Merekonstruksi Kemiskinan dan Penyebabnya
Luhur Fajar Martha ; Litbang Kompas
|
KOMPAS,
04 November 2015
Belum lama ini, Badan
Pusat Statistik mengumumkan naiknya angka kemiskinan nasional. Meski telah
diprediksi demikian sebelumnya, kenaikan ini tetap mengejutkan banyak pihak.
Sebabnya ialah bertambahnya orang miskin dalam jumlah yang relatif besar.
Dibandingkan dengan
kondisi bulan September 2014, jumlah orang miskin di Indonesia pada Maret
2015 meningkat sebanyak 860.000 orang. Dalam lima tahun terakhir, kenaikan
ini merupakan kejadian kedua. Sebelumnya, pada September 2013 angka
kemiskinan juga meningkat, tetapi tidak sebanyak kali ini.
Kenaikan angka
kemiskinan dari 10,96 persen menjadi 11,22 persen ini ditengarai dipicu oleh
naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) beberapa bulan sebelumnya. Harga BBM
yang meningkat mendorong harga bahan makanan serta transportasi turut naik.
Dalam kurun waktu
September 2014 hingga Maret 2014, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat
inflasi mencapai 4,03 persen. Angka ini dua kali lipat lebih tinggi
dibandingkan periode enam bulan sebelumnya. Kenaikan harga beras yang
mencapai 14,5 persen, yang disertai dengan naiknya biaya transportasi menjadi
penyumbang terbesar tingginya inflasi tersebut.
Hingga kini, sebagian
besar pengeluaran masyarakat miskin dan hampir miskin teralokasikan untuk
kebutuhan pangan dan transportasi. Dengan kenaikan harga pada komoditas
barang dan jasa pada kedua kelompok tersebut, naiknya angka kemiskinan
menjadi konsekuensi logis.
Kelompok masyarakat
tersebut memang rentan terhadap gejolak harga. Sedikit saja harga kedua jenis
komoditas tersebut berubah, angka kemiskinan pun berpeluang turut bergeser.
Apabila harga naik, angka kemiskinan pun akan naik. Sebaliknya, apabila harga
turun, angka kemiskinan bisa menurun.
Saat ini, Indonesia
masih menggunakan metode headcount index untuk mengukur kemiskinan. Dengan
metode ini, seseorang digolongkan miskin atau tidak miskin berdasarkan posisi
pengeluarannya. Apabila pengeluarannya lebih rendah dibandingkan dengan garis
kemiskinan, ia akan dikategorikan sebagai penduduk miskin.
Garis kemiskinan
sendiri saat ini ditetapkan berdasarkan pemenuhan kebutuhan minimal, baik
untuk makanan dan non-makanan. Kebutuhan makanan ini dihitung dari pemenuhan
kebutuhan kalori sebesar 2.100 kkal per kapita setiap hari. Saat ini, garis
kemiskinan makanan ini dihitung dari 52 jenis komoditas makanan. Sementara
itu, kebutuhan non-makanan didasarkan pada kebutuhan perumahan, sandang,
pendidikan, dan kesehatan. Garis kemiskinan non-makanan ini dihitung dari 51
jenis komoditas untuk wilayah perkotaan dan 47 jenis komoditas untuk wilayah
perdesaan.
Yang memprihatinkan,
kenaikan angka kemiskinan kali ini juga diikuti dengan naiknya indeks
kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan. Indeks kedalaman
kemiskinan naik menjadi 1,97 pada Maret 2015. Padahal, tahun sebelumnya masih
di kisaran 1,75. Sementara indeks kemiskinan juga naik dari 0,44 menjadi 0,54
dalam setahun terakhir.
Indeks kedalaman
kemiskinan menunjukkan jarak atau senjang antara pengeluaran penduduk miskin
dengan garis pengukuran. Semakin jauh jaraknya, semakin tinggi pula kedalaman
kemiskinannya. Sementara indeks keparahan kemiskinan mengukur ketimpangan
pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin timpang pengeluarannya,
semakin tinggi pula keparahan kemiskinannya.
Akar persoalan
Mengidentifikasi
penyebab naik turunnya angka kemiskinan secara teknis bisa dikatakan mudah
dilakukan. Kita tinggal melihat apakah garis kemiskinannya bergeser naik atau
turun. Kemudian menggolongkan penduduk mana saja yang tingkat pengeluarannya
di bawah garis kemiskinan tersebut. Semakin tinggi kenaikan garis kemiskinan,
semakin tinggi pula kemungkinan naiknya angka kemiskinan.
Yang sulit ialah
mencari akar persoalan mengapa orang miskin tidak kunjung mampu keluar dari
kerentanannya. Padahal, telah banyak program pemerintah untuk menanggulangi
kemiskinan dari tahun ke tahun. Akumulasi dana yang telah dikeluarkan pun
telah mencapai ratusan triliun rupiah. Namun, tetap saja belum mampu
menuntaskan persoalan ini.
Bahkan pertumbuhan
ekonomi yang selalu menunjukkan tren positif selepas krisis ekonomi 1998 pun
tidak mampu "menghilangkan" kosakata kemiskinan di Indonesia. Lalu,
apakah kemudian bisa kita katakan bahwa pertumbuhan ekonomi selama ini tidak
inklusif? Artinya, pembangunan selama ini masih kurang "menyentuh"
masyarakat miskin.
Apabila melihat indeks
gini, bisa jadi pernyataan tersebut benar adanya. Indeks yang mengukur
ketimpangan kesejahteraan, dalam hal pengeluaran atau pendapatan, di antara
penduduk ini terus meningkat dalam dekade terakhir. Sepuluh tahun silam,
angkanya masih sebesar 0,34. Tahun ini, indeks gini nasional tercatat sebesar
0,41.
Distribusi pengeluaran
atau pendapatan makin merata jika nilai indeks gini mendekati nol. Artinya,
tingkat ketimpangan pengeluaran atau pendapatan masyarakat semakin rendah.
Sebaliknya, distribusi pengeluaran atau pendapatan dikatakan semakin tidak
merata jika nilai indeks gini makin mendekati satu. Artinya, tingkat
ketimpangan pengeluaran atau pendapatan masyarakat semakin tinggi.
Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi selama ini lebih dinikmati oleh
kelompok masyarakat yang sudah relatif kaya. Sementara yang dinikmati
masyarakat miskin hanya sebagian kecil. Tingkat pengeluaran atau pendapatan
kelompok masyarakat miskin ini bisa jadi turut meningkat. Namun, secara riil,
daya beli mereka justru merosot sebab tidak mampu mengimbangi laju kenaikan
harga barang yang mereka konsumsi.
Timpangnya kesejahteraan
ini pada dasarnya merupakan hasil dari timpangnya kesempatan untuk mengakses
atau terlibat dalam kegiatan ekonomi. Terbatasnya akses pada sumber daya
ekonomi membuat masyarakat miskin sulit untuk melepaskan dirinya dari jerat
kemiskinan. Hal ini mulai menjadi bahan telaah dalam berbagai studi tentang
pembangunan ekonomi, baik di luar maupun di dalam negeri.
Salah satu yang
mengemuka ialah mengenai kapabilitas manusia. Pemikiran yang berpijak pada
gagasan Amartya Sen ini mengungkap pentingnya modal masyarakat miskin untuk
meningkatkan kesejahteraannya. Modal di sini bukan berarti dana atau uang,
melainkan kemampuan atau kapabilitas seseorang untuk dapat mengakses atau
terlibat dalam kegiatan pembangunan.
Kapabilitas ini
mencakup beberapa dimensi, di antaranya ialah pendidikan, kesehatan, serta
sarana tempat tinggal yang memadai. Ketiga dimensi ini menentukan kemampuan
seseorang untuk terlibat dalam kegiatan pembangunan. Semakin tinggi kualitas
pendidikan dan kesehatan seseorang, serta ditopang oleh memadainya sarana
tempat tinggal, seperti air dan listrik, semakin tinggi pula kesempatannya
untuk meningkatkan pendapatannya.
Masyarakat miskin
umumnya masih terperangkap persoalan-persoalan yang terkait dengan ketiga
dimensi ini, dari masih rendahnya tingkat pendidikan, risiko kesehatan yang
lebih tinggi, hingga tempat tinggal yang tidak layak. Hal-hal yang mendasar
ini sering kali menjadi penghalang mereka untuk mengentaskan diri mereka
sendiri dari kemiskinan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar