Tantangan
Pelabuhan Indonesia di Selat Malaka
Djasarmen Purba ; Anggota DPD RI asal Provinsi Kepri
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Desember 2015
INDONESIA
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang ditegaskan dalam Deklarasi
Djuanda, 13 Desember 1957. Pada kenyataannya, Indonesia tidak pernah
benar-benar mampu memanfaatkan keunggulannya untuk menjadi negara maritim
yang kuat. Bahkan, sampai sejauh ini tidak mampu mengoptimalkan posisi
strategisnya di Selat Malaka yang merupakan center gravity dari perdagangan dunia lewat laut.
Sebaliknya,
Indonesia justru mengalami ketergantungan terhadap Singapura sebagai hub-port
(pelabuhan pengumpul) dalam segala kegiatan ekspor impornya. Saat ini masih
lebih dari 4 juta TEUs kontainer dari dan ke Indonesia harus lewat hub-port
Singapura. Port of Singapore Authority (PSA) merupakan salah satu pelabuhan
tersibuk di dunia. Pada 2010, pelabuhan Singapura punya arus peti kemas
(kontainer) sekitar 28,4 juta TEUs, atau terbesar kedua di dunia setelah
Pelabuhan Shanghai (Tiongkok) yang mencapai 29,05 juta TEUs.
Sementara, dalam
hal bunkering industry PSA telah
memperoleh gelar Worlds Top Bunkering
Port dengan menyuplai lebih dari 23,6 juta bahan bakar untuk keperluan
kapal di pelabuhan. Angka ini jauh melebihi konsumsi BBM PT PLN untuk
menghidupi generator seluruh Indonesia yang berjumlah hanya 10 juta
kiloliter.
Pelabuhan-pelabuhan
di Indonesia hanya menjadi pelabuhan pengumpan (feeder port) untuk Singapura. Menurut Maritime Magazine, setiap
tahun, lebih dari 10 juta TEUs kontainer dari dan ke Indonesia harus lewat
PSA. Demikian Indonesia mengalami kehilangan devisa mencapai US$15 miliar per
tahun.
Kegagalan Batam
Dengan
pertimbangan kedekatan dengan jalur pelayaran internasional, sejumlah
pengamat maritim mengusulkan Pulau Batam menjadi international hub port. Terlebih sudah sejak lama Badan
Pengusahaan (BP) Batam (dahulu Otorita Batam) berencana mengembangkan pelabuhan
Batu Ampar. Namun, rencana ini selalu dihalangi Singapura.
Pada era
kepemimpinan BJ Habibie di Otorita Batam, sempat beredar nama Evergreen Corp yang akan mengembangkan
pelabuhan ini, tetapi entah bagaimana kemudian mengundurkan diri. Pada tender
internasional pengembangan pelabuhan Batu Ampar pada 2003-2005 didapat
pemenang melalui beauty contest perusahaan
asal Prancis Compagnie Maritime d'Affretement-Compagnie Generale Maritime
(CMA-CGM). Namun, hingga 2008 tidak ada kepastian dari CMA-CGM untuk memulai
pembangunan.
`Negeri
Singa' kabarnya tidak `rela' bila Batam mengembangkan pelabuhan kontainer
sendiri untuk melayani alih kapal. Singapura masih `trauma' atas pengembangan
Port of Tanjung Pelepas (PTP) di Johor Bahru, Malaysia. PTP yang menggandeng
Maersk Sealand-merupakan mitra dan pelanggan terbesar PSA--resmi dioperasikan
13 Maret 2000 mengakibatkan berkurangnya pangsa pasar alih kapal di pelabuhan
Singapura.
Indikasi lain
intervensi Singapura diungkapkan Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan
Industri Kemenko Bidang Perekonomian, Edy Putra Irawady. Edy seperti dikutip
CNN Indonesia (9/2015), mengaku pernah mendapatkan ancaman fisik waktu
pemerintah ingin menjadikan Pelabuhan Batu Ampar di Batam sebagai hub utama
perdagangan Internasional Indonesia.
BP Batam
kemudian menggandeng Pelindo II untuk mengembangkan Pelabuhan Tanjung Sauh
sebagai international hub port untuk ekspor impor Indonesia di Selat Malaka
dengan kapasitas kargo mencapai 4 juta TEUs per tahun. Belakangan PT Pelindo
II menggandeng China Merchants Holding untuk terlibat dalam mengembangkan
pelabuhan itu, dengan investasi sebesar Rp20 triliun.
Ketergantungan BBM
Pengembangan
pelabuhan di Batam maupun di wilayah lain di Indonesia tidak dapat menjamin
dapat menyaingi pelabuhan Singapura dan Malaysia, mengingat Indonesia masih
mengalami ketergantungan impor minyak (BBM) dari negara tersebut. Seandainya
Indonesia dapat membangun international hub port di Selat Malaka, tidak
menutup kemungkinan Singapura sewaktu-waktu menyetop pengiriman BBM.
Untuk
mengantisipasinya, pada 2012, China Petroleum & Chemical Corporation
(Sinopec.Corp), berencana membangun kilang minyak beserta terminal project
yang diberi nama West Point, dengan nilai investasi US$ 850 juta, atau Rp7,7
triliun. Namun, gagal direalisasikan karena pemerintah enggan memberikan
insentif fiskal kepada Sinopec Corp. Kehadiran
kilang minyak di Batam bukan saja dapat mengoptimalkan posisi Indonesia di
Selat Malaka serta menjadi pesaing bagi Singapura dan Malaysia, melainkan
juga mampu menunjang operasional pelabuhan lain di Indonesia.
Menyimak berbagai `kegagalan' pembangunan pelabuhan di Selat Malaka, sebenarnya kita tidak bermaksud untuk menyaingi pelabuhan
Singapura. Paling tidak, dengan berpedoman pada teori balon Habibie, “Batam Cukup menampung tumpahan dari
pelabuhan Singapura.“ ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar