Kontrak
Karya Freeport
Hikmahanto Juwana ; Guru Besar Hukum Internasional Universitas
Indonesia
|
KOMPAS,
31 Desember 2015
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said saat
memberi keterangan di depan Mahkamah Kehormatan Dewan menyampaikan bahwa
siapa pun pemerintahnya akan menghadapi dilema terkait kontrak karya PT
Freeport Indonesia yang ujungnya mau tidak mau harus memberikan perpanjangan
kontrak kepada PT Freeport Indonesia.
Alasannya, menurut Sudirman, ada pasal dalam kontrak karya
Freeport yang menentukan Freeport berhak meminta perpanjangan kontrak kapan
saja selama masa kontrak. Kemudian, apabila tidak ada hal yang luar biasa,
pemerintah tidak bisa menunda pemenuhan permintaan perpanjangan tersebut.
”Lex
specialis”
Dilema yang disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral benar apabila kontrak karya Freeport dianggap sebagai lex specialis. Dalam ilmu hukum memang
ada doktrin yang mengatakan bahwa ketentuan yang khusus akan mengesampingkan
ketentuan yang umum (lex specialis
derogat legi generali). Sejak lama kontrak karya Freeport dianggap
sebagai lex specialis dari ketentuan-ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Padahal, ini suatu hal yang keliru.
Lex specialis derogat legi generali mendasarkan pada produk
hukum yang sejenis, semisal undang-undang yang khusus akan mengesampingkan
undang-undang yang umum. Namun, ini tidak berlaku bagi perjanjian yang
merupakan produk hukum yang berbeda jenis dengan peraturan
perundang-undangan.
Jika perjanjian antarsubyek hukum perdata bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, tidak bisa diberlakukan lex specialis derogat
legi generali. Ketentuan yang berlaku adalah Pasal 1320 dan Pasal 1337 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Pasal 1320 yang menentukan syarat sahnya suatu perjanjian
menyebutkan ada empat elemen yang harus dipenuhi, yaitu kesepakatan,
kecakapan, hal tertentu, dan kausa/alasan yang halal. Terkait kausa yang
halal dijelaskan secara negatif dalam Pasal 1337 KUHPerdata, yaitu ”Suatu sebab adalah terlarang jika sebab
itu bertentangan dengan undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan
kesusilaan atau dengan ketertiban umum”.
Lalu, mengapa kontrak karya Freeport dahulu dianggap sebagai lex specialis?
Diduga ini merupakan keinginan dari Freeport McMoRan terhadap
Pemerintah Indonesia yang saat itu memiliki posisi tawar lemah. Freeport
McMoRan sebagai investor tidak ingin mendapat gangguan dari pemerintah
sebagai regulator dalam masa kontrak karya. Bentuk gangguan tersebut berupa
penerbitan berbagai peraturan perudang-undangan yang bisa berdampak negatif
bagi Freeport McMoRan.
Ini dilakukan karena kecenderungan pemerintah di negara
berkembang kerap menerbitkan peraturan perundang-undangan sesuka hati yang
memunculkan ketidakpastian.
Dalam konteks demikian, tidak heran jika dalam kontrak karya
diatur ketentuan mengenai perpajakan yang diberlakukan secara nail down. Maksud nail down adalah terhadap kontrak karya berlaku ketentuan
perpajakan pada saat kontrak karya ditandatangani. Ketentuan perpajakan
tersebut akan berlaku terus dan tidak berubah hingga jangka waktu berakhirnya
kontrak karya. Ini terlepas ketentuan perpajakan tersebut telah mengalami
perubahan dari waktu ke waktu.
Dasar untuk memberlakukan kontrak karya sebagai lex specialis
terhadap undang-undang adalah baik kontrak karya maupun undang-undang
disiapkan oleh pemerintah yang selanjutnya mendapat persetujuan dari DPR.
Argumentasi ini mengandung kelemahan. Pertama, meski disiapkan
oleh pemerintah dan disetujui oleh DPR, keduanya secara hukum merupakan dua
jenis produk hukum yang berbeda, yaitu perjanjian dan undang-undang. Kedua,
pada waktu Freeport mendapatkan kontrak karya baru pada 1991, proses
persetujuan tidak melibatkan DPR.
Dua topi
Kontrak karya tidak seharusnya dijadikan alat untuk mengungkung
atau membatasi pelaksanaan kedaulatan negara Republik Indonesia. Secara
teoretis ini sesuatu yang tidak tepat dan menyesatkan. Dalam memahami
keberadaan kontrak karya, Pemerintah Indonesia memiliki dua topi. Topi
pertama sebagai subyek hukum publik dan topi kedua sebagai subyek hukum
perdata.
Sebagai subyek hukum publik, pemerintah adalah regulator yang
dapat mengeluarkan peraturan perundang-undangan. Regulator berada di atas
rakyat dan pelaku usaha. Pemerintah sebagai regulator ketika mengeluarkan
peraturan perundang-undangan tidak perlu mendapatkan persetujuan dari rakyat
secara individual. Pemerintah dapat secara sepihak mengeluarkannya.
Fiksi hukum yang berlaku adalah ketika telah diundangkan, semua
orang dianggap tahu. Kalaupun rakyat merasa peraturan perundang-undangan yang
dikeluarkan secara sepihak tersebut merugikan, mereka dapat mengajukan uji
materi. Ini berbeda konsep dengan perjanjian. Menurut Pasal 1338 KUHPerdata,
perjanjian akan belaku sebagai hukum hanya bagi para pihak yang membuatnya.
Secara fundamental perjanjian mensyaratkan kesejajaran atau
kesetaraan. Artinya, pemerintah ketika membuat perjanjian tidak lagi memiliki
kedudukan yang lebih tinggi dari pelaku usaha.
Pemerintah bisa menjadi subyek hukum perdata berupa badan hukum.
Ini ditentukan dalam Pasal 1653 KUH Perdata yang mengualifikasi pemerintah
sebagai ’badan hukum itu diadakan oleh kekuasaan umum’. Pemerintah menjadi
badan hukum saat membuat perjanjian untuk melakukan pengadaan barang dan
jasa. Demikian juga ketika pemerintah membuat kontrak karya dengan
kontraktor, termasuk Freeport, pemerintah berada dalam kedudukannya sebagai
subyek hukum perdata, tidak dalam kedudukan sebagai subyek hukum publik.
Sementara ketika pemerintah membuat aturan perpajakan yang
dituangkan dalam undang-undang berikut peraturan pelaksanaannya atau
Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba) berikut peraturan
pelaksanaannya, pemerintah berkedudukan sebagai subyek hukum publik.
Pemerintah sebagai subyek hukum perdata yang mengikatkan diri
dengan Freeport tidak boleh membuat ketentuan yang bertentangan dengan
pemerintah sebagai regulator. Jika bertentangan dan tidak diamandemen,
konsekuensinya batal demi hukum. Dasarnya adalah Pasal 1337 dan Pasal 1320
KUHPerdata.
Atas dasar uraian di atas, tidaklah tepat jika pemerintah
sebagai subyek hukum perdata tidak dibedakan dengan pemerintah dalam
kedudukannya sebagai subyek hukum publik. Jika tidak dilakukan pembedaan,
terjadilah kekeliruan pemahaman seolah kewenangan pemerintah sebagai
regulator dikungkung atau dibatasi dengan sebuah perjanjian.
Sebaliknya, pemerintah pun tidak boleh menyalahgunakan
kewenangannya (abuse of power)
sebagai subyek hukum publik untuk melepaskan jeratan dalam perjanjian di mana
pemerintah berkedudukan sebagai subyek hukum perdata.
Ini yang hampir terjadi ketika berlangsung pembahasan
Undang-Undang Minerba. Saat itu, DPR ingin memanfaatkan pemerintah sebagai
regulator untuk mengakhiri semua kontrak karya. Beruntung pemerintah tidak
menyetujui keinginan DPR karena konsekuensinya bisa fatal jika diajukan ke International Centre for Settlement of
Investment Disputes.
Perbedaan pandangan antara pemerintah dan DPR ini memunculkan
kompromi. Kompromi tecermin dalam Pasal 169 Undang-Undang Minerba. Pasal
tersebut berisi tiga ayat. Pasal 169 Ayat (a) menyebutkan bahwa kontrak karya
akan tetap dihormati sampai berakhirnya kontrak. Hanya, dalam Pasal 169 Ayat
(b), kontrak karya harus menyesuaikan dengan Undang-Undang Minerba dalam
jangka waktu satu tahun. Di sinilah yang memunculkan ide renegosiasi kontrak
karya.
Sementara Pasal 169 Ayat (c) menentukan dalam hal penerimaan
negara, negara akan mendapatkan yang paling besar. Maksudnya, apabila
berdasarkan kontrak karya negara mendapatkan penerimaan lebih besar
dibandingkan aturan perpajakan yang berlaku, kontrak karya yang berlaku.
Namun sebaliknya jika aturan perpajakan lebih besar.
Bisa diakhiri
Kontrak karya Freeport bisa diakhiri saat berakhir pada 2021.
Ini merupakan ketentuan yang berlaku dalam Pasal 169 Ayat (a) Undang-Undang
Minerba. Undang-Undang Minerba sebagai produk hukum pemerintah sebagai subyek
hukum publik tidak mungkin dilawan dengan kontrak karya yang merupakan
perjanjian meski salah satu pihaknya adalah pemerintah.
Kalaulah ada ketentuan dalam kontrak karya yang menyatakan
Freeport berhak meminta perpanjangan kapan saja selama masa kontrak ini,
tidak berarti pemerintah sebagai subyek hukum perdata harus menyetujuinya.
Sementara kata-kata ”Apabila tidak ada hal yang luar biasa,
pemerintah tidak bisa menunda pemenuhan dari permintaan perpanjangan
tersebut” tidak berarti mengharuskan pemerintah memperpanjang. Kalimat
tersebut harus dibaca secara cermat, terutama kata-kata ”Apabila tidak ada
hal yang luar biasa”.
Apa yang menjadi hal yang luar biasa? Hal yang luar biasa adalah
jika mayoritas rakyat Indonesia tidak menghendaki kontrak karya diperpanjang
oleh pemerintah.
Dalam alam demokrasi sekarang, tidak bisa lagi pemerintah
menentukan apa yang baik untuk rakyat. Rakyat sendirilah yang menentukan apa
yang baik, sementara pemerintah harus menjalankan apa yang menjadi kehendak
rakyat.
Singkatnya, jangan sampai Indonesia di era digital sekarang
masih harus dipaksa menggunakan cara berpikir masa VOC. Freeport bukan VOC
dan tidak seharusnya cara-cara VOC digunakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar