Laporan Diskusi 70 Tahun
Kemerdekaan RI
"Menuju
Usia 100 Tahun Indonesia"
Keberlangsungan
Pembangunan Bangsa
KOMPAS, 02 Oktober 2015 |
Seabad Indonesia merdeka, tahun
2045, tantangan bangsa Indonesia kian berat. Sekitar 350 juta penduduk harus
dihidupi. Seiring meningkatnya kemampuan ekonomi warga, kebutuhan pangan,
energi, hingga barang tersier, terutama produk teknologi dan penunjang gaya
hidup, ikut melonjak. Pada saat bersamaan, tekanan lingkungan membesar.
Sumber daya alam kian tergerus dan dampak pemanasan global makin terasa.
Meningkatnya populasi penduduk tua
dan perubahan gaya hidup membuat pola penyakit pun kian kompleks.
Perkembangan teknologi membuat hubungan manusia dengan mesin meningkat.
Kemajuan dunia digital juga membuat batas negara, bangsa, dan budaya menisbi.
Interaksi masyarakat Indonesia dengan lebih dari 9 miliar penduduk Bumi lain
makin mudah meski persaingan kian sengit.
Dalam persaingan itu, semua negara
berusaha jadi yang terdepan. Menguasai sumber daya terbaik sebanyak-banyaknya
untuk menjadikan bangsa mereka unggul, produktif, dan berdaya saing.
Keunggulan dan daya saing itu hanya bisa diraih jika menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek).
Penguasaan iptek ditandai
munculnya karya inovasi yang akan menjamin keberlangsungan pembangunan
ekonomi. Tanpa inovasi, pertumbuhan ekonomi suatu bangsa tak akan progresif.
Rendahnya inovasi itulah yang jadi
persoalan besar bangsa Indonesia. Tak berarti bangsa Indonesia tak inovatif
dan kreatif, tetapi sistem dan struktur yang dibangun pemerintah justru
menumpulkan inovasi anak bangsa. Munculnya inovasi butuh investasi yang
konsisten, terintegrasi, dan terarah karena harus dilakukan jangka panjang.
Pendanaan untuk mendorong
munculnya inovasi di Indonesia sejak dulu hingga kini tak pernah lebih dari
0,09 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB), jauh dari rasio ideal 2
persen PDB. Itu pun dihambat proses pencairan, administrasi, dan birokrasi,
serta memiliki konsekuensi hukum.
Tidak
ada dukungan
Di ASEAN, dana riset Indonesia
hanya lebih baik dari Laos dan Kamboja. Belanja riset negara BRICS (Brasil,
Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan) yang jadi pesaing ekonomi
Indonesia lebih dari 1 persen PDB. Sementara negara dengan pertumbuhan
industri tinggi dan lonjakan kesejahteraan warga, seperti Korea Selatan,
Taiwan, dan Singapura, sekitar 3 persen.
Alhasil, produk pengetahuan
Indonesia dalam bentuk publikasi di jurnal ilmiah ataupun paten sangat
rendah, bahkan dibandingkan mantan "murid", Malaysia. Pasar produk
teknologi, barang industri, hingga produk pertanian-peternakan bermutu pun
didominasi produk inovasi bangsa lain. Sebaliknya, ekspor Indonesia ke negara
lain masih dipenuhi bahan mentah hasil eksplorasi alam yang sebentar lagi
pasti habis.
Inovasi juga membutuhkan sumber
daya manusia memadai. Rasio peneliti dan perekayasa Indonesia terhadap jumlah
penduduk tergolong yang terendah di dunia, sekitar 40 orang per 1 juta
penduduk. Malaysia yang jadi rujukan pendidikan tinggi sebagian masyarakat
Indonesia saat ini memiliki rasio 1.600 orang per 1 juta penduduk. Rendahnya
tenaga peneliti dan perekayasa di Indonesia merupakan buah dari kecilnya
jumlah penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi. Selain itu, bidang sains
dan teknologi juga kurang diminati atau daya tampung terbatas. Karier
peneliti atau perekayasa di lembaga penelitian atau industri pun dianggap tak
prospektif.
Sebagian besar peneliti dan
perekayasa Indonesia bekerja sebagai akademisi di perguruan tinggi dan
birokrat di pemerintahan. Sangat sedikit yang berkiprah di industri.
Aktivitas riset mereka pun sangat kurang. Waktu lebih banyak digunakan untuk
mengerjakan persoalan administrasi, mengajar, atau pengabdian masyarakat.
Kolaborasi riset dan rekayasa antara akademisi di lembaga penelitian atau perguruan
tinggi dan industri pun rendah. Padahal, industrilah yang punya kemampuan
mengembangkan riset tersebut menjadi produk sesuai kebutuhan pasar.
Buruknya hubungan akademisi dengan
industri itu disebabkan kurangnya saling pengertian dan kepercayaan di antara
lembaga-lembaga tersebut. Industri menilai akademisi tak paham kebutuhan, tak
membumi, dan terlalu birokratis. Sementara akademisi memandang industri
terlalu serakah dan tidak idealis.
Menjadi tugas pemerintah
menjembatani ketidakselarasan tersebut. Masalahnya, baik akademisi maupun
industri sering kali mencurigai niat dan keefektifan pemerintah. Akibatnya,
upaya membangun kemitraan di antara akademisi, industri, dan birokrasi
melalui konsep ABG (academy, business,
government) atau triple helix selama bertahun-tahun tak membuahkan hasil
optimal.
Padahal, semua pihak yakin iptek
penting bagi bangsa. Titik simpul yang jadi masalah dalam pengembangan
inovasi pun diketahui. Beberapa upaya mengurai simpul masalah pun sudah
dilakukan meski hasilnya jauh dari memuaskan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar