Pasal Kesusilaan dalam RUU KUHP
Sali Susiana ; Peneliti pada Pusat Pengkajian, Pengolahan
Data, dan Pelayanan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR
|
KOMPAS,
12 Oktober 2015
Penantian panjang selama sekitar 30 tahun akan kehadiran payung
hukum perlindungan perempuan dan anak tampaknya sudah mulai terobati dengan
disampaikannya Rancangan tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana oleh
Presiden Joko Widodo kepada DPR pada 5 Juni 2015 melalui Surat Presiden No
35/Pres/06/2015.
Menindaklanjuti surat itu, Komisi III DPR telah membentuk
Panitia Kerja Rancangan tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Panja
RKUHP). Saat ini Panja RKUHP masih menunggu beberapa fraksi yang belum
menyampaikan daftar isian masukan (DIM) terhadap rancangan dimaksud.
Direncanakan minggu kedua Oktober RKUHP dapat mulai intensif dibahas.
Menyimak pendapat beberapa narasumber dalam Diskusi Publik
tentang Rancangan KUHP untuk Perlindungan Perempuan dan Anak yang
diselenggarakan Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia bekerja sama dengan UNDP
(1/10/2015), terkait perlindungan perempuan dan anak, masih terdapat berbagai
persoalan yang menarik untuk didiskusikan. Sebagaimana disampaikan Supriyadi
Widodo Eddyono dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP, beberapa persoalan itu terkait
pornografi, perdagangan manusia, kontrasepsi, pemerkosaan, zina, kekerasan
dalam rumah tangga, inses, kumpul kebo, dan melacurkan diri di jalanan.
Terkait soal "melacurkan diri di jalanan" yang
terdapat dalam Pasal 489 RKUHP, dinyatakan bahwa "setiap orang yang
bergelandangan dan berkeliaran di jalan atau di tempat umum dengan tujuan
melacurkan diri, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I".
Menurut Supriyadi, ketentuan ini berpotensi mengkriminalkan pelaku prostitusi
yang kemungkinan berposisi sebagai korban eksploitasi seksual. Ditambahkan
juga bahwa frasa "berkeliaran di jalan atau di tempat umum" dapat
ditafsirkan secara lebih luas.
Menurut Irawati Harsono dari Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), rumusan itu masih menyasar prostitut
dengan tidak membedakan jika terjadi pemaksaan pelacuran, bias kelas, dan
berpotensi terjadi kriminalisasi terhadap orang yang kebetulan sedang berada
di jalan atau tempat umum sehingga menjadi korban salah tangkap atas tuduhan
sepihak melacurkan diri.
Jika dicermati, rumusan Pasal 489 RKUHP bunyinya hampir mirip
dengan beberapa peraturan daerah (perda), seperti perda tentang anti
pelacuran atau perbuatan maksiat dan perda tentang larangan untuk keluar
malam bagi perempuan, yang beberapa tahun terakhir disahkan sejumlah daerah di Indonesia.
Sebut saja Perda Pemberantasan Maksiat di Aceh, Perda Pencegahan Maksiat di
Provinsi Gorontalo, Perda Larangan Perbuatan Maksiat di Sumatera Selatan, Perda Pelarangan Pelacuran di Kota
Tangerang, Perda Anti Pelacuran di Malang dan Lamongan, serta Perda Pelacuran
di Provinsi Bengkulu.
Melanggar HAM
Semua perda itu dibuat dengan alasan untuk perbaikan moral dan
akhlak warga masyarakat daerah itu. Namun, kenyataannya, peraturan-peraturan
ini melupakan standar dan prinsip-prinsip yang telah diatur dalam berbagai
instrumen hak asasi manusia (HAM). Termasuk di dalamnya hak asasi perempuan,
baik yang terdapat dalam UUD 1945 sebagai konstitusi negara, UU No 9 Tahun
1999 tentang HAM, maupun berbagai konvensi internasional yang telah
diratifikasi Pemerintah RI, seperti Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan/Convention
on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (UU No 7
Tahun 1984), Konvensi Internasional atas Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya/Ecosoc Convention(UU No 11 Tahun 2005), dan Konvensi Internasional
atas Hak Sipil dan Politik/International
Convention on Civil and Political Rights
(UU No 12 Tahun 2005).
Salah satu perda anti pelacuran yang pernah menjadi sorotan
publik dan topik hangat di media adalah Perda Kota Tangerang No 8 Tahun 2005
tentang Pelarangan Pelacuran (Perda Anti Pelacuran). Sejak diberlakukan,
perda ini mengundang pro dan kontra. Di satu sisi, beberapa pihak mendukung
perda ini, antara lain guru sekolah di
Kota Tangerang, Aliansi Penyelamat Kota Tangerang, dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPRD
Banten. Sebaliknya, sejumlah aktivis dari Aliansi Gerakan Perempuan
Tangerang, Koalisi Perempuan Indonesia Cabang Tangerang, dan Solidaritas
Perempuan Banten serta puluhan buruh menolak. Sejumlah LSM seperti Koalisi
Perempuan Indonesia (KPI) Tangerang, Kalyanamitra, Mitra Perempuan, Wahid
Institute, dan warga Tangerang yang menolak pemberlakuan perda mendaftarkan
uji materi ke Mahkamah Agung.
Meskipun telah disahkan pada 23 November 2005, Perda Anti
Pelacuran baru diterapkan 27 Februari 2006 melalui sebuah operasi atau razia
di malam hari. Mereka yang tertangkap disidangkan secara terbuka hari
berikutnya, bertepatan dengan Hari Jadi Kota Tangerang. Dalam persidangan
tindak pidana ringan itu terungkap bahwa aparat tramtib dan polisi telah
salah menangkap perempuan "baik-baik" yang dicurigai sebagai
pelacur.
Salah seorang korban "salah tangkap" bernama Lilis
Lindawati, karyawan sebuah restoran di Cengkareng yang sedang hamil dua
bulan. Ia ditangkap ketika sedang menunggu angkutan untuk pulang ke rumahnya.
Lilis dijatuhi hukuman dengan tuduhan pelacur dan didenda Rp 300.000. Ia tak
mampu membayar denda dan menghadirkan suaminya yang berprofesi sebagai guru
SD sebagai saksi yang dapat menyangkal dakwaan itu sehingga ia dikenai hukuman kurungan selama tiga
hari.
Dalam kenyataannya, hukuman diperpanjang sehari dan Lilis baru
dibebaskan pada hari keempat. Selain Lilis, tiga perempuan lain juga jadi
korban salah tangkap. Meski mereka kemudian dibebaskan sebelum disidangkan
karena tak terbukti sebagai pelacur, penangkapan tersebut telah membuat
ketiganya mengalami trauma. Lilis Lindawati kemudian menggugat Wali Kota
Tangerang sebesar Rp 500 juta karena telah mencemarkan nama baiknya. Lilis
juga melaporkan hakim yang mengadilinya ke Komisi Yudisial dan melaporkan
aparat Dinas Keamanan dan Ketertiban yang menangkapnya. Namun, dalam
perkembangan selanjutnya, Lilis akhirnya meninggal dalam kondisi sakit-sakitan
akibat peristiwa salah tangkap tersebut.
Langkah Pemerintah Kota Tangerang memberlakukan perda pelarangan
pelacuran telah menjadi inspirasi bagi beberapa daerah lain untuk menerapkan
perda serupa, antara lain Kabupaten Tangerang, DKI Jakarta, Depok, Bekasi,
dan Purworejo. Di Kabupaten Tangerang, DPRD setempat bahkan sepakat
mengadopsi Perda Anti Pelacuran Kota Tangerang guna mempercepat
terealisasinya perda anti pelacuran.
Sebelum terjadi pro dan kontra pemberlakuan Perda Anti Pelacuran
di Kota Tangerang, beberapa daerah lain sebenarnya telah menerapkan perda
serupa, antara lain Provinsi Sumatera Barat,
Gorontalo, Bengkulu, Kota Malang, Kabupaten Lamongan, Kabupaten
Jembrana, dan Kabupaten Badung. Dari beberapa perda tersebut, hanya perda di
Sumatera Barat yang menimbulkan pro dan kontra sebelum diberlakukan karena
dalam rancangannya mencantumkan larangan bagi perempuan untuk keluar rumah
tanpa muhrim pada pukul 22.00-04.00.
Cegah kesalahan berulang
Penulis khawatir, jika rumusan Pasal 489 RKUHP tak direvisi,
setelah RKUHP disahkan, akan berjatuhan korban lain RKUHP ini. Direktur
Harmonisasi Ditjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM
pada saat diskusi publik di atas menyatakan, penyusunan RKUHP telah
melibatkan banyak profesor dan pakar hukum pidana. Menjadi pertanyaan, dari
sekian banyak pakar itu, apakah tak ada satu pun yang berperspektif jender
sehingga rumusan yang sangat bias jender itu muncul? Yang lebih parah, bunyi
rumusannya mirip beberapa perda anti pelacuran yang diskriminatif terhadap
perempuan sehingga merugikan perempuan.
Untuk mencegah agar kesalahan tak berulang, rumusan pasal dalam
RKUHP, terutama yang berkaitan dengan perempuan, harus dibuat dengan
perspektif jender dan tak diskriminatif. Ada beberapa prinsip dasar yang
perlu diperhatikan. Peraturan yang akan dibuat hendaknya mengacu pada:
pertama, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(CEDAW). Dalam Konvensi Perempuan ini terdapat beberapa prinsip dasar: (1)
persamaan substantif, (2) nondiskriminasi, dan (3) kewajiban negara.
Kedua, jaminan hak asasi perempuan yang terdapat dalam UUD 1945
ataupun berbagai UU lain, terutama UU No 9 Tahun 1999 tentang HAM. Komnas
Perempuan telah memerinci HAM jadi 40
hak konstitusional setiap warga negara yang dikelompokkan ke dalam 14 rumpun.
Ketiga, UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan bekerja sama dengan Kementerian
Hukum dan HAM serta Kementerian Dalam Negeri juga telah menerbitkan Parameter
Kesetaraan Jender dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar