Kegalauan Bahasa Indonesia
Sudaryanto ; Dosen Mata Kuliah BIPA & Sejarah dan
Politik Bahasa Nasional PBSI
|
REPUBLIKA,
05 Oktober 2015
Bahasa Indonesia sedang galau? Barangkali pertanyaan awal itu
akan muncul di benak pembaca saat membaca judul artikel ini. Ya, bahasa
Indonesia tengah mengalami kegalauan yang luar biasa. Apa pasal? Sebab, para
penutur asli bahasa tersebut sedang keranjingan berbahasa Inggris ria.
Buktinya, kosakata-kosakata bahasa Inggris kini banyak bertaburan di ruang publik
kita. Pertanyaannya, bagaimana caranya agar kita bisa menghapus kegalauan
tersebut?
Prof Ismet Fanany dari Universitas Deakin, Australia,
berkomentar bahwa dirinya dan para pengajar bahasa Indonesia di luar negeri
bingung akan penggunaan bahasa Indonesia oleh orang Indonesia saat ini.
Pasalnya, kita selaku penutur asli bahasa Indonesia lebih bangga menggunakan
bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Apa buktinya? Lihat saja
iklan-iklan di media massa dan reklame di jalanan yang kesemuanya didominasi bahasa
Inggris.
Selain itu, penggunaan bahasa Inggris di ranah umum, seperti
halnya iklan di media cetak dan elektronik, reklame, spanduk, dan lain-lain,
dianggap telah melanggar pasal 38 dan 39 ayat (1) UU No 24 Tahun 2009. Dalam
pasal tersebut dinyatakan, bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum,
penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang
merupakan pelayanan umum serta dalam informasi melalui media massa.
Alih-alih menaati peraturan di atas, yang terjadi justru sebaliknya.
Masyarakat Indonesia, sekali lagi, begitu keranjingan berbahasa Inggris ria.
Dosen dan mahasiswa jurusan bahasa Indonesia, berdasarkan pengamatan saya,
lebih suka mengucapkan kata-kata, seperti download, print, upload, online,
dan website. Mereka kurang (atau tidak?) terbiasa mengucapkan padanan kata
dalam bahasa Indonesia kata-kata itu, seperti unduh, cetak, unggah, daring,
dan laman.
Jangankan masyarakat umum, dosen dan mahasiswa jurusan bahasa
Indonesia saja ternyata lebih senang berbahasa Inggris daripada berbahasa
Indonesia. Maka, wajarlah jika kegalauan bahasa Indonesia harus
"diobati" dimulai dari ranah pendidikan, khususnya LPTK yang
mencetak guru bahasa Indonesia. Barulah kemudian, "obat" kegalauan
bahasa Indonesia "disuntikkan" ke masyarakat umum selaku pengguna
bahasa Indonesia.
Perlu sanksi tegas
Hingga kini, kita telah memiliki dua produk hukum yang terkait
dengan bahasa Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, khususnya
Pasal 36 dan Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa,
dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Keduanya secara tegas menyatakan,
bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi negara. Dan, oleh karena itu, dalam
seluruh aspek kehidupan di Indonesia wajib menggunakan bahasa tersebut.
Tetapi, sayangnya kedua produk hukum itu banyak sekali dilanggar
oleh masyarakat Indonesia itu sendiri. Akibatnya, seperti diprediksi oleh
Prof George Quinn dari Universitas Nasional Australia (ANU), kedudukan bahasa
Indonesia belum kokoh di negeri ini. Mulai dari presiden, pejabat negara,
hingga masyarakat kita sedang keranjingan berbahasa Inggris ria. Ditambah
lagi dengan nihilnya sanksi tegas atas penggunaan bahasa Inggris secara
meluas belakangan.
Saya pikir, pihak pemerintah pusat dan daerah/provinsi (pemda/pemprov)
perlu merumuskan sanksi yang tegas dan berefek jera bagi pihak-pihak yang
melanggar atas kedua produk hukum tadi.
Akhir kata, pemberian sanksi tegas dalam rangka menaati Pasal 36
UUD '45 dan Pasal 25 hingga Pasal 45 UU No 24 Tahun 2009 perlu dilakukan oleh
pemerintah pusat dan daerah. Tanpa itu, saya kira, kegalauan bahasa Indonesia
makin menjadi-jadi akibat masyarakat Indonesia tengah keranjingan berbahasa
Inggris ria. Pertanyaannya kini, jika tidak kita yang lebih bangga berbahasa
Indonesia, lantas siapa? Dan jika tidak sekarang dilakukan, lantas kapan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar