Begitu Mahalnya Bernapas Bebas
Fauzia Fatchan ; Korban kabut asap;
Bekerja dan tinggal di Kabupaten
Katingan, Kalimantan Tengah
|
JAWA
POS, 12 Oktober 2015
KETIKA saya pindah ke sebuah
desa di Kalimantan Tengah tiga tahun lalu untuk bekerja, salah satu hal
pertama yang saya pahami adalah adanya tiga musim di sini: musim hujan, musim
kemarau, dan musim asap. Karena begitu musim kemarau tiba, kebakaran lahan
pun dimulai.
Dengan kondisi tanah yang
sebagian besar merupakan tanah gambut, kebakaran memang mudah sekali terjadi
pada musim kemarau. Juga, kebakaran di lahan gambut lebih sulit dipadamkan.
Hal itulah yang dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk membersihkan lahan
yang kemudian mereka gunakan untuk usaha. Umumnya, usaha perkebunan. Membersihkan
lahan dengan cara membakar jauh lebih murah dan mudah daripada menggunakan
alat-alat berat.
Tahun ini adalah musim asap
terparah yang pernah ada. Sudah dua bulan terakhir ini kami bangun tidur di
pagi hari dengan sesak napas dan mata pedih. Sebab, asap dari lahan-lahan
yang terbakar telah masuk dan bertahan di dalam rumah. Tidak mungkin
benar-benar membendung masuknya udara yang bercampur asap kebakaran ke dalam
rumah seperti halnya jika kita membendung air banjir.
Ketika kondisi itu terjadi, jarak
pandang 15–30 meter saja. Dengan asap yang begitu pekat, penggunaan masker
sudah tidak memadai lagi. Hal itu sama dengan jika kita harus berdiri di
depan knalpot kendaraan yang sedang berjalan.
Tidak semua orang yang
terdampak mampu memiliki AC atau penyedot udara untuk menjaga sirkulasi
udara. Apalagi jika harus terpasang di setiap ruangan di dalam rumah. Tidak
semua orang yang terdampak bisa mengungsi. Bagi sebagian besar warga, di
sinilah satu-satunya tempat tinggal berikut sanak kerabat mereka lainnya.
Selain akses keluar dari daerah
terdampak hampir seluruhnya tertutup, mengungsi membutuhkan biaya ketika di
saat yang sama mereka harus meninggalkan pekerjaan untuk waktu yang tidak
bisa ditentukan.
Pollutant Standards Index (PSI)
adalah indikator kualitas udara yang paling mudah dimengerti masyarakat luas.
Ketika PSI mencapai angka di atas 300, artinya udara sudah masuk kategori
berbahaya, bukan hanya tidak sehat. Semuanya terpapar. Terutama tubuh dan
makanan.
Pada Hari Raya Idul Adha lalu,
indeks kualitas udara di Palangka Raya menunjukkan angka di atas 1.900. Dua
hari kemudian bahkan memecahkan rekor dengan angka 2.300. Sebuah instansi
pengamat lingkungan di Amerika Serikat melalui pantauan via satelit
menyebutkan bahwa indeks kualitas udara di Palangka Raya ”secara harfiah
hampir keluar dari grafik”.
Kami yang awam ini juga punya
indikator sendiri. Apabila di pagi hari bisa melihat matahari dengan mata
telanjang tanpa harus merasa silau seperti hari-hari ketika cuaca normal,
kami sebaiknya tinggal di rumah saja. Sebab, matahari hanya akan bisa dilihat
dengan mata telanjang ketika asap sangat tebal dan pekat.
Apalagi jika langit juga tampak
kemerahan-merahan. Artinya, kami berada cukup dekat dengan titik-titik api.
Kami berada di episentrum bencana. Beberapa hari terakhir matahari bahkan
tidak terlihat sama sekali. Tidak seberkas sinar pun bentuknya.
Kehidupan benar-benar lumpuh.
Sekolah-sekolah sudah lama diliburkan. Kalaupun sempat masuk, sering kali
anak-anak harus dipulangkan karena asap yang semakin tebal. Hal serupa
terjadi di kantorkantor layanan masyarakat. Buka dan tutup bergantung
ketebalan asap yang sangat tidak bisa diprediksi kapan menebal dan menipis.
Bandara bahkan telah ditutup total selama lebih dari dua bulan.
Namun, banyak juga yang masih
beraktivitas di luar ruangan. Misalnya pasar. Meskipun situasi pasar-pasar
tradisional juga sepi. Bukan hanya minim pembeli, barang-barang dagangan pun
menurun dari segi jumlah dan kualitas.
Puskesmas dan rumah sakit yang
sibuk. Hingga saat ini, di Indonesia saja, telah tercatat sekitar 140.000
orang menderita berbagai penyakit pernapasan. Warga harus mengeluarkan biaya
Rp 500 ribu–Rp 700 ribu untuk berobat karena ISPA. Ketika membutuhkan oksigen
murni, mereka harus merogoh kocek lebih dalam untuk harga oksigen yang mulai
ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Begitu mahalnya bernapas bebas.
Dengan kondisi yang begitu
parah dan didukung angka-angka statistik yang mengerikan, reaksi pemerintah
tidak kalah ”mencengangkan”.
Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Siti Nurbaya pernah menyatakan bahwa tahun lalu area yang terbakar
hanya 40 ribu hektare. Sekarang lebih dari 190 ribu hektare. HANYA 40 RIBU.
Apakah Bu Menteri tahu, dengan area ”hanya” seluas itu saja, dampak yang
ditimbulkan sudah sangat merepotkan bagi kami yang menjadi korban? Apakah itu
juga yang lantas tidak cukup membuat khawatir pihak pemerintah untuk bergerak
cepat dan mencegah?
Jauh-jauh hari BMKG menyatakan,
dengan adanya El Nino, tahun ini hujan diprediksi baru terjadi pada November.
Padahal, kebakaran sudah dimulai awal Agustus lalu.
Dengan pada dasarnya hanya
menunggu datangnya hujan, Indonesia terbukti mencetak ”prestasi” mengacaukan
jadwal penerbangan di Thailand untuk kali pertama sepanjang sejarah dengan
kiriman kabut asap.
Memang lahan gambut mudah
terbakar. Terutama pada musim kemarau. Tapi, bencana yang begitu masif dan
parah juga akan bisa dihindari jika korporasi-korporasi yang membakar lahan
benar-benar dibuat jera selama-lamanya.
Dicabut izinnya, disita
lahannya, serta dijatuhi sanksi penjara yang lama dan denda yang bisa
digunakan untuk mengatasi masalah. Kalau ancaman kurungan beberapa tahun dan
denda beberapa miliar rupiah saja, musim asap akan benar-benar menjadi musim
ketiga.
Bukan kami yang membakar. Kami
juga tidak mendapatkan keuntungan dari kebakaran. Tapi, kami harus menanggung
semua kerugiannya. Berat perjuangan kami untuk bernapas. Namun, hidup harus
terus berlanjut. Walau sambil menghirup maut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar