PTS Apkir
Elfindri ; Mantan Koordinator Kopertis Wilayah X
(2009-2012);
Koordinator Program S-3 Ilmu
Ekonomi Universitas Andalas
|
KOMPAS,
17 Oktober 2015
Sebuah artikel yang ditulis oleh Ronald G Ehrenberg (2014, JEL,
Des, Vol LII, No 4) melihat kesulitan penyelenggara pendidikan tinggi negeri
di Amerika Serikat. Selain masalah
keuangan, faktor yang sangat penting adalah masalah tata kelola yang lemah.
Ehrenberg juga melihat, kendatipun pendidikan di perguruan tinggi swasta
(PTS) AS jauh lebih baik, kedua problem utama ini tetap muncul dan menjadi
diskusi yang cukup intensif.
Kesimpulan bahwa PTS di AS lebih baik dibandingkan dengan
perguruan tinggi negeri (PTN) agaknya tak berlaku di Indonesia. Memang sulit
dibandingkan. Hal ini mengingat AS telah mengelola pendidikan tinggi
berabad-abad lamanya dibandingkan dengan Indonesia.
Perguruan tinggi yang tua-tua, bangunannya seperti sarang hantu,
melahirkan produktivitas keilmuan yang tinggi. Katakan kualitasnya sekelas
Universitas Harvard dan Columbia. Ketika berkunjung ke dua PTS itu, semua
mahasiswa dan dosennya terlihat
serius, berlari mengejar waktu.
Di dinding-dinding tempat pengumuman sangat lumrah kita baca pengumuman
dosen tamu. Mereka penghasil hadiah Nobel, memberikan kuliah umum, lalu
mahasiswa dan dosen berburu mengejar tempat duduk untuk mendengarkan rahasia
yang akan disampaikan oleh pembicara utama.
Di tempat kita, jumlah PTN ratusan PTN, sementara PTS sudah
lebih dari 3.000 PTS. PTS penting karena 70 persen mahasiswa belajar di PTS.
Mereka tengah mengharapkan kehidupan baru setelah selesai kuliah.
Suasana seperti PTS kelas wahid di AS sulit kita temukan di
Indonesia. Di PTN layer satu pun, kuliah-kuliah umum seperti itu jarang
diperoleh. Karena pembicaranya sulit ada, mahasiswa dan dosen justru suka
melihat entertainment pada figur publik membahas masalah aktual.
Dari PTS-PTS di Indonesia yang tumbuh subur semenjak 1990-an
sampai 2010, sangat bisa dihitung dengan jari mana yang berkembang pesat.
Persoalan PTS di Indonesia tidak mendapatkan penanganan yang memadai lantaran
beberapa hal.
Pertama, sulit menyediakan dosen bermutu. Kalaupun tersedia,
kebanyakan pindah-setelah selesai pendidikannya-menjadi pegawai negeri atau
memilih bekerja secara profesional.
PTS menghadapi masalah serius ini sepanjang tahun. Yayasan pasrah
karena tidak mudah melahirkan seorang dosen yang bermutu.
Penulis pernah mengusulkan sebaiknya penyediaan dosen dilakukan
oleh pemerintah. Jika tidak penuh, separuh pun cukup, katakan tiga orang per
jurusan. Beban APBN tentu ada, tetapi pengembalian dari penyediaan anggaran
untuk pengadaan dosen di PTS sangatlah tinggi. Setidaknya berupa
penyelenggaraan pendidikan yang dapat memenuhi aspek pemerataan, kualitas,
dan akuntabilitas.
Kedua, konsekuensi masalah pertama, PTS memiliki kehidupan
"Senin-Kamis". Keuangannya tak mudah dan banyak yang merugi. Sebab,
mahasiswa di kelas yang disediakan semakin sedikit atau keuangan PTS
diperebutkan oleh para pendiri dan penyelenggara. Persoalan lain adalah
konflik kepentingan di dalam tubuh yayasan. Persoalan ini bisa muncul pada
sekitar 25 persen dari total PTS saat ini.
Ketiga, akumulasi persoalan pertama dan kedua, PTS dililit tata
kelola yang bermasalah. Hal itu mulai dari sulitnya menyediakan tempat yang
representatif, pendataan PTS yang tak bisa memenuhi sistem melalui pangkalan
data perguruan tinggi yang dirancang, dan tingkat turnover karyawan yang
tinggi sebagai akibat gaji rendah.
Masalah potensial
Ketika 243 PTS dinyatakan ditutup (Kompas, 6/10), sebenarnya ini konsekuensi belum berjalannya
sistem monitoring oleh Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis). Dulu,
Yahya Muhaimin, mantan Menteri Pendidikan Nasional, mengusulkan agar Kopertis
di-backup oleh staf ahli. Ini mengingat keberadaan koordinator dan sekretaris
tidak cukup untuk melayani pembinaan PTS di daerah kerjanya. Apalagi dengan
sistem sekarang, pekerjaan koordinator Kopertis diakui sebagai pekerjaan tambahan.
Jika di Kopertis Wilayah X dulu tersedia 214 PTS, menghadiri
kegiatan wisuda saja tidak akan pernah bisa selesai dalam satu tahun untuk
menjangkau semua PTS. Pengecekan daftar calon wisuda dilakukan, tetapi di
daerah lain kabarnya tidak dilakukan.
Pengecekan PTS melalui monitoring tidak membuahkan hasil dari
proses monitoring yang ada. Di antaranya praktik PTS kelas jauh, menerima
murid di atas ketentuan jumlah, dan mewisuda dengan SKS yang tidak selalu
jelas perhitungannya. Izin kadang muncul dari atas sekalipun PTS-nya belum
siap.
Pasar gelap PTS seperti ini masih ada konsumennya. Akan tetapi,
sistem monitoring yang dibangun saat ini tetap tidak bisa membuahkan
keberanian untuk menghentikan praktik gelap PTS tersebut.
Jangankan PTS, PTN juga melakukan praktik pembukaan kelas jauh.
Itu bisa diperiksa di kebanyakan PTN di provinsi-provinsi. Karena tidak ada
tindak lanjut, lalu fenomena semacam ini akhirnya merupakan budaya yang bisa
diterima oleh masyarakat. Alhasil, kualitas PTN sulit naik, apalagi PTS.
Penghentian operasionalisasi PTS di atas jelas perlu disikapi
dengan menyiapkan instrumen kebijakan. Pertama, mesti disediakan pembinaan
bagi mahasiswa yang "telanjur" jadi alumnus. Program sertifikasi,
misalnya, bisa dijadikan exit policy.
Jika tidak, akan banyak korban yang berjatuhan alias korban dampak dari
kebijakan itu.
Kedua, bagi tamatannya, konsekuensi aturan kepegawaian
membayangi. Mereka ada yang sudah menjabat, seperti guru dan pegawai
pemerintah daerah. Bisa muncul gerakan mempertanyakan keabsahan ijazah.
Karena itu, tindakan mengapkir PTS sebaiknya juga diikuti penyiapan bagaimana
mengatasi masalah yang bakal muncul.
Ketiga, bagi PTS yang menunggu daftar antrean untuk apkir,
pembinaan justru lebih baik dibandingkan dengan pembinasaan. Tentu pembinaan
bisa dilakukan dengan membangun komponen-komponen penting, di antaranya penyediaan
dosen oleh pemerintah, pembinaan oleh universitas negeri setempat, serta
penguatan akuntabilitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar