Dusta Komunis di Tengah Bangsa
Achmad Fazeri ; Wartawan Kelompok Media Hidayatullah;
Alumnus Sekolah Tinggi Agama
Islam Lukman Al-Hakim Surabaya
|
REPUBLIKA,
01 Oktober 2015
Masih ingatkah kita dengan
Marxisme-Leninisme-Stalinisme-Maoisme? Mereka merupakan penganut ideologi
komunisme di seluruh dunia sejak abad ke-20 dan masuk ke Indonesia pada awal
abad ke-21. Bahkan sampai sekarang mereka masih saja tetap gigih memperagakan
"wajah berlapis topeng" dengan tiga dusta raksasa melalui berbagai
media massa.
Kita tahu bahwa Muso sang pembawa paham komunisme di Indonesia
itu merupakan salah satu pengikut atau bisa disebut sebagai binaan Stalin. Ia
adalah tokoh Partai Komunis Indonesia yang melakukan pemberontakan pada 1926,
kemudian kabur ke Moskow. Hingga akhirnya ia kembali ke Indonesia pada 11
Agustus 1948 setelah sekitar 22 tahun ia bermukin di ibu kota Rusia Soviet
tersebut.
Penulis tidak akan membahas sepak terjang pemberontakan Muso
dengan pembantaian yang dilakukan bersama anak buahnya di Indonesia. Namun,
dalam pemaparannya penulis akan mengulas tiga dusta yang digencarkan pengikut
keempat paham komunisme di atas hingga kini.
Meski kita tahu paham komunis itu sudah babak belur bersama
robohnya Tembok Berlin dan runtuhnya 21 negara komunis di seantero dunia, di
Indonesia mereka masih gigih mencoba bangkit memanfaatkan kesempatan pada
zaman reformasi dengan keterbukaan dalam kebebasan berekspresinya. Kegigihan
itu mereka tuangkan dalam dusta yang sangat luar biasa.
Topeng tiga dusta raksasa mantan komunis yang mereka perankan
sekarang ini sebagai sebuah senjata, yaitu pejuang hak asasi manusia (HAM),
prodemokrasi, dan tidak antiagama. Kalau dibahasakan dengan kalimat sastra
ala Taufiq Ismail, ketiga wajah topeng tersebut digambarkan dalam tarian
panggung sandiwara dengan berbagai bentuk maupun warnanya, iringan instrumen
musiknya pun bisa memanfaatkan gamelan tradisional atau bahkan band pop
anak-anak muda yang mutaakhir.
Kemudian, pementasannya disesuaikan dengan tempat dan kelas dari
penonton yang hadir. (Taufiq Ismail, Katastrofi Mendunia, Marxisma,
Leninisma, Stalinisma, Maoxisma, Narkoba, Yayasan Titik Infinitum, Jakarta,
Juni 2005, Cetakan Ketiga).
Belum pernah ada satu kelompok manusia, bangsa, agama, ataupun
partai politik di seluruh jagat raya ini yang mampu menandingi keganasan
partai komunis dalam menganiaya HAM. Penganiayaan mereka terhadap HAM yang
paling klimaks adalah pencabutan nyawa secara massal melalui pembantaian
manusia yang dilakukan secara sadis dan keji. Mereka selalu mengaku-aku
sebagai pembela HAM, tetapi faktanya adalah penganiaya HAM yang paling ganas
dalam sejarah kemanusiaan.
Berikut bukti hasil temuan keganasan pembantaian manusia pada
abad ke-20 yang dilakukan oleh pengikut Palu Arit: 500 ribu rakyat Rusia dibantai
Lenin (1917-1923), 6 juta petani kulak Rusia dibantai Stalin (1929), 40 juta
rakyat Rusia dibantai Stalin (1925-1953), 2,5 juta rakyat Kamboja dibantai
Pol Pot (1975-1979), 50 juta penduduk Cina dibantai rezim komunis Rusia
Soviet (1950-1980-an), 150 ribu rakyat Amerika Latin dan 1,7 juta rakyat
Afrika dibantai, serta 1,5 juta rakyat Afghanistan dibantai Najibullah
(1978-1987). (Stephen Courtois [editor], The Black Book of Comunism-Crimes,
Terror, Repression, Havard University Press, 2006, dengan enam penulis
kontributor, 858 halaman).
Jika penganiayaan HAM itu direkonstruksi dalam kerangka waktu,
bisa terbaca dengan perkiraan sebagai berikut. Selama 74 tahun (1917-1991),
partai komunis sedunia telah membantai 100 juta manusia di 76 negara sehingga
rata-rata 1,350 juta orang setahun atau 3.702 sehari, 154 per jam, 2,5 orang
per menit.
Angka-angka di atas membuktikan bahwa partai komunis sedunia,
bahkan partai komunis yang dibawa Muso ke Indonesia, juga merupakan kumpulan
penganiayaan HAM terganas sepanjang catatan sejarah. Dan HAM yang dianiaya
bukan saja hak berbicara, berserikat, maupun berkeluarga, tetapi juga hak
menggunakan nyawa yang diberikan oleh Tuhan yang Maha Esa.
Seluruh geng Palu Arit secara tidak sengaja harus ikut
bertanggung jawab terhadap kekejaman kolektif itu. Tidak ada kepemimpinan
komunis yang berani menentang Josef Stalin kecuali Yugoslavia di bawah Josip
Broz Tito yang akhirnya juga dikucilkan oleh sesama negara Palu Arit karena
dicap sebagai revisionis.
Dengan bukti angka-angka pembantaian itu, klaim mantan dan
simpatisan baru PKI atau Komunis Gaya Baru (KGB) pada abad ke-21 ini yang
mengaku-aku diri mereka sebagai sang pembela HAM, dengan sendirinya terbantah
begitu telaknya.
Pada zaman reformasi seperti sekarang ini, kebebasan berekspresi
di media sangat dijunjung tinggi, sebagaimana negara Indonesia yang
menerapkan asas demokrasi. Namun, bisa kita cermati sekilas, sebuah negara
Palu Arit di Polandia, di mana mereka menjamin yang namanya kebebasan, tetapi
supaya tidak anarkistis, maka penting adanya sejumlah pembatasan. Kisi-kisi
dari pembatasan itulah disebut dengan istilah "Sepuluh Tidak Boleh"
yang perlu diperhatikan setiap warga negara.
Di negara komunis tidak ada yang namanya demokrasi. Kekuasaan
dalam gaya komunis harus direbut paksa melalui cara apa saja dengan doktrin
tujuan menghalakan segala cara. Ringkasnya, apa pun yang dicapai sebagai
tujuan, maka cara yang digunakan bebas untuk dipilih. (Colegrove: 1957,
Schwarz: 1972, Conquest: 1990, Nihan: 1991, Moeljanto: 1995, dll).
Dari situ jelas, di negara komunis yang mengaku menjamin
kebebasan berekspresi di media sebagai wujud dari asas demokrasi, tetapi
justru senarai ketidakbebasan dalam berekspresi. Dan ketidakbebasan media di
Polandia pada 1908-an ini kurang lebih sama seperti di negara Palu Arit
lainnya, yang selalu menganggap diri mereka prodemokrasi.
Partai komunis dunia maupun Indonesia sejatinya tidak berani
berterus-terang memperlihatkan ciri keateisan (anti-Tuhan) mereka dengan
alasan karena tidak ingin kehilangan para pengikutnya, apalagi di Indonesia
yang mayoritas penduduknya Muslim. Tapi, jika mereka berdiskusi di kalangan
internal, orang-orang yang shalat, ibadah haji, bahkan pastor dilecehkan
habis-habisan. Presiden Sukarno yang marhaenis saja diejek sebagai priyayi
borjuis (Moeljanto: 1995).
Ekspresi anti-Tuhan di bidang kesenian juga pernah tampak
melalui sebuah drama dengan lakon berjudul "Matine Gusti Allah"
(Matinya Tuhan) yang dipentaskan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di
Yogyakarta dan di berbagai kota di Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Kenekatan
Lekra—salah satu organisasi komunis—mementaskan drama ini ke beberapa kota
dinilai melecehkan agama. Dan di setiap pementasan selalu terjadi perkelahian
(Moeljanto: 1995).
Jika mencermati perkataan para penggagas komunisme kelas dunia,
justru mereka jauh lebih berani lagi melecehkan keberadaan Tuhan, sebagaimana
dikatakan Marx, "Eksistensi Tuhan tidak masuk akal. Tuhan adalah konsep
yang menjijikkan. Pendek kata, aku menaruh dendam ke semua Tuhan." Sementara,
Lenin kecil di usia yang ke-16 tahun pernah berucap, "Aku sudah patah
arang dengan semua masalah agama, kalung salibku kucopot dan kucampakkan ke
tong sampah," (Volkogonov 1994).
Bahkan Lenin menyeru, "Matilah agama dan hiduplah ateisme!
Ateisme adalah bagian alamiah dan tak terpisahkan dari Marxisme, dari teori
dan praktik sosialisme ilmiah. Propaganda kita memang mencakup propaganda
ateisme."
Dengan fakta ini, topeng mereka yang menyatakan tidak anti-Tuhan
itu percuma dan dengan sendirinya terbantahkan. Menurut hemat
penulis—sekaligus masukan bagi para pemuja komunis ataupun saudara-saudara
mantan komunis—alangkah baiknya setelah membaca tulisan ini, kemudian ikhlas
menanggalkan ideologi yang penuh kedustaan itu.
Andai kata masih tetap berkukuh untuk terus berupaya
membangkitkan komunis, mengibarkan panji berlambang palu arit di Indonesia,
pastikan bahwa bangsa dan negara ini akan menolak keras hingga semua upaya
itu menemui kegagalan.
Pemerintah sudah pernah memaafkan kekejian dan keganasan partai
komunis dalam melakukan pembantaian, meskipun itu tidak berlangsung lama.
Namun, hal terpenting yang perlu menjadi catatan bagi saudara-saudara kita
yang masih simpati dan membela komunis adalah bangsa dan umat ini menolak
keras ideologi komunis ada di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar