Ancaman Kebiri bagi Pemerkosa Anak
Bagong Suyanto ; Dosen Pascasarjana FISIP Universitas
Airlangga
|
KOMPAS,
03 November 2015
Batas kesabaran terhadap pelaku tindak
kekerasan seksual terhadap anak tampaknya sudah benar-benar habis. Tak kurang
dari Presiden Joko Widodo sendiri kabarnya setuju jika pelaku pemerkosaan
terhadap anak mendapat tambahan hukuman berat.
Selain ancaman penjara, pemerkosa anak juga
akan disuntik kebiri. Pemerintah dikabarkan tengah menyusun draf peraturan
pemerintah pengganti undang- undang untuk merealisasikan usulan pengebirian
bagi pelaku tindak kejahatan seksual atas anak.
Dalam jumpa pers yang dilakukan di Kantor
Presiden, 20 Oktober 2015, pemerintah memahami bahwa tindak kekerasan seksual
terhadap anak sering kali menimbulkan rasa traumatis yang luar biasa pada
korban. Untuk mencegah atau minimal membuat pelaku paedofilia jera,
pemerintah dalam waktu dekat diharapkan sudah bisa mengeluarkan perppu yang
mengesahkan tindak kebiri bagi seseorang yang terbukti secara hukum melakukan
pemerkosaan terhadap anak di bawah umur.
Penderitaan korban
Secara umum yang dimaksud tindak pemerkosaan
adalah hubungan seksual yang dilakukan secara paksa dan merugikan pihak
korban. Pemerkosaan dapat didefinisikan sebagai suatu usaha melampiaskan
nafsu seksual oleh seseorang (lelaki) terhadap seseorang korban (biasanya
perempuan) dengan cara yang menurut moral dan/atau hukum yang berlaku adalah
melanggar (Wignjosoebroto, 1997).
Sementara itu, Brownmiller (1975) mendefinisikan pemerkosaan sebagai
pemaksaan terjadinya hubungan seks terhadap perempuan tanpa persetujuan
ataupun tanpa kehendak yang disadari oleh perempuan itu.
Pemerkosaan terhadap anak adalah salah satu
bentuk dari tindak kekerasan kejahatan yang meresahkan. Dampaknya bukan
sekadar terjadi luka fisik, melainkan luka psikologis yang akan dibawa dalam
pikiran korban hingga ia meninggal dunia.
Tindak pemerkosaan adalah puncak dari tindak
pelecehan seksual yang paling mengerikan. Berbeda dengan tindak kekerasan
lain, seperti korban penjambretan, pemukulan, atau penipuan, tindak
pemerkosaanmenimbulkan luka traumatis yang mendalam, terlebih jika korban
anak di bawah umur.
Bagi anak-anak korban tindak pemerkosaan dan
kemudian dibunuh, mereka sesungguhnya bisa dikatakan tergolong ”beruntung”
karena penderitaannya telah berakhir ketika mereka tewas. Namun, bagi anak-anak
korban pemerkosaan yang terselamatkan atau dibiarkan hidup oleh pelakunya,
mereka mengalami tekanan dan penderitaan yang seolah tak berujung batas
karena pengalaman traumatis yang dialaminya. Dalam berbagai kasus, anak yang
jadi korban pemerkosaan biasanya akan stres yang berkepanjangan, dan bahkan
tidak mustahil tumbuh dengan mental yang disorder.
Sesungguhnya apa yang dialami anak-anak korban
tindak pemerkosaan adalah sebuah penderitaan yang jauh lebih dahsyat daripada
apa pun kerugian lain yang mereka rasakan. Anak perempuan korban pemerkosaan
akan mengalami trauma psikologis yang tak terperikan dan mereka biasanya tak
akan kuat menanggung tekanan sosial dari masyarakat karena memperoleh stigma
seumur hidup. Anak yang jadi korban pemerkosaan setelah kejadian akan jadi
mudah curiga, tidak mudah percaya kepada laki-laki, dan merasa teralienasi
dari lingkungan sekitarnya—atau mengalami apa yang disebut rape
trauma syndrome.
Banyak kasus membuktikan, anak perempuan yang
menjadi korban pemerkosaan ketika dewasa tak dapat melakukan hubungan seksual
yang wajar karena menderita vaginismus, di mana otot dinding
vagina selalu berkontraksi atau menguncup saat melakukan hubungan kelamin.
Minimal, korban akan mengalami dispareunia, yaitu rasa nyeri atau
sakit yang dirasakan sebagai penderitaan apabila melakukan hubungan seksual.
Dampak traumatis dari tindak kekerasan seksual
sering berpengaruh pada munculnya perasaan tidak aman dan nyaman, menurunnya
harga diri serta martabat anak-anak korban pemerkosaan hingga mereka tua
sekalipun. Anak korban tindak kekerasan seksual biasanya akan tumbuh dengan
kepribadian dan jiwa yang terluka. Mereka acap kali merasa rendah diri,
minder, merasa tak berharga. Bagi yang tak kuat, bukan tak mungkin memilih
mengakhiri penderitaannya dengan cara bunuh diri.
Setimpal
Melihat betapa mengerikan dampak yang dialami
anak-anak korban pemerkosaan, bisa dipahami jika muncul desakan agar
dirumuskan formula sanksi yang benar-benar efektif untuk mencegah dan membuat
jera pelaku pemerkosaan terhadap anak.
Pengalaman selama ini telah banyak
membuktikan: alih-alih dihukum berat dan dijatuhi vonis maksimal, di Tanah
Air ini ketika kasus pemerkosaan terhadap anak dibawa ke meja hijau, para
pelaku tindak pemerkosaan sering kali justru dijatuhi hukuman ringan.
Sementara itu, penderitaan dan masa depan korban yang terenggut seolah tidak
dijadikan bahan pertimbangan hakim dalam memutuskan sanksi bagi pelaku.
Untuk mencegah agar tindak pemerkosaan
terhadap anak tak makin marak dan sekaligus membuat jera pelaku, berbagai
pihak telah melontarkan wacana agar pelaku tindak kejahatan seksual terhadap
anak disuntik hormon yang dapat menghilangkan libido nafsu seksualnya.
Ancaman hukuman kebiri terhadap pelaku paedofilia ini didesak segera
diberlakukan karena kebijakan ini sebetulnya bukan hal yang baru di dunia
internasional. Hukuman kebiri bagi pelaku pemerkosaan terhadap anak sudah
banyak dilakukan di sejumlah negara, seperti di Amerika, Jerman, Australia,
Denmark, dan Korea Selatan.
Meski ancaman tambahan hukuman kebiri ini
dalam praktiknya sulit dapat berjalan efektif dan mampu mengurangi tindak
kejahatan seksual terhadap anak di masyarakat, tetapi kalau menimbang
bagaimana penderitaan yang mesti ditanggung anak yang menjadi korban
pemerkosaan seumur hidupnya, maka hukuman kebiri bagi pelaku sesungguhnya
masih jauh lebih ringan atau paling tidak setimpal dengan penderitaan korban.
Satu hal yang perlu digarisbawahi: di luar
perdebatan tentang efektif-tidaknya ancaman hukuman kebiri bagi pelaku
kejahatan seksual terhadap anak, persoalan yang tak kalah penting adalah
bagaimana menjamin proses persidangan untuk membuktikan terjadi tidaknya
kasus pemerkosaan tidak menjadi bentuk tindak pemerkosaan baru yang justru
merugikan korban.
Kita tentu telah mengetahui, dalam beberapa
kasus pemerkosaan yang dicoba diselesaikan secara hukum, kadang-kadang mentah
di tengah-tengah, karena pihak keluarga korban menarik pengaduannya, dan
lebih memilih memendam penderitaannya karena tidak menginginkan anaknya
mengalami trauma baru akibat proses pengadilan yang memaksa mereka mengingat
kembali aib yang telah dialami.
Membuat peraturan yang mengesahkan hukuman
kebiri bagi pelaku tindak kejahatan seksual terhadap anak, sebagai suntikan
dukungan moral bagi anak yang jadi korban tindak pemerkosaan memang
dibutuhkan. Tetapi, jangan lupa untuk membuktikan kesalahan pelaku masih ada
satu tahapan antara yang krusial, yakni proses persidangan yang bisa saja
malah menambah beban penderitaan baru bagi korban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar