Revolusi
Mental
Franz Magnis-Suseno ; Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat di
Jakarta
|
KOMPAS,
31 Desember 2015
Menyongsong tahun baru, kita boleh bertanya: di mana revolusi
mental yang sudah hampir dua tahun lalu dicetuskan? Bahwa kita memerlukan suatu revolusi mental
untuk keluar dari rawa mediokritas, kemalasan intelektual, kecengengan
emosional, kedangkalan spiritual, kebrutalan dogmatisme, dan dari
belenggu-belenggu prasangka dan kecurigaan yang menyandera bangsa sulit
disangkal. Namun, di antara tantangan-tantangan yang kita hadapi, ada tiga
yang menurut penulis ini harus kita hadapi.
Budaya
kekerasan
Masyarakat kita penuh kekerasan. Senggol sedikit berantem.
Tawuran, lawan yang sudah telentang di tanah malah dibacok. Pencuri dikeroyok.
Pertemuan yang tak disukai dibubarkan oleh preman-preman yang membawa
pentung. Beribadat ”keliru”, awas lu! Fans klub bola saingan diserang dengan
pisau. Umat ”aliran sesat” ramai-ramai diuber-uber dan dibunuh. Polisi dalam
pemeriksaan secara rutin menyiksa orang. Selama 70 tahun sejarah Indonesia
merdeka juga ditulis dengan darah, ditumpahkan oleh bangsa sendiri.
Lalu, yang paling memalukan, juga paling mengkhawatirkan:
kekerasan atas nama agama. Memalukan karena dalam agama mutlak tak boleh ada
paksaan. Mengkhawatirkan karena paksaan dalam agama berarti orang beragama
itu sudah kemasukan setan.
Memakai kekerasan berarti tidak beradab. Beradab—kita boleh
ingat sila kedua Pancasila—adalah bottom line, batas paling bawah pembawaan
diri secara manusiawi. Orang yang terlibat kekerasan adalah orang yang belum
beradab.
Mari kita bertanya: apa kita mau terus mengizinkan membawa diri
secara tidak beradab? Bukankah sudah saatnya kita sepakat bersama bahwa kita
memecahkan masalah antarkita tanpa kekerasan, selalu, secara prinsip? Demi
harga diri kita sendiri sebagai bangsa yang beradab.
Bebas rasa
takut
Ada yang betul-betul menyedihkan. Di antara kita masih ada
orang-orang yang hidup dalam ketakutan. Mereka dibayangi ketakutan karena
keyakinan religius dan ibadat mereka tidak disetujui orang lain!
Masa di negara Pancasila masih ada orang yang hidup dalam
ketakutan karena keyakinan religiusnya? Bukankah Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945, konstitusi kita, menegaskan sebagai komitmen suci bahwa negara
”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”?
Bahwa di antara kita ada yang harus merasa takut karena
keyakinan religius adalah amat memalukan bagi kita semua. Memang sangat
memalukan kalau agama menakutkan dan mengancam. Orang beragama yang mengancam
sudah kerasukan setan kesombongan dan kekerasan hati.
Mari kita mulai dengan revolusi mental. Revolusi dari kepicikan,
rasa iri hati, kecurigaan, kesombongan, dan kekerasan hati ke sikap-sikap
yang melindungi, membaiki, mengamankan. Para tokoh agama yang ditantang di
sini: ditantang menunjukkan di mana mereka berdiri. Kita mesti menyepakati
bahwa mulai sekarang tak perlu ada orang atau kelompok orang yang takut
karena mereka mengabdi kepada Tuhan sesuai dengan apa yang mereka yakini.
Korupsi
Namun, ancaman terbesar terhadap integritas—ya, jati diri
bangsa—adalah korupsi. Sebab, korupsi menggerogoti substansi etis bangsa.
Orang korup tidak bisa membedakan lagi antara yang etis dan yang tidak etis.
Bangsa yang tidak lagi tahu apa itu jujur mesti hancur.
Di bulan-bulan lalu, kelas politik memberi tontonan kepada
seluruh bangsa yang teramat memalukan. Berhadapan dengan kelakuan yang
terang-terang koruptif, mereka—daripada langsung mengutuknya—sepertinya sama
sekali tidak menyadari kebusukannya dan langsung masuk ke business as usual,
tawar-menawar, ancam-mengancam (misalnya pelapor), dan ”peduli amat yang
dipikirkan masyarakat”. Saya setuju dengan pernyataan seorang sahabat bahwa
sikap mereka tak lain merupakan suatu pengkhianatan.
Di alam budaya korup, kompetensi tidak bernilai. Yang mendapat
proyek bukan yang kompeten, melainkan yang membayar lebih banyak. Pengaruh
sikap itu terhadap masyarakat adalah mengerikan. Misalnya saja, seluruh dunia
perguruan tinggi akan terpengaruh: mahasiswa tidak akan mencari kompetensi
melalui studi serius, melainkan koneksi sebagai batu loncatan suatu karier
yang menguntungkan. Menguaplah harkat intelektual bangsa.
Masyarakat sudah makin tidak percaya pada kelas politik. Usaha
selama tahun lalu untuk mengebiri pemberantasan korupsi, persepsi luas bahwa
keputusan pengadilan bisa dibeli, pendapat umum bahwa polisi adalah lembaga
paling korup—jadi kriminal!—di negara kita, itu pun dengan impunity,
mengancam kepercayaan masyarakat ke dalam kenegaraan kita yang berdasarkan
Pancasila. Kita jangan heran kalau makin banyak orang muda muak dengan segala
macam Negara Kesatuan Republik Indonesia alias NKRI, empat pilar, dan
lain-lain. Lalu, mereka mencari sesuatu yang sama sekali baru, dan
mengerikan, dalam ideologi-ideologi ekstremis dari luar, baik agamais maupun
sekuler.
Sudah waktunya kita akhiri toleransi terhadap korupsi. Kelas
politik harus merasakan bahwa kesabaran kita sudah habis. Masih ada harapan.
Masih ada wakil rakyat dan pemimpin politik yang tidak mau korup, yang
meyakini cita-cita bangsa. Sekarang waktunya untuk mulai. Revolusi mental
jangan kita tunda terus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar