Pro-Kontra Impor Beras
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia
(AEPI);
Anggota Pokja Ahli Dewan
Ketahanan Pangan Pusat
|
REPUBLIKA,
03 Oktober 2015
Dalam beberapa minggu terakhir, sejumlah media menyodorkan
pertanyaan seragam kepada saya: Perlukah Indonesia impor beras? Pertanyaan
ini muncul bukan saja didasari atas kekhawatiran stok atau cadangan beras
tidak aman pada akhir tahun karena dampak El Nino.
Lebih dari itu, ada kondisi logis yang membuat media--sebagai
wakil dari khalayak umum-- mempertanyakan perlu-tidaknya impor beras; sikap
berbeda dua pucuk pimpinan Republik, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden
Jusuf Kalla. JK membuka peluang impor beras tahun ini. Besarnya, sekitar 1,5
juta ton. Sebaliknya, Jokowi menegaskan, Indonesia tidak gegabah memutuskan
impor beras. Dampak El Nino terhadap produksi beras masih dihitung. Jokowi
bahkan memastikan stok pangan aman.
Bagaimana menjelaskan dua sikap yang bertolak belakang itu?
Sikap Wapres JK mesti dimaknai sebagai sikap objektif atas realitas
penyerapan gabah/beras oleh Bulog sekaligus cerminan kondisi mutakhir
cadangan beras pemerintah. Menurut Direktur Pengadaan Perum Bulog Wahyu, stok
beras Bulog saat ini 1,8 juta ton, terdiri atas beras sejahtera (dulu raskin)
1,1 juta ton dan 0,7 juta ton beras premium. Menurut Wahyu, stok itu cukup
hingga enam bulan mendatang (Kompas, 29/9). Stok itu tidak aman. Karena itu,
setiap saat rentan digoyang oleh aksi spekulasi.
Sebaliknya, sikap Presiden Jokowi harus dibaca dalam konteks keberpihakan
terhadap petani dalam negeri. Sebagai pucuk pimpinan negeri ini, tentu
Presiden harus berpihak kepada petani domestik. Sikap sebaliknya hanya akan
berbuah kecaman. Nawacita yang menjadi fondasi filosofis program pembangun an
Jokowi-JK akan mudah menuai cibiran. Sikap tidak gegabah membuka impor, dalam
konteks politik, harus dimaknai sebagai bentuk "menjaga perasaan"
publik pemilih Jokowi-JK agar tidak merasa ditelikung dan dikhianati.
Kendati, sikap itu tidak menjejak kukuh pada kondisi riil.
Realitas objektif menunjukkan, cadangan beras pemerintah yang
dikelola Bulog saat ini jauh dari aman. Berkaca dari pengalaman sebelumnya,
dalam setahun, Bulog memerlukan beras sekitar tiga juta ton untuk memenuhi
pagu beras sejahtera (rasta), operasi pasar dan bantuan bencana. Karena tahun
ini ada rasta 13 dan 14, berarti perlu tambahan 0,464 ton beras.
Agar kondisinya aman, di akhir tahun, cadangan Bulog minimal
harus dua juta ton. Cadangan ini akan di-carry
over ke stok pada awal tahun berikutnya. Jadi, dalam setahun stok awal
ditambah pengadaan Bulog paling tidak harus mencapai 5,464 juta ton beras.
Sampai akhir Agustus lalu, penyerapan beras oleh Bulog mencapai 2,1 juta ton.
Karena, stok awal Januari 2015 lalu 1,4 juta ton, artinya hingga akhir tahun
Bulog harus menambah pengadaan (dari manapun sumbernya) sebesar 1,964 juta
ton.
Apakah penambahan pengadaan beras sebesar itu bisa dilakukan
hingga akhir tahun nanti? Menurut Wahyu, Bulog kesulitan menyerap gabah/beras
petani domestik lewat skema public service
obligation (PSO), seperti diatur dalam Inpres Perberasan No 15/2015.
Harga gabah/beras petani saat ini selalu di atas harga pembelian
pemerintah (HPP), seperti diatur dalam Inpres Perberasan. Harga gabah kering
panen di Inpres Rp 3.700 per kg, sementara di pasar mencapai Rp 4.200 ? Rp
4.700 per kg. Di Inpres yang sama, harga beras medium di gudang Bulog
ditetapkan Rp 7.300 per kg, sementara harga di pasar Rp 9.000 ? Rp 9.500 per
kg. Bulog, kata Wahyu, masih mungkin menambah serapan beras melalui jalur komersial.
Namun, hingga akhir tahun tambahannya maksimal hanya 50 ribu ton
beras. Karena, September ini merupakan akhir panen gadu. Oktober mulai musim
paceklik.
Dengan kondisi seperti itu, satu-satunya jalan keluar yang
tersedia adalah menambah pengadaan beras dari sumber luar negeri alias impor.
Masalahnya, impor akan selalu memantik kontroversi. Impor juga selalu
menimbulkan resistensi. Apalagi, Kementerian Pertanian--dengan mengacu pada
Angka Ramalan I BPS--yakin, produksi padi tahun ini mencapai lebih 75,55 juta
ton gabah kering panen atau naik 6,6 persen dari produksi tahun lalu.
Produksi sebesar itu bukan hanya cukup memenuhi kebutuhan
domestik, Indonesia juga akan surplus beras. Angka surplusnya juga besar.
Jika benar surplus, mengapa impor beras? Jika benar surplus, di manakah
surplus beras itu saat ini?
Tidak mudah menjawab pertanyaan ini karena ujung-ujungnya
mempertanyakan kesahihan data beras. Kalaupun data pro duksi beras benar
adanya, antara produksi beras dan penyerapan oleh Bulog merupakan dua hal
berbeda. Produksi beras yang baik tidak selalu linier atau diikuti penyerapan
beras yang baik pula oleh Bulog. Demikian pula sebaliknya.
Di luar produksi, ada variabel lain yang menentukan besar
kecilnya penyerapan beras oleh Bulog, yaitu situasi pasar. Jika harga
gabah/beras di pasar di atas HPP, Bulog akan kesulitan mendapatkan
gabah/beras. Situasi ini sudah berlangsung beberapa tahun. Masalahnya,
pemerintah belum menyedia kan jalan keluar dari situasi sulit ini.
Jalan keluar, sepenuhnya diserahkan ke Bulog. Salah satunya
membeli lewat skema komersial. Padahal, skema ini bukan hanya tidak
menyediakan jalan keluar, direksi Bulog juga bisa terkena getahnya. Pembelian
lewat jalur komersial potensial membuat Bulog merugi. Jika merugi, direksi
Bulog akan dinilai tidak perform. Setiap saat, direksi bisa diganti karena
dianggap tidak becus.
Salah satu jalan yang tersedia agar bisa keluar dari situasi
sulit ini adalah memastikan Bulog hanya mengurus penugasan PSO. Direksi
sepenuhnya dibebaskan dari keharusan menyetorkan keuntungan kepada negara
yang didapat dari kegiatan komersial. Posisi seperti itu akan membuat direksi
bekerja sepenuh hati mengurus penugasan PSO.
Mereka tidak akan memikul beban ganda yang saling menegasikan
seperti saat ini, harus untung dan penugasan PSO berjalan baik. Hampir bisa
dipastikan, dengan membebaskan direksi dari keharusan untung dan bisa
menyetorkan keuntungan pada negara penyerapan beras oleh Bulog akan membaik.
Impor benar-benar menjadi jalan terakhir, seperti diatur dalam UU Pangan No
18/2012. Agar tidak terjadi moral hazard, pemerintah harus memastikan Bulog
dalam pengawasan ketat. Pemerintah bisa mengganti direksi bila mereka korupsi
dan tidak mampu melakukan tugas PSO dengan baik.
Kembali ke pertanyaan awal: Perlukah impor beras saat ini? Jika
memang pemerin tah tidak menyediakan instrumen tambahan yang memungkinkan,
Bulog bisa menambah pengadaan beras dari dalam negeri, satu-satunya solusi
adalah impor.
Kepastian sikap peme rintah ini penting untuk mengirimkan sinyal
yang jelas ke pasar; pemerintah memastikan cadangan beras aman. Cadangan ini
setiap saat bisa digerakkan bila terjadi kegagalan pasar dalam bentuk harga
yang melejit.
Keputusan ini penting untuk memberikan sinyal yang jelas kepada
pedagang agar mereka tidak main-main mempermainkan harga beras di pasar
dengan cara melakukan spekulasi. Beda lagi bila pemerintah sendiri bingung
bersikap dan bahkan tidak satu suara. Ini akan menjadi makanan empuk para
spekulan mempermainkan pasar.
Jika itu terjadi, harga dan inflasi akan melejit tinggi.
Ujung-ujungnya, warga miskin terganggu akses daya belinya. Bukan tidak
mungkin, angka kemiskinan yang sudah naik akan kembali naik jika sinyal
pemerintah tak kunjung pasti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar