Bela Negara Progresif
Farouk Muhammad ; Wakil Ketua DPD RI
|
KOMPAS,
03 November 2015
Kamis, 22 Oktober
2015, pemerintah melalui Kementerian Pertahanan mulai melaksanakan program
bela negara yang wajib diikuti semua warga negara Indonesia. Program dimulai
secara serentak di 45 kabupaten dan kota dengan 4.500 warga sipil
dipersiapkan untuk menjadi kader pembina. Kemenhan juga menargetkan 100 juta
kader bela negara dalam 10 tahun ke depan. Menhan Ryamizard Ryacudu
mengatakan, program itu dimaksudkan untuk mempersiapkan rakyat dalam
menghadapi ancaman militer dan nirmiliter seperti tertera dalam UU No 3 Tahun
2002 tentang Pertahanan Negara dan Pasal 27 Ayat 3 UUD 1945. Menhan
menegaskan, program bela negara dapat membangkitkan rasa cinta tanah air dan
sebagai manifestasi gerakan revolusi mental.
Gagasan itu serentak
menuai dukungan dan penolakan. Mereka yang mendukung mengemukakan bahwa
program bela negara diyakini mampu memperbaiki mental bangsa melalui
pembangunan etos disiplin, terutama dalam memperkuat ketaatan hukum rakyat
dan menyelesaikan beragam penyakit sosial. Di sisi lain, meski Menhan
menegaskan bahwa program bela negara tak sebatas mengangkat senjata dan akan
disesuaikan dengan keahlian setiap peserta, mereka yang menolak bela negara
melihat program ini sebagai pendidikan militer atau militerisasi rakyat.
Kekhawatiran mereka yang mengkritisi program ini dapat dimaklumi karena
luasnya definisi ”ancaman”, risiko munculnya kelompok kekerasan, dan belum
terformulasikannya metode pelatihan.
Memahami ancaman
Luasnya definisi
ancaman nasional bermuara dari Penjelasan UU Nomor 3 Tahun 2002 yang
menjabarkan bahwa ancaman terhadap kedaulatan negara bersifat
”multidimensional”. UU ini sangat komprehensif, tetapi terjebak stabilitas
negara ala militer sehingga semua permasalahan dan dinamika sosial dianggap
ancaman terhadap kedaulatan negara. Padahal, tak semua permasalahan sosial
dapat dianggap serangan atas kedaulatan negara.
Diskursus militerisme
ini sangat kentara dalam pidato Menhan yang menyebutkan bahwa ”negara
membolehkan demonstrasi, sekarang negara meminta warganya bela negara”.
Pernyataan itu meletakkan demonstrasi pada kutub yang berseberangan dari
kecintaan kepada negara. Dari sudut pandang prinsip republik demokratis,
setiap bentuk demonstrasi akan dilihat sebagai upaya sipil untuk memperbaiki
negara—sebuah upaya demokratis dalam mencintai negara.
Sebuah ancaman dan
pelaksanaan bela negara juga harus dipahami secara kontekstual. Dalam konteks
kesejarahan, pendidikan bela negara semestinya diletakkan dalam tiga tahap
gelombang nasionalisme: (i) nasionalisme pra-kemerdekaan, yakni nasionalisme
untuk merebut kemerdekaan (Soedjatmoko, 1991); (ii) nasionalisme pasca
kemerdekaan, yakni nasionalisme untuk mengisi kemerdekaan dengan memperkuat
elemen-elemennya (Rahmat Witoelar, 1991); dan (iii) nasionalisme kebangkitan,
yakni nasionalisme yang memberi kebangkitan nasional dalam kesejajaran dengan
bangsa lain (Moerdiono, 1991). Bangsa Indonesia saat ini seharusnya berada
dalam nasionalisme gelombang ketiga yang berorientasi pada hikmah jati diri
dalam persaingan kemakmuran antarbangsa.
Nasionalisme gelombang
ketiga juga mengontekstualisasikan bela negara untuk berjuang melawan yang
lalim, baik perseorangan maupun struktural, misalnya terhadap konglomerat
yang mengorek kekayaan alam bumi pertiwi dan membawa ke luar negeri atau
koruptor yang mengisap kesejahteraan rakyat. Tantangan seperti itu bukan lagi
tantangan fisik, melainkan tantangan dalam menguatkan kapasitas sipil. Konsep
dan metode pelatihan bela negara, oleh sebab itu, sebaiknya tidak
militeristik, sebab meletakkan disiplin militer sebagai panasea bagi revolusi
mental adalah sebuah simplifikasi masalah.
Metode pendidikan bela negara
Pasal 3 UU Nomor 3
Tahun 2002 yang menegaskan bahwa ”Pertahanan negara disusun berdasarkan
prinsip demokrasi” beserta penjelasannya mengenai keragaman ancaman
sebetulnya membuka peluang untuk membawa program bela negara ke ranah publik.
Keterlibatan publik dalam mencari bentuk pendidikan dan kegiatan bela negara
menjadi krusial karena merekalah pemangku kepentingan dan aktor utama dalam
mengobarkan semangat itu. Kemenhan harus percaya bahwa elemen masyarakat
sipil juga merasa prihatin dengan beragam permasalahan bangsa.
Selama ini sudah
terdapat banyak kearifan sipil yang dapat menjadi modal bagi program bela
negara. Masyarakat pesantren, misalnya, mengutamakan nilai kedisiplinan
melalui ibadah dan kolektivitas. Pramuka sebagai gerakan nasional bahkan
telah berkiprah selama satu abad lebih untuk memupuk rasa cinta sesama,
tolong-menolong, disiplin, dan solidaritas. Gerakan Pramuka mengedepankan
pendidikan kewargaan melalui keterampilan, kesantunan, dan kreativitas.
Kegiatan sipil yang berbasis individu seperti filantropi atau sukarelawan
yang bergiat dalam pendidikan, kelestarian sejarah, atau perlindungan alam,
seperti Indonesia Mengajar, Akademi Berbagi, dan Profauna, juga harus dilihat
sebagai bentuk bela negara.
Nasionalisme progresif
Bela negara sewajibnya
juga tak hanya berbentuk kegiatan nasional yang pragmatis, tetapi juga
kegiatan profesional dalam keseharian, seperti investigasi pemberantasan
korupsi atau berprofesi sebagai pelayan publik seperti guru, pegawai negeri,
dan dokter di daerah terpencil. Patrick Barr-Melej (2001) melalui sejarah
Cile mencontohkan, kelas menengah melalui penguatan profesi-profesi keahlian
sangat berperan penting dalam mewujudkan nasionalisme progresif sebagai
alternatif dari nasionalisme militeristik.
Pembelajaran yang
bersifat satu arah seperti penataran P4 pada masa Orde Baru sudah terbukti
kurang efektif. Oleh sebab itu, pendidikan bela negara haruslah menggunakan
metode progresif yang meletakkan peserta didik sebagai subyek. Pendekatan
metode pembelajaran berbasis siswa (student
centered learning) dapat digunakan karena menuntut sang pembelajar
menjadi aktif dalam berpikir kritis, mampu mengenali masalah di sekitar
mereka, dan aktif mencari solusinya. Jerman, misalnya, memformulasikan
Pelayanan Sipil (Zivildienst)
dengan mendorong anak muda lulusan sekolah menengah atas mengabdi pada
beragam institusi publik. Mereka dilatih menguasai keahlian tertentu,
berdisiplin dalam waktu kerja, menjaga kualitas kerja, dan melayani sesama
warga negara.
Pada saat bersamaan,
membangun masyarakat untuk bersama-sama mencintai tanah air tak akan efektif
jika mengandalkan pada peran individu. Kolektivitas adalah kunci utama
efektivitas dalam menghadapi tantangan nasional, baik yang berasal dari dalam
maupun luar negeri. Pelatihan bela negara, oleh karena itu, dapat dipandang
perlu. Dalam konteks ini, Lembaga Ketahanan Nasional sebagai lembaga
pemerintah non-kementerian sebetulnya telah lama melakukan kajian mendalam
tentang pengkajian strategis ketahanan nasional dan pemantapan nilai-nilai
kebangsaan Indonesia. Lemhamnas dapat menjadi guru terbaik bela negara,
sedangkan Kemenhan cukup menciptakan model dan konsep yang lebih melibatkan
setiap komponen bangsa, seperti para siswa, organisasi masyarakat, lembaga
pendidikan tinggi, organisasi profesi, dan pelaku industri. Kemenhan dapat
berperan sebagai lembaga intelektual yang mengedepankan metode kebersamaan.
Pendekatan keahlian
profesi dan pelayanan publik tersebut dekat dengan dokumentasi John H Randall
(1926) dalam bukunya, The Making of the
Modern Mind, bahwa keadaban bangsa Eropa justru meroket ketika mereka
mampu menempatkan ilmu dan profesionalitas yang bermanfaat bagi sesama
sebagai basis moral dan kolektivitas, bukan pada komando atasan. Inisiatif
Kemenhan dalam memulai gerakan nasional bela negara patut diapresiasi dan
setiap semangat mencintai bangsa patut didukung, tetapi program seperti ini
harus lebih diformulasikan secara komprehensif, tidak hanya ditujukan pada
potensi ancaman yang bersumber dari luar, tetapi juga dari dalam negeri,
termasuk ancaman yang bersumber dari penyelenggara negara itu sendiri. Jangan
sampai bangsa yang berhasil menyelenggarakan politik bela negara justru
”keropos” karena pelaku penggiatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar