Berkicau
Samuel Mulia ;
Penulis Kolom “Parodi” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
15 November 2015
Setiap pagi saya
membaca sejuta kicauan yang dibuat sejuta manusia di media sosial. Ritual ini
sudah mirip ritual makan pagi. Bahkan kalau makan pagi berhenti setelah pukul
tujuh, membaca kicauan yang sejuta banyaknya itu sering kali berlanjut pada
siang, sore, dan malam hari menjelang istirahat malam.
Cermin
Senangnya membaca
kicauan-kicauan itu karena banyak macamnya, dan lama-lama mengenal manusianya
hanya dari kicauan yang dituliskan. Ada yang bawelnya setengah mati karena
semua masalah dikomentari, ada yang supernegatif, yang sok positif, yang
provokatif dengan menuliskan kalimat bak belati yang dihunjamkan pembunuh
kepada korbannya, sampai sering kali saya terkaget-kaget membacanya.
Ada yang kicauannya
mengundang gelak tawa, tanpa melupakan yang memberi semangat serta yang
superrajin memberi informasi, baik soal keuangan, politik, dunia selebritas,
maupun pengetahuan umum lain. Selain itu, ada yang hanya minta pendapat
sederhana, lebih tampan pakai berewok atau tanpa berewok.
Menariknya dari semua
kicauan itu, saya mendapatkan banyak informasi tanpa harus membaca koran atau
buku-buku setebal bantal. Tetapi, dalam waktu yang bersamaan, kicauan di media
sosial tersebut juga seperti cermin. Saya seperti melihat diri saya sendiri.
Saya ini juga
menyindir karena tersakiti. Sindiran yang saya buat itu karena saya tak kuasa
melawan yang menyakiti saya. Saya juga berkicau bak seorang motivator andal
yang memberi nasihat, petuah, atau apa pun itu yang menyemangati orang lain
meski dalam hidup keseharian ketika masalah datang, yang saya tuliskan untuk
menyemangati orang lain gagal saya praktikkan kepada diri sendiri.
Saya bisa begitu
kesalnya dengan yang saya hadapi pada sebuah hari atau momen sehingga acap
kali beberapa orang membalas kicauan saya, dengan kicauan mereka yang
prihatin dan kemudian memberikan penghiburan untuk menyemangati.
Kadang saya juga
bawelnya setengah mati, semua hal dikomentari seperti orang kurang kerjaan.
Meski nurani saya berkomentar, ”Itu bukan kurang kerjaan, emang itu kerjaan
elo.” Kadang saya juga ingin orang lain mengetahui betapa pandainya saya
tentang sebuah pengetahuan.
Jadi, ritual membaca
kicauan itu tepatnya sebuah ritual becermin, seperti setiap pagi saya selalu
becermin saat berdandan sebelum berangkat kerja.
Nasi rames
Kicauan yang bak
cermin itu belakangan membuat saya berpikir, mungkin manusia itu disebut
sempurna bukan karena ia senantiasa tak melakukan yang negatif, tetapi yang
seperti nasi rames. Di dalam nasi rames, ada macam-macam lauk, antara lain
telor dadar yang diiris, ayam suwir, dan bihun. Rasanya bisa asin, manis, dan
bisa jadi pedas.
Maka manusia itu juga
ada bawelnya, ada sok pamernya, tetapi bisa juga memberi semangat dan
mengundang gelak tawa. Kadang bisa blakblakan, tetapi bisa tersinggung juga
dan menjadi seperti belati. Kemudian otak saya mengajukan sebuah pertanyaan.
Bagaimana kalau ada
manusia yang berpredikat pemimpin? Apakah mereka ini tidak boleh seperti nasi
rames? Karena ada ungkapan bahwa pemimpin itu harus bisa menjadi panutan
bawahan. Harus bisa gini, bisa gitu, tidak boleh gini, tidak boleh gitu,
harus gini, harus gitu.
Nah, kalau pada suatu
hari ada manusia yang biasanya berpredikat bukan pemimpin dan perjalanan
kehidupannya mengantarnya menjadi seorang pemimpin, apakah karena perbedaan
predikat mereka harus mengubah kemanusiaannya? Kalau iya, bagaimana caranya
mengubah kemanusiaan itu? Apakah menihilkan kenegatifan sehingga mereka tak
bisa seperti nasi rames lagi?
Kalau pemimpin harus
menjadi panutan, berarti ada aturan main yang dibuat agar bisa menjadi
panutan. Dan saya yakin aturan menjadi panutan dibuat oleh manusia. Bagaimana
caranya sekarang agar aturan main itu yang dibuat oleh manusia yang kadang
lemah, kadang kuat, dan kadang juga suka kebablasan itu bisa dieksekusi oleh
seorang pemimpin yang berstatus manusia yang juga kadang lemah, kadang kuat,
dan bisa kebablasan?
Ternyata otak saya
mengajukan satu pertanyaan lagi. Apa artinya sesama manusia? Karena otak saya
yang bertanya, otak saya yang menjawab. Otak saya cuma punya IQ jongkok, jadi
jawabannya sesama manusia itu yaa... sama-sama manusia.
Sesama manusia itu
mengandung arti manusia yang memiliki kemampuan melihat kemanusiaan dalam
sesamanya dan bukan melihat predikatnya semata. Sesama manusia itu sama-sama
bisa mengerti manusia itu, ya... kayak gitu. Kayak nasi rames, maksudnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar