Laporan Diskusi 70 Tahun
Kemerdekaan RI
"Menuju
Usia 100 Tahun Indonesia"
Manfaatkan
Bonus Demografi
KOMPAS, 02 Oktober 2015 |
Sejak tahun 2012, Indonesia
menikmati bonus demografi, yaitu kondisi saat rasio jumlah penduduk usia
produktif yang menanggung penduduk usia tidak produktif di bawah angka 50.
Titik terendah rasio ketergantungan ini diperkirakan akan terjadi pada tahun
2028-2031.
Di titik terendah itulah terdapat
periode emas yang sering disebut sebagai the
window of opportunity. Setelah periode itu, rasio ketergantungan akan
kembali naik. Diperkirakan bonus demografi berakhir tahun 2045. Jika meleset,
berarti periode bonus demografi akan lebih singkat, hanya sampai tahun
2030-2040. Bonus ini hanya satu kali datang pada suatu bangsa.
Satu hal yang membuat masa bonus
demografi meleset adalah tidak tercapainya target laju pertumbuhan penduduk
(LPP). LPP Indonesia termasuk tinggi, yakni 1,49 persen, lebih tinggi dari
LPP Asia yang 1,08 persen. Karena itu, ditargetkan LPP Indonesia turun menjadi
1,38 persen (2010-2015), 1,19 persen (2015-2020), dan akhirnya 1 persen
(2020-2025).
Selama masa bonus demografi,
setiap negara memiliki peluang pembangunan lebih baik dengan meningkatnya
angkatan kerja usia produktif. Terjadi peningkatan penawaran tenaga kerja
yang disertai naiknya tabungan masyarakat. Keduanya menjadi sumber
pertumbuhan ekonomi.
Bonus itu bisa diperoleh bukan
tanpa prasyarat. Salah satunya, tenaga kerja berkualitas yang menentukan
tingkat produktivitas dan daya saing. Prasyarat tersebut selama ini menjadi
pekerjaan berat pemerintah.
Kualitas
rendah
Secara umum, Indonesia belum bisa
mengoptimalkan potensi bonus demografi. Meski penawaran tenaga kerja besar,
kualitasnya masih rendah. Rata-rata lamanya sekolah penduduk usia dewasa (25
tahun ke atas) berdasarkan Susenas 2014 baru mencapai 7,9 tahun, setara kelas
II SMP. Akibatnya, sekitar 64 persen angkatan kerja berpendidikan SMP ke
bawah. Hanya 6,78 persen berpendidikan sarjana atau lebih tinggi. Tingkat
pendidikan pun secara kuantitas bervariasi antardaerah. Secara kualitas
terjadi kesenjangan antara desa dan kota.
Terdapat tiga hal yang
diidentifikasi sebagai kelemahan tenaga kerja. Pertama, penguasaan bahasa
asing, terutama bahasa Inggris. Indonesia yang terbuka dalam hal perekonomian,
perdagangan, dan kebudayaan mau tidak mau harus menguasai bahasa yang menjadi
penghubung antarbangsa untuk meningkatkan posisi tawar.
Kedua, kepemimpinan. Faktor ini
sangat berperan dalam mengambil keputusan mengenai apa yang terbaik bagi diri
sendiri, keluarga, masyarakat, dan bangsa. Mampu bersikap kritis dan tidak
sekadar patuh atau taat kepada penguasa atau kekuasaan. Terakhir,
keterampilan dan penguasaan teknologi informasi dan komunikasi.
Hal itu perlu diperbaiki lewat
pendidikan. Kualitas tenaga kerja masa depan dan masyarakat umumnya
tergantung dari kualitas dan tingkat pendidikan penduduk usia sekarang. Tahun
2045, penduduk usia produktif sekarang akan menjadi lansia dan jika tidak
berkualitas akan menjadi beban bagi penduduk usia produktif pada masa itu.
Ujung
tombak
Meningkatkan pendidikan masyarakat
menjadi tugas maha berat sebab pendidikan kita masih dalam taraf pencitraan
dan bersifat administratif. Kebijakan pendidikan masih berorientasi pada
jumlah. Di tingkat dasar dan menengah, pendekatan jumlah memang menjadi tolok
ukur. Meski demikian, tolok ukur itu tidak bisa diterapkan di pendidikan
tinggi.
Di pendidikan tinggi, prioritas
utama bukan jumlah, melainkan kualitas pendidikan. Selama ini, pendidikan
tinggi belum mampu memberdayakan yang dididik. Tingginya tingkat pengangguran
menjadi bukti setelah pendidikan ditempuh, anak didik justru kian tergantung.
Mereka lebih menanti kesempatan kerja daripada membuka lapangan usaha. Data
terakhir, terdapat 128,3 juta orang angkatan kerja, tetapi kesempatan kerja
hanya bagi 120,85 juta orang.
Pendidikan belum bersifat
memberdayakan. Untuk meningkatkan daya saing, kebijakan pendidikan harus
menjadikan perguruan tinggi sebagai ujung tombak. Dari pengalaman negara
lain, tidak ada negara maju tanpa didukung perguruan tinggi yang kuat.
Perguruan tinggi berperan besar memajukan kesejahteraan negara.
Kualitas perguruan tinggi
bergantung pada kualitas lulusan sekolah menengah. Permasalahan saat ini,
lulusan SMA dan SMK ternyata tidak cukup baik untuk menghasilkan lulusan
perguruan tinggi yang baik sehingga perlu reformasi pendidikan guru untuk
menguatkan kemampuan guru dalam bidang ilmu pengetahuan. Guru yang baik akan
menghasilkan lulusan yang baik, minimal melek ilmu pengetahuan sehingga dapat
dididik di perguruan tinggi untuk menjadi lulusan yang unggul dan berdaya.
Tahun 2045, jumlah penduduk
Indonesia diperkirakan 321 juta jiwa. Jumlah yang besar itu harus disertai
dengan penduduk yang tidak hanya mampu bertahan hidup, tetapi juga mampu
bersaing di tingkat nasional dan global.
Butuh perencanaan dan cetak biru
kebijakan pendidikan yang dilaksanakan konsisten, inklusif, dan menghargai
keberagaman Indonesia untuk memenuhi hak dasar masyarakat agar menjadi
pintar. Pendidikan harus menjadi jembatan memanfaatkan bonus demografi. Kalau
Indonesia meleset memanfaatkan bonus itu, yang akan terjadi adalah
malapetaka. Jika salah menangani tambahan tenaga kerja, bonus itu akan
berbuah jadi persoalan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar