Hutan
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
31 Oktober 2015
Asap bikin repot banyak orang.
Ini bukan asap dari penjual sate pinggir jalan, melainkan asap dari jutaan
hektare hutan yang terbakar. Hutan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua,
Nusa Tenggara Timur, bahkan merembet ke beberapa gunung di Jawa. Nusantara
seakan begitu kecil, api seperti mudah melompat menyeberang laut luas.
Para menteri sibuk, kecuali
Menko Puan Maharani, yang menurut Menteri Kesehatan tak ikut meninjau asap.
Mungkin Ibu Puan alergi asap. Maklum, itu memang berbahaya. Presiden pun
teramat sibuk. Sudah enak-enak berada di Amerika Serikat dipaksa pulang oleh
asap, meski saat berangkat pun asap sudah mengepul dahsyat. Ketua Umum Partai
NasDem Surya Paloh juga menghabiskan waktu lama di stasiun televisi miliknya
untuk mengabarkan para relawan NasDem, lengkap dengan atribut dan bendera,
yang berangkat ke empat provinsi untuk melawan asap.
Apakah rakyat ikut sibuk
memadamkan api di hutan? Sudah pasti. Tapi apakah kesibukan rakyat itu
digerakkan oleh lembaga adat setempat? Belum pasti. Ada kabar dari Riau,
lembaga adat yang secara faktual ada di sekitar hutan terpinggirkan. Mereka
bukan saja tak dilibatkan jika pemerintah memberikan izin konsesi hutan, tak
jarang tanah ulayat mereka pun dicaplok patok pengusaha hutan. Teriakan
mereka tak terdengar.
Kedekatan masyarakat adat
dengan hutan tentu tak cuma di Riau. Di banyak tempat di Nusantara,
barangkali sudah tradisi turun-temurun hutan itu dijaga oleh komunitas adat.
Mereka menyatu dengan hutan, termasuk apa pun yang ada di dalamnya, baik
flora maupun fauna. Maka, ketika masyarakat adat merasa tidak diajak bicara
oleh penguasa dalam membagi dan mengkapling hutan, mereka menjadi jauh dengan
hutan. Begitu ada pengusaha yang membuka lahan dengan membakar hutan,
masyarakat adat bukan saja cuek. Mereka malah ikut membakar hutannya, yang
hanya dua atau tiga hektare. Tak ada lagi rasa memiliki hutan.
Di Bali, tak banyak ada hutan
jika dibandingkan dengan Sumatera atau Kalimantan. Karena itu, tak ada
"pengusaha hutan". Masyarakat adat masih merasa memiliki hutan,
terutama hutan di gunung, yang umumnya memiliki tempat persembahyangan pada
puncaknya. Kalau ada asap mengepul sedikit saja, kentongan dibunyikan, warga
adat langsung menyerbu sumber asap.
Para pendaki gunung pun diawasi
masyarakat adat. Mereka tak boleh berbuat seenaknya, misalnya merusak ranting
pohon dan membuang puntung rokok. Berbeda dengan gunung-gunung di Jawa,
meskipun ada kawasan tirakat di puncaknya, tak ada komunitas adat yang
mengawasi pendaki. Ketika lereng Gunung Lawu terbakar, yang sibuk memadamkan
api adalah tim SAR. Mendaki gunung sudah menjadi komoditas, membayar di pos
pendakian, menyewa penduduk yang membantu angkut peralatan. Warga sekitar
gunung hanya menonton sambil berjualan minuman, tak merasa memiliki hutan.
Tapi hutan yang terbakar di
Sumatera dan Kalimantan, yang menebarkan bencana asap ke mana-mana,
sesungguhnya bukan hutan dalam artian tumbuh pohon besar. Ini merupakan lahan
gambut yang memang tak ditumbuhi pohon. Justru gambut itu harus dimusnahkan
agar lahan bisa lapang untuk menanam kelapa sawit. Karena begitu luasnya area
untuk menanam sawit, membakar lahan menjadi cara yang paling murah.
Hutan ataupun lahan gambut
seharusnya ada yang menjaga. Kalau masyarakat adat sudah lepas tangan,
penjagaan semestinya muncul dari pekerja perusahaan perkebunan. Lalu ada
pengawasan dari pemerintah sebagai pemberi izin. Masalahnya lahan itu begitu
luas, apa mereka sanggup mengawasi? Makanya, kenapa komunitas adat di sekitar
lahan itu tak dilibatkan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar