Menepis Api di Hutan Tropis
Nabiel Makarim ; Mantan Menteri Lingkungan Hidup RI
|
KOMPAS,
17 Oktober 2015
Pada dasarnya, kebakaran hutan sudah terjadi sejak lama. Pada
masa lalu, kebakaran hutan berlangsung sebagai salah satu siklus alamiah. Pada
masa berikutnya, kebakaran hutan dalam skala kecil sering terjadi sebagai
dampak dari pembukaan hutan untuk keperluan pertanian berskala kecil yang
dilakukan oleh peladang berpindah. Walaupun demikian, kebakaran hutan dalam
skala yang perlu mendapatkan perhatian nasional baru berlangsung pada dekade
terakhir abad yang lalu. Kini, bencana
ini sudah menjadi kebiasaan tahunan, terutama pada musim kemarau. Bagaimana
ganasnya kebakaran hutan serta bagaimana derita para korbannya sudah banyak
dibahas serta diberitakan.
Kebijakan pengendalian
Tiga dimensi pengendalian kebakaran hutan mencakup (1)
pencegahan, (2) penanggulangan kebakaran hutan, dan (3) pemulihan dampak
bencana kebakaran hutan. Strategi yang dapat ditempuh saat ini adalah
menanggulangi bencana yang sedang berlangsung saat ini dengan apa saja yang
dapat dilakukan. Pada saat kebakaran usai, kita perlu segera mencari cara
pencegahan dan selanjutnya baru kelak kita dapat memikirkan pemulihan dampak
kebakaran hutan. Tulisan ini difokuskan pada upaya mencari kebijakan yang
mampu mencegah terjadinya kebakaran hutan.
Berlangsungnya bencana
hampir setiap musim kemarau dalam lebih dari lima belas tahun
terakhir mengesankan bahwa kita belum
mampu efektif untuk mencegahnya. Kita perlu bertolak dari tingkat kebijakan. Posisi pemerintah pada
tingkat ini sudah jelas, yaitu kebakaran hutan harus dicegah. Selanjutnya
yang perlu didapat adalah instrumen kebijakan apa saja yang mampu untuk
mencegahnya.
Sebelum beranjak pada pilihan instrumen kebijakan, kita perlu
benar-benar mengenal siapa individu atau kelompok yang menjadi targetnya.
Jelas targetnya adalah individu serta kelompok yang berkepentingan untuk membersihkan
lahan agar siap untuk ditanami kelapa sawit. Dengan makin meningkatnya
permintaan pasar global terhadap minyak kelapa sawit, para produsen makin
agresif untuk meningkatkan volume produknya. Artinya, dalam tahun-tahun
mendatang ini, tanpa upaya yang tepat, potensi terjadinya serta skala
kebakaran hutan akan meningkat.
Walau kelompok ini didominasi perusahaan besar, peranan
perusahaan menengah dan kecil serta perkebunan milik keluarga juga perlu
diperhitungkan. Mereka perlu membersihkan lahan yang akan ditanami. Cara
cepat dan murah untuk ini adalah dengan membakar hutan.
Karena potensi kebakaran yang sering tidak terkendali, kebijakan
pemerintah adalah melarang praktik pembakaran hutan untuk membuka lahan
perkebunan. Langkah selanjutnya adalah menentukan apa instrumen kebijakan
yang afektif mendukung kebijakan ini. Tanpa instrumen kebijakan yang tepat
dan pelaksanaan yang efektif, kebijakan ini dapat menjadi semacam macan
ompong belaka. Beberapa instrumen kebijakan yang sudah diberlakukan antara
lain adalah informasi publik; terutama kepada
para pemangku kepentingan (stakeholders),
instrumen hukum, instrumen perizinan, dan lain sebagainya. Namun, tampaknya,
sampai kini berbagai pendekatan tersebut ini tidak memberikan hasil yang
diinginkan.
Pendekatan melalui dialog dengan para pemilik perkebunan sudah
dilaksanakan sejak tahun 1997. Peraturan mengenai pelarangan membuka lahan
dengan pembakaran sudah lama tersedia dan diberlakukan. Teknologi sudah mampu
mendeteksi di mana lokasi kebakaran. Dampak kebakaran hutan terhadap berbagai
aspek kehidupan sudah menjadi pengetahuan umum. Akan tetapi, intensitas penegakan hukum
belum juga mencapai tingkat yang membuat jera para pelakunya.
Sementara itu, warga yang setiap hari menyaksikan gambar-gambar
dampak asap terhadap berbagai aspek kehidupan sudah mulai geram. Negara
tetangga yang terkena dampak juga sudah menunjukkan tanda-tanda
ketidaksabaran. Dari Malaysia sudah mulai terdengar saran agar Indonesia
dituntut ganti rugi atas terjadinya berbagai dampak yang menimpa negeri jiran
ini. Mungkin kita memerlukan pemikiran-pemikiran baru yang lebih kreatif dan
efektif.
Pada masa lalu kita pernah mengalami situasi serupa. Pendekatan
hukum tak mampu menghentikan pencemaran, terutama pencemaran air sungai akibat limbah industri. Berbagai
kasus pencemaran yang dibawa ke pengadilan kandas belaka. Sementara kualitas
air sungai yang digunakan untuk air baku air minum, kebutuhan rumah tangga,
dan pertanian makin tak memadai lagi. Pemerintah makin terjepit antara makin
kotornya kualitas air sungai dan kemarahan masyarakat.
Maka, pada 1993, pemerintah menggunakan pendekatan baru, yaitu
mengumumkan tingkat ketaatan peraturan lingkungan perusahaan kepada publik.
Agar publik mudah memahaminya, tingkat pelanggaran dipaparkan dalam bentuk
warna. Label hitam diberikan kepada sumber air limbah (pabrik) yang
menimbulkan pencemaran; merah kepada sumber limbah yang melanggar baku mutu
limbah, tetapi belum menimbulkan pencemaran; biru kepada sumber limbah yang
sudah memenuhi baku mutu; dan selanjutnya hijau serta emas.
Tidak lama setelah label-label itu dipublikasikan, pihak pabrik
mulai protes dan minta agar pendekatan ini segera dihentikan. Ternyata beberapa dari mereka yang mendapat
label hitam dan merah mengalami penurunan harga saham serta kesulitan baru
saat berurusan dengan bank. Bagi pasar saham dan perbankan, label hitam dan
merah mengisyaratkan risiko yang lebih tinggi. Namun, memang inilah yang
dikehendaki pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah menggunakan mekanisme pasar
yang merupakan bahasa yang dipahami para pemilik pabrik untuk mengendalikan
pencemaran. Mekanisme pasar tidak bisa
dibeli, jadi kedap suap. Hanya saja, penentuan label perlu dilakukan dengan
benar dan tepercaya.
Sanksi pengistirahatan
lahan
Kembali pada kebakaran hutan, dengan adanya kebuntuan
berkepanjangan, dengan dampak yang semakin berat dipikul, ada baiknya apabila
kita mulai memikirkan pendekatan baru yang kreatif dan efektif. Pendekatan
yang disarankan adalah pemerintah
mengeluarkan peraturan baru. Inti dari peraturan baru ini adalah bahwa semua
lahan yang telah mengalami kebakaran tidak boleh dimanfaatkan untuk keperluan
apa pun selama tiga puluh tahun. Para pengelola perkebunan harus memilih
membuka tanahnya tanpa membakar atau praktis kehilangan hak untuk
memanfaatkan lahannya selama tiga puluh tahun.
Biarlah mereka menghitung sendiri dan memutuskan mana yang lebih
layak. Peraturan ini perlu diberlakukan bersama dengan semua pendekatan
(antara lain hukum) yang sudah berlaku saat ini. Jadi, pendekatan ini bukan
sebagai pengganti pendekatan hukum. Dalam pendekatan baru ini perlu pula
ditentukan bahwa bagi mereka yang tetap memanfaatkan lahan terlarang untuk
digunakan tentu saja disediakan sanksi yang sangat berat atau mahal. Perlu
dicatat di sini bahwa proses pembuktian bagi mereka yang melanggar ketentuan
memanfaatkan lahan yang "diistirahatkan" jauh lebih mudah daripada
pendekatan saat ini yang harus dibuktikan siapa pelaku pembakar hutan untuk
dikenai saksi.
Salah satu kelemahan pendekatan baru ini adalah apabila memang
terjadi kebakaran secara alamiah. Apakah penanggung jawab lahannya harus tetap
dikenai sanksi pengistirahatan lahan? Jawabnya adalah benar. Keadaan ini
dapat mendorong agar mereka yang tidak melakukan pembukaan lahan tanpa
pembakaran pun tetap menjaga lahannya dengan lebih saksama.
Pertimbangan berikutnya adalah sampai di mana pelaksanaan
pendekatan baru ini kedap terhadap korupsi, seperti misalnya para pejabat
yang bersangkutan tutup mata terhadap
dilakukannya penanaman di lahan yang telah diistirahatkan? Di sinilah peran
masyarakat, LSM, dan media menjadi menentukan. Informasi tentang lahan yang
terbakar kemudian harus diistirahatkan, tetapi tetap ditanam pada dasarnya
dapat dipantau melalui teknologi, seperti Google Maps dan sebagainya.
Pihak-pihak tersebut di atas berperan menentukan dalam mengidentifikasi serta
memantau pelanggaran sampai pada dijatuhkannya sanksi. Memang masalah bersama perlu diselesaikan
bersama, dalam hal ini melalui peran serta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar