Desentralisasi Bencana Nasional
Donny Sofyan ; Dosen Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas Padang Sumatera
Barat
|
JAWA
POS, 16 Oktober 2015
SUNGGUHPUN sudah menelan korban
lantaran telah berlangsung dalam hitungan bulan, Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) menetapkan bahwa kabut asap bukan bencana nasional. Bagaimana
mungkin kabut asap yang dampaknya lintas desa, lintas kecamatan, lintas
kabupaten, lintas kota, lintas provinsi, lintas pulau, bahkan lintas negara
belum dianggap sebagai bencana nasional? Sementara itu, kasus Lapindo, yang
menelan satu kecamatan, Porong, sudah ditetapkan sebagai bencana nasional.
Apakah keputusan tersebut diambil karena musibah ini tidak berlangsung di
Jakarta atau Jawa?
Pemerintah lewat BNPB seharusnya
menetapkan bencana kabut asap yang melingkupi wilayah Kalimantan dan Sumatera
ini sebagai bencana nasional. Ini bukan saja karena wilayah cakupannya yang
sangat luas dengan dampak penurunan kualitas kesehatan masyarakat pada titik
terendah.
Ini sudah menjadi terorisme
lingkungan dengan dampak kerusakan alam jangka panjang secara reguler.
Mengecam pemerintah pusat yang seolah-olah melakukan pembiaran dan tidak
peduli tidak akan mengurai benang kusut dari krisis lingkungan ini.
Presiden Jokowi bahkan sudah
datang dan memberikan instruksi agar bencana ini bisa ditanggulangi. Pasukan
TNI sedang berjibaku dengan alat yang ada untuk memadamkan atau melokalisasi
kebakaran.
Upaya untuk mengatasi kabut
asap ini sejatinya adalah sebuah proyek peradaban yang dimulai dari setiap
daerah di negeri ini. Karena itu, perang terhadap terorisme lingkungan mesti
dipahami sebagai desentralisasi bencana nasional.
Yakni, sebuah gerakan mengatasi
krisis lingkungan secara nasional tanpa lagi terjebak dengan permainan saling
mengambinghitamkan antara pemerintah pusat dan daerah. Jujur saja, pemerintah
daerah juga perlu bersikap sportif karena krisis lingkungan ini terkait
dengan kelalaian mereka.
Publik bisa saja bertanya siapa
yang memberikan izin menebang hutan kepada perusahaan pertambangan dan HPH
(hak pengusahaan hutan) kepada pengusaha? Lantas, apa kerja bupati, wali
kota, atau gubernur di seluruh provinsi? Belum lagi, apa kontribusi
perusahaan pertambangan dan HPH milik asing untuk memadamkan kebakaran hutan
di Indonesia?
Keniscayaan desentralisasi
bencana nasional ini amat urgen untuk mempersiapkan rencana jangka pendek dan
jangka panjang yang komprehensif dengan melibatkan semua stakeholder. Yaitu,
lewat penegakan hukum agar hal ini tak akan terulang kembali tahun depan dan
seterusnya.
Ini tentu diawali dengan adanya
kepemimpinan yang kuat dan penuh kepeloporan di daerah dalam memobilisasi
rakyat. Kemampuan menggerakkan segenap lapisan warga akan memberikan
pelajaran secara langsung kepada masyarakat agar menjaga lingkungan, terlebih
hutan.
Apa yang dilakukan Wali Kota
Bandung Ridwan Kamil bisa menjadi contoh yang menarik. Sebelum
penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika di Bandung beberapa waktu lalu, Ridwan
Kamil mengajak semua warga untuk kerja bakti. Ini terbukti mujarab bagi
kesuksesan penyelenggaraan pergelaran tersebut.
Pendekatan serupa seyogianya
bisa juga diterapkan di daerah-daerah yang terkena kebakaran hutan. Wali kota
atau bupati di daerah terkena kabut hendaknya bisa mengajak semua warga untuk
bergotong royong melakukan pemadaman atau membuat kanal guna mempercepat
proses pemadaman kebakaran.
Pemerintah daerah juga perlu
melibatkan masyarakat penghuni hutan belantara yang selama ini tanpa berdosa
sering diasosiasikan dengan suku-suku primitif. Padahal, mereka juga adalah
korban yang tak kalah parahnya dibandingkan saudara-saudara mereka di
perkotaan.
Sungguh miris banyak penduduk
asli perkampungan Sakai di tengah hutan Riau atau perkampungan Suku Anak
Dalam di Provinsi Jambi yang tidak tahu bahwa asap itu berasal dari hutan
yang dibakar.
Tak kalah pentingnya, upaya
desentralisasi bencana nasional ini akan lebih efektif bila pemerintah daerah
bekerja sama dengan tokohtokoh informal atau mantan pejabat daerah yang
terkenal karismatis.
Di Sumatera Barat, sebagai
salah satu daerah yang terkena dampak kabut asap, upaya ini bisa dijalankan
lewat adanya kesadaran kolektif untuk melakukan derantaunisasi. Yakni, sebuah
gerakan pulang kampung secara sadar guna terjun langsung demi berkontribusi
bagi Ranah Minang.
Pemerintah Kota Padang,
misalnya, bisa mengundang dan memberikan ruang sosial bagi sosok karismatis
seperti Syahrul Ujud, wali kota Padang 1983–1993, untuk sepenuhnya tinggal di
Padang dalam rangka memadukan semangat warga Padang menyukseskan gerakan
mengatasi bencana nasional.
Umur administratif seorang
Syahrul Ujud memang telah berakhir seiring dengan habisnya jabatannya sebagai
wali kota Padang pada 1993. Namun, umur kulturalnya belum usai, tidak hanya
di ruang hati orang-orang yang pernah merasakan kepemimpinannya, tapi juga di
alam pikiran orang-orang yang sekadar mendengar indahnya masa lalu (good old days) di bawah kepemimpinan
sang wali kota.
Ikhtiar kolektif untuk
memerangi terorisme lingkungan di daerah merupakan strategi jitu. Upaya
tersebut mengandung konsekuensi jangka panjang bagi kelestarian lingkungan di
satu sisi dan peningkatan kualitas kesehatan kemanusiaan di sisi lain. Sebab,
gerakan ini menyenyawakan etos kemandirian dan kearifan lokal secara tepat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar