Jokowi Tak Mampu Marahi Rupiah
Ronny P Sasmita ; Analis Ekonomi Politik Internasional
Financeroll Indonesia
|
HALUAN,
16 Desember 2015
Mata pelaku bisnis
tentu tak pernah lepas menyoroti rupiah yang kembali terjerembab ke posisi
14.000. Dengan fluktuasi mata uang yang ada, mau tak mau, dunia bisnis harus
kembali memasang target konservatif dalam agenda bisnis tahun depan karena
rupiah kembali dalam posisi beberapa bulan lalu, yakni posisi kurs yang
susah dipegang.
Diperkirakan, tren penurunan rupiah juga
memaksa pengusaha menyiapkan skenario terburuk dalam penentuan asumsi
nilai tukar rupiah. Karena, asumsi kurs rupiah terhadap dollar AS yang
tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2016
sebesar 13.400 sulit untuk dipertahankan. Bagaimanapun, bagi sejumlah pebisnis,
patokan kurs selevel itu sudah tidak realistis dan tak relevan lagi. Akhirnya,
meereka harus berani membuat patokan kurs sendiri dalam rentang Rp
13.500-Rp 14.500 per dollar AS.
Demikianlah suara-suara dunia bisnis yang
marak saya baca belakangan ini di harian-harian ekonomi nasional dan
regional. Faktanya, sejak Agustus 2015 rupiah tak pernah menyentuh 13.400.
Selain itu, di luar konteks kurs mata uang, masih banyak juga faktor
lain yang membuat bisnis tahun depan tampak suram. Mulai dari daya beli
masyarakat yang tak membaik, pelaksanaan mega proyek infrastruktur
pemerintah masih tanda tanya, ekonomi global yang masih lesu, hingga harga
komoditas yang masih tertekan tak karuan.
Singkat cerita, ditengah kondisi yang jauh
dari kepastian tersebut, salah satu harapan dunia usaha adalah bahwa
tahun depan rupiah bisa stabil, tidak terlalu liar seperti tahun sekarang.
Proyeksi pergerakan mata uang garuda yang bisa dipegang adalah hal
yang penting. Dengan proyeksi yang relatif valid dan kredible, maka
pengusaha bisa membuat perhitungan biaya yang lebih pasti, terutama industri
yang mengandalkan bahan baku impor.
Sebut saja misalnya untuk industri farmasi. Fluktuasi
nilai tukar akan mempengaruhi beban perusahaan. Dengan asumsi rupiah yang
stabil, plus laju belanja pemerintah yang relatif lancar, maka prediksi
pertumbuhan bisnis farmasi secara umum bisa sangat optimis. Berdasarkan
analisa yang berkembang, jika rupiah stabil, maka pertumbuhan industri
farmasi bisa mencapai 11% tahun depan.
Namun jika yang terjadi justru berlawanan
dengan harapan, niscaya laju industri farmasi makin terberatkan. Jika
pertumbuhan terhambat, tidak hanya dividen untuk pemegang saham dan
keuntungan korporat yang menipis, tapi ekspansi bisnis yang diperkirakan
akan membantu pertumbuhan lapangan kerja baru juga akan terhambat.
Selain itu, Rupiah yang stabil diperkirakan
juga akan menjadi harapan pebisnis makanan dan minuman. Hal ini tentu sangat
bisa dipahami karena sekitar 25% bahan baku industri makanan masih mengandalkan
impor. Mulai dari terigu, gula, hingga kemasan produk. Saat rupiah lemah,
otomatis beban impor akan naik, yang bisa membebani biaya produksi.
Dilemanya, pelaku bisnis di sektor ini tentu harus berpikir seribu kali untuk
menaikkan harga jual saat daya beli konsumen melorot karena akan sangat
berpengaruh terhadap demand dan pangsa pasar.
Buruknya performa rupiah saat hari libur
nasional Pilkada langsung terutama disumbang oleh kepercayaan pelaku
pasar yang merosot terhadap perekonomian Tiongkok. Imbasnya, rupiah sempat
menyentuh lagi level Rp 14.000 yang selama ini dihindari. Di pasar spot hari
Rabu (9/12), posisi rupiah terpuruk 0,88% ke level Rp 14.016 per dollar AS
dibanding hari sebelumnya. Sedangkan kurs tengah Bank Indonesia sedang
libur ketika itu alias tanpa perdagangan.
Walaupun data inflasi China dirilis positif di
bulan November 2015 menjadi 1,5% dari sebelumnya sempat bertengger di level
1,3%. Namun data itu dianggap kurang signifikan dan belum mengindikasikan
pemulihan perekonomian China sama sekali. Karena sehari sebelum data
inflasi dirilis, data neraca perdagangan China untuk bulan November 2015 ternyata
surplusnya merosot dari 393 miliar yuan menjadi 343 miliar yuan. Dengan
level impor yang turun 5,6% dan ekspor turun 3,7% dibanding tahun sebelumnya.
Bahkan cadangan devisa China pun ikut turun dari $ 87,2 miliar.
Dengan kondisi yang demikian, tanggal 9
Desember 2015 lalu China mengambil kebijakan lanjutan untuk membiarkan
nilai tukar yuan melemah terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Hal ini
terjadi setelah Negeri Panda tersebut memotong tingkat referensi yuan ke
level terlemah sejak tahun 2011. Setelah masuk ke keranjang Special
Drawing Rights (SDR) Dana Moneter Internasional, Pemerintah China
secara bertahap membiarkan depresiasi yuan secara bertahap pula. Otoritas
terkait akhirnya menepati janji untuk tak akan lagi mendevaluasi yuan
seperti sebelumnya.
Jadi tertanggal 9 desember 2015 kemaren, China
menetapkan kurs tengah yuan di level 6,4140 per dollar AS. Sebelumnya, kurs
tengah yuan dipatok pada level 6,4078 per dollar AS. Sehingga mau tak mau
kurs yuan akan menjadi lebih sensitif terhadap dollar AS. Menurut para
analis, China sedang melakukan stress test di pasar mata uang sebelum Bank
Sentral AS menaikkan suku bunga untuk melihat apakah ada kepanikan di
pasar atau tidak. Dan faktanya memang demikian, di bursa Shanghai, yuan jatuh
0,14% menjadi 6,4172 per dollar AS setelah kebijakan tersebut. Bahkan
sejak 10 Agustus 2015, kurs yang juga dikenal dengan sebutan renminbi itu
telah merosot 3,4%.
Pelemahan yuan tentu mempunyai sisi irisan dengan
niatan pemerintah Tiongkok yang ingin menggenjot eksport karena hasil
produksi negara panda ini akan menjadi lebih murah dipasaran. Namun bagi negara
seperti Indonesia, pelemahan yuan akan berimbas kurang positif karena diperkirakan
akan terjadi serbuan produk-produk China di pasaran domestik dan akan
memperlebar angka minus perdagangan antara China dan Indonesia, yang kemudian
akan memberikan tekanan ada mata uang Rupiah.
Selain faktor tiongkok, meningkatnya
ekspektasi kenaikan tingkat suku bunga The Fed atau Bank Sentral Amerika
juga kerap menggangu vitalitas Rupiah, ditambah dengan kian merosotnya harga
komoditas andalan ekspor Indonesia akibat harga minyak dunia yang terus
terjun bebas.
Nah, ketika rupiah berada ditengah kepungan
yang demikian pelik tersebut, publik hanya bisa menikmati aksi-aksi
para elit politisi yang tak henti-hentinya dirundung masalah. Mereka saling
baku hantam dan saling jual kebolehan dalam hal bongkar pasang aib masing-masing
tanpa pernah ingat untuk apa mereka didaulat menjadi politisi.
Apapun itu, catatan penting dari saya terkait
masalah rupiah dan politisi ini adalah bahwa semarah apapun Jokowi, bahkan
jikapun kemarahannya menjadi headline di semua media utama
nasional, Rupiah akan tetap begitu dan seperti itu, karena yang dibutuhkan
oleh rupiah bukanlah kemarahan dan relasi konfliktual yang tak berbasiskan
kepentingan rakyat, tapi kebijakan yang benar-benar berdasarkan pada
kondisi fundamental yang ada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar