesia yang menghadirkan (mantan) Ketua DPR Satya
Novanto ke panggung kontroversi pemberitaan.
Kasus Setya
Novanto yang dikenal dengan kasus #PapaMintaSaham memang telah menimbulkan
kegaduhan dan saling tuding. Ada yang menyerang Novanto dan menjadikannya
sebagai objek bulan-bulanan sebagai pelanggar etika sesuai dengan laporan
Menteri ESDM Sudirman Said dan kesaksian Maroef Samsoedin. Ada yang membela
Novanto dengan segala macam ekspresi sambil juga menyerang pihak Sudirman
Said dan Maroef Samsoedin.
Semuanya
berteriak dan saling tuding, di Gedung DPR, di koran, di forum diskusi, di
media sosial, dan, yang paling seru di televisi dengan stasiunnya masing-masing.
Kata sang Khatib, semua itu dosa. Agama kita melarang saling fitnah karena
fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Tak boleh sembarang menuduh orang
kalau tidak ada buktinya. Agama kita melarang ghibah, agama kita melarang
kita bertengkar dengan orang lain dan mengharuskan kita saling menyayangi.
Agama kita
melarang kita banyak berprasangka Hal yang dikatakan oleh Khatib itu benar
semua, tetapi tidak semua yang benar dikatakannya. Dalil-dalil dari Alquran
maupun hadis Nabi, yang dia jadikan dasar argumen untuk mengingatkan jamaah
adalah benar semua. Banyak ayat Alquran dan hadis yang melarang kita
memfitnah, ber-ghibah, menudingnuding orang di depan umum, dan berprasangka.
Tetapi ada
hal lain yang juga benar yang tidak disampaikan oleh Khatib, yakni
dalil-dalil yang mewajibkan kita menegakkan kebenaran dengan tegas. Dalam
keadaan tertentu, demi kebenaran dan keadilan, kita justru harus berani
membongkar kesalahan orang lain sesuai dengan jalur-jalur dan cara-cara yang
tersedia. Bukan karena ingin memojokkan dan mempermalukan orang lain,
melainkan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.
Ada hadis
Nabi, ”Barang siapa di antara kamu
melihat kemungkaran maka perbaikilah itu dengan tanganmu (kekuasaan, jika
engkau mempunyai kekuasaan), jika tidak bisa memperbaiki dengan kekuasaan
maka perbaikilah itu dengan lisanmu (nasihat, diskusi, debat agar menjadi
jelas), dan jika tidak bisa memperbaiki dengan kekuasaan atau nasihat dan
pendapatmu, perbaikilah itu dengan hatimu (melalui doa)”.
Jadi,
berdasarkan hadis Nabi tersebut justru kita tidak boleh diam kalau melihat
kemungkaran atau pelanggaran terhadap hak-hak rakyat, asalkan jangan membuat
fitnah. Dalam kehidupan sehari-hari yang normal memang hidup harus dibangun
dengan penuh kedamaian, tidak saling menjatuhkan, tidak saling mengejek, dan
tidak saling membuka aib orang lain.
Tetapi dalam
keadaan tidak normal, misalnya, jika ada orang melakukan pelanggaran atas
hak-hak masyarakat, maka kita bukan hanya boleh mempersoalkannya, melainkan
wajib melakukan tindakan nyata, dari menggunakan kekuasaan negara sampai
berteriak-teriak agar hukum dan etika ditegakkan. Itulah jalan (syariat)
dalam Islam. Islam selalu memberi jalan bagi niat baik dan kebaikan.
Berlaku baik
itu bisa dilakukan melalui kesantunan dan saling menghormati seperti dilarang
memfitnah dan melakukan ghibah.
Tetapi bisa juga niat baik itu dilakukan dengan tegas dan berteriak keras
membongkar kesalahan orang lain. Ini sama halnya dengan larangan
berprasangka. Di dalam Alquran misalnya ada larangan berprasangka karena
berprasangka itu dosa.
Tetapi bukan
berarti berprasangka itu benar-benar dilarang. Prasangka bisa dilakukan untuk
menegakkan kebaikan. Orang melakukan kejahatan saja diselidiki lebih dulu
melalui dugaan dan sangkaan, masa prasangka dilarang? Prasangka itu boleh
kalau untuk menyingkap kebenaran.
Di dalam
Alquran Surat Al- Hujurat ayat 12, larangan prasangka hanya ditujukan untuk
sebagian saja, bukan untuk semua prasangka. Ayatnya berbunyi, ”Jauhilah olehmu banyak prasangka karena
sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa.” Jelas sekali ayat Alquran
menyebut bahwa sebagian prasangka saja yang dosa.
Artinya, ada
prasangka yang bukan dosa, malah menjadi berpahala jika itu dimaksudkan untuk
memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Kitab suci Alquran dan sunah Rasul
menyediakan semua dalil yang diperlukan untuk melakukan apa pun asal dengan
niat yang baik, tulus, dan benar. Innamal
aInnamal amaalu bin-niyaat, ”Sesunggunya
baik dan buruknya perbuatan itu tergantung pada niat,” demikian sabda
Nabi.
Dalam
gaduh-gaduh soal Freeport ini, tak perlulah kita merasa takut untuk menilai
dan berteriak tentang terjadinya ketidakbenaran yang diduga kuat dilakukan
oleh pejabat, apa pun jabatannya. Yang penting kita bersikap adil, jangan
hanya menyasar satu pihak, misalnya hanya SN atau hanya SS. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar