Menghitung Hari Menuju MEA
Adhi S Lukman ; Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan
Minuman Seluruh Indonesia; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan
Indonesia;
Ketua Komite Tetap Pengembangan
Industri Primer Pertanian Kadin Indonesia
|
KOMPAS,
12 Oktober 2015
Integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah di ambang pintu. Tantangan
terbesar adalah membuat mimpi menjadikan pasar tunggal dan basis produksi
untuk bersaing di pasar global menjadi kenyataan sesuai komitmen para
deklarator ASEAN.
Menjelang integrasi pasar MEA yang akan berlaku efektif 31
Desember 2015, dunia diguncang krisis ekonomi
cukup parah, termasuk melanda Indonesia. Komoditas (termasuk
perkebunan yang selama ini menjadi andalan Indonesia) mengalami "triple
turun", turun produksi, harga, dan permintaan, yang sulit dijelaskan
dengan teori ekonomi normal, penawaran-permintaan (supply- demand), diperparah
bencana kebakaran hutan dan El Nino.
Seharusnya, di tengah pertumbuhan populasi dunia yang cepat,
kebutuhan manusia dan permintaan meningkat, tetapi tiba-tiba ekonomi menyusut
secara cepat. Dalam kondisi demikian, pemerintah disibukkan menyelamatkan
ekonomi dan berbagai paket kebijakan disiapkan, termasuk memperlancar arus
barang. Paralel dengan kebijakan ini, perlu dipikirkan Indonesia menjadi
ASEAN-Hub dan regulasi yang disiapkan juga harus mendukung hal tersebut.
Indonesia memiliki potensi besar, lokasi geografis strategis,
potensi pelabuhan laut tersebar di banyak area, dan terbesar di ASEAN
dalam sumber daya alam, populasi,
serta PDB. Tantangannya, bagaimana
menjadikan Indonesia sebagai pusat perdagangan ASEAN dengan segala kelebihan
tersebut.
Posisi Indonesia di ASEAN
Indonesia merupakan negara terbesar di ASEAN. Namun, berdasarkan
data Bank Dunia, PDB per kapita Indonesia tahun 2014 sebesar 3.492 dollar AS
masih kalah dari beberapa negara ASEAN lain, urutan kelima setelah Singapura,
Brunei, Malaysia, dan Thailand.
Data terbaru Forum Ekonomi Dunia, indeks daya saing global
Indonesia (2016-2015) menurun menjadi urutan ke-37 dari 140 negara
dibandingkan tahun lalu urutan ke-34 dari 144 negara. Di ASEAN, urutan
keempat di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Infrastruktur logistik,
baik perangkat lunak maupun keras, menjadi tantangan besar, apalagi Indonesia
merupakan negara kepulauan di mana keterhubungan antarpulau menjadi penting.
Indeks kinerja logistik Indonesia 2014 di urutan ke-53 dari 160 negara atau
urutan kelima di ASEAN, di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Data Bank Dunia untuk indeks kemudahan berbisnis per Juni 2014
menunjukkan Indonesia di urutan ke-114 dari 189 negara, di ASEAN urutan
ketujuh setelah Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, dan Brunei.
Pemerintah menyadari hal ini dan mengantisipasi dengan Program Pelayanan
Terpadu Satu Pintu BKPM serta mengeluarkan paket kebijakan ekonomi kedua 2015
dengan fokus mempercepat investasi.
KPMG (2015) melaporkan hasil surveinya yang meliputi dunia
usaha, agen pemerintahan, dan masyarakat, Indonesia berada di urutan ke-43
dari 127 negara dalam indeks kesiapan untuk berubah atau urutan kelima
setelah Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand. Kesiapan untuk berubah
menghadapi keterbukaan pasar jadi tantangan besar, baik di dunia usaha,
pemerintah, maupun masyarakat sendiri.
Di samping indikator ekonomi di atas, dalam perdagangan produk
pangan, secara teknis masih banyak hambatan nontarif, seperti harmonisasi
standar, keamanan pangan, registrasi, label, halal, dan sebagainya. Juga
kesiapan pengawasannya seperti laboratorium uji, lembaga sertifikasi, dan
lain-lain. Saat ini, Indonesia masih perlu menambah laboratorium uji serta
lembaga sertifikasi, apalagi sebagai negara terbesar di ASEAN, Indonesia
belum memiliki ASEAN Food Reference
Laboratories (AFRLs) sebagai acuan jika terjadi perselisihan dalam
perdagangan.
Padahal, beberapa negara sudah ditunjuk sebagai AFRLs, seperti
Vietnam (mikrobiologi), Singapura (residu pestisida dan myco-toxin), Thailand
(logam berat dan residu veterinary), serta Malaysia (produk genetically modified organism). Saat
ini Indonesia masih dalam proses pengajuan menjadi AFRLs bahan tambahan
pangan, bersama Thailand food contact
material.
Kesiapan Indonesia
Bicara kesiapan UKM, banyak yang harus disiapkan untuk bisa
berdaya saing di ASEAN, mulai dari kemampuan pengetahuan dan teknologi, akses
keuangan, hingga pasar. Lebih dari 1.243.185 unit usaha UKM industri pangan
(BPS 2014) harus dipikirkan agar
mereka tetap bisa bertahan memasuki MEA.
Indikator di atas harus menjadi pemicu Indonesia berubah dan
siap menghadapi integrasi MEA. Pekerjaan rumah masih banyak, apalagi di
tengah situasi ekonomi yang memburuk saat ini. Bagaikan menghitung hari,
persiapan menuju MEA harus paralel dengan paket kebijakan mengatasi
pelambatan ekonomi.
Diyakini kajian dampak MEA sudah banyak dilakukan. Meskipun
belum siap, Indonesia dalam posisi sulit untuk meminta penundaan, apalagi
Indonesia merupakan motor penting dan pelopor di ASEAN. Untuk itu, the show must go on. Perlu dilakukan,
pertama, semua kementerian dan lembaga menyiapkan "Gugus Tugas Permanen
MEA" yang bertugas mengawal persiapan dan mengantisipasi dampaknya serta
mengintegrasikan dengan sistem yang ada sebagai Rapid Alert System (RAS) MEA.
Kedua, paket kebijakan mengatasi pelemahan ekonomi diselaraskan dengan
kesiapan MEA. Ketiga, mempercepat harmonisasi teknis di dalam negeri dan
mengusulkan penundaan spesifik apabila memang belum siap. Keempat,
mengintensifkan informasi serta edukasi agar masyarakat tahu apa yang harus
dilakukan dan siap menghadapinya.
Semoga hari-hari menjelang integrasi MEA bisa disiapkan dengan
baik dan sukses. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar