Laporan Diskusi 70 Tahun
Kemerdekaan RI
"Menuju
Usia 100 Tahun Indonesia"
Asa
Menuju 100 Tahun Indonesia
KOMPAS, 02 Oktober 2015 |
Pengantar
Redaksi :
Melalui usia 70 tahun kemerdekaan,
banyak hal telah dicapai Indonesia, di antaranya berkembangnya demokrasi dan
semakin berperannya masyarakat sipil (”civil
society”). Namun, cita-cita kemerdekaan, yaitu masyarakat adil, makmur,
dan berbahagia, masih jauh dari harapan. Harian "Kompas" mengadakan
curah pendapat "Menuju Usia 100 Tahun Indonesia" di Redaksi
”Kompas”, Agustus lalu, untuk mengenali serta mencoba mencari solusi
tantangan dan peluang Indonesia menjadi negara maju, makmur, dan berkeadilan.
Sebagai narasumber adalah Ketua Komunitas Indonesia untuk Demografi Ignas
Kleden; Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Sangkot Marzuki;
Wakil Ketua AIPI Satryo Soemantri Brodjonegoro; Kepala Lembaga Demografi
Universitas Indonesia Sonny Harry B Harmadi; peneliti Institute for Ecosoc
Rights, Sri Palupi; pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada,
Mudrajad Kuncoro; dan anggota AIPI, Yudi Latif. Laporan dirangkum oleh Ninuk
Mardiana Pambudy, Tri Agung Kristanto, Dewi Indriastuti, M Zaid Wahyudi, dan
peneliti Litbang ”Kompas”, Gianie.
Indonesia baru merayakan 70 tahun
kemerdekaan, umur yang relatif muda untuk sebuah negara. Pada saat bersamaan,
usia tersebut mengantar menuju usia 100 tahun. Waktu 30 tahun adalah singkat
untuk mengerjakan banyak hal besar bagi sebuah bangsa mencapai cita-cita
kemerdekaan. Apalagi di tengah perubahan cepat yang dipicu oleh globalisasi
dan perkembangan teknologi.
Cita-cita Indonesia merdeka
seperti terdapat dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 10945 adalah berdaulat,
adil, dan makmur berdasarkan Pancasila. Saat ini, cita-cita tersebut belum
tercapai, bahkan ada yang menganggap semakin jauh dari cita-cita masyarakat
adil dan makmur. Salah satu ukuran adalah rasio gini sebagai ukuran
ketimpangan kemakmuran yang beberapa tahun terakhir mencapai 0,41, tertimpang
sejak Indonesia merdeka.
Dengan jumlah penduduk sekitar 250
juta jiwa dan sumber daya alam, terutama kelautan, yang melimpah, Indonesia
termasuk dalam 20 negara terkaya di dunia. Pertanyaannya, apakah kekayaan
tersebut sudah memberi kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat?
Modal penting untuk mencapai
cita-cita kemerdekaan adalah penduduk. Indonesia tengah menikmati periode
bonus demografi sejak 2012 hingga puncaknya pada 2030. Keadaan ini menjadi
modal dasar bagi Indonesia untuk keluar dari perangkap negara berpenghasilan
menengah-bawah. Menurut data Badan Pusat Statistik, produk domestik bruto
nasional pada 2012 lalu 3.751,38 dollar AS per kapita per tahun, pada 2013
sebesar 3.669,75 dollar AS, dan pada 2014 menjadi 3.531,45 dollar AS karena
nilai tukar rupiah yang terus merosot.
Bonus demografi dan kekayaan alam
yang besar akan meningkatkan kemakmuran hanya jika dapat dimanfaatkan.
Syaratnya, terjadi penguasaan iptek dan kemampuan melakukan inovasi sehingga
peran pendidikan, peningkatan keterampilan, dan tingkat kesehatan penduduk
menjadi syarat mutlak.
Persoalan lain, kemampuan
negara-bangsa Indonesia menghadapi serbuan globalisasi. Globalisasi membawa
fundamentalisme agama dan pasar. Keduanya sama-sama melemahkan negara-bangsa
kecuali ada kepemimpinan dan kelembagaan mumpuni. Dalam kondisi demokrasi
saat ini, peran masyarakat sipil menjadi sangat penting untuk menjawab kian
tergerusnya pemenuhan hak asasi manusia (HAM), termasuk hak ekonomi, sosial,
dan budaya yang sering terabaikan.
Globalisasi
dan hak ekosob
Menuju usia 100 tahun Indonesia,
globalisasi adalah keadaan yang perlu disikapi cermat tanpa menjadi fobia.
Dengan segala kebaikan globalisasi dalam persilangan budaya dan perdagangan,
globalisasi juga menjadi kendaraan bagi dua ekstrem fundamentalisme yang
lahir pasca perang dingin. Fundamentalisme agama dan pasar menjadi dua sisi
koin yang berlomba menaklukkan tiap jengkal dunia atas dasar hegemoni
penunggalan agama dan pasar.
Globalisasi pada satu sisi menarik
sebagian kedaulatan negara-bangsa dan komunitas lokal pada arus interdependensi.
Negara-bangsa dirasa menjadi terlalu kecil untuk mengatasi tantangan global.
Dalam interdependensi, tidak ada negara dapat mengisolasi diri. Pada sisi
lain, globalisasi juga menekan negara-bangsa ke arah desentralisasi karena
dianggap tidak dapat menyelesaikan persoalan di tingkat lokal. Di Indonesia,
tekanan globalisasi melahirkan otonomi daerah dan pemekaran wilayah yang
membawa persaingan berbau etnosentrisme.
Globalisasi mendorong lahirnya
pasar bebas yang pada gilirannya melemahkan kemampuan negara-bangsa dan
sistem-sistem kesejahteraan melindungi jalan hidupnya. Globalisasi melahirkan
lembaga suprastruktur di atas negara-bangsa, seperti Bank Dunia dan Dana
Moneter Internasional (IMF).
Meskipun didirikan untuk tujuan
menolong negara-negara yang membutuhkan, dalam praktik, IMF menjadi pintu
bagi globalisasi korporasi dan spekulasi tingkat dunia tanpa memerhatikan
dampak perilaku korporasi dan spekulasi yang menyengsarakan sebagian besar
masyarakat dunia, seperti saat krisis keuangan tahun 2008 di Amerika dan
Eropa.
Dalam semangat globalisasi itu,
yang terpinggirkan adalah hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob)
masyarakat. Kebanyakan orang melihat pelanggaran hak asasi manusia sebatas
genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan kemanusiaan.
Dalam kaitan itu, pelanggaran berat hak ekosob dapat dianggap sebagai
kejahatan terhadap kemanusiaan.
Menguatnya kekuasaan korporasi
selama setengah abad terakhir menyebabkan wacana hak asasi di sektor bisnis
terpinggirkan. Korporasi besar dan berjangkauan global bidang pertambangan
dan perkebunan, contohnya, terus bentrok dengan masyarakat. Perjanjian dengan
negara melindungi hak investor, tetapi luput mewajibkan tanggung jawab
investor terhadap HAM, termasuk hak ekosob, masyarakat yang terkena dampak
investasi.
Situasi tersebut menjadi tantangan
yang harus diselesaikan karena melahirkan ketimpangan kemakmuran antara desa
dan kota, antardaerah dan antarpulau, ataupun di dalam daerah. Papua,
misalnya, adalah daerah dengan sumber daya alam terkaya di Indonesia, tetapi
indeks pembangunan manusianya paling rendah.
Pembangunan
inklusif
Indonesia tengah menikmati bonus
demografi sejak 2012 dan puncaknya tercapai pada 2028-2031. Saat itu, rasio
ketergantungan penduduk usia produktif terhadap penduduk anak-anak dan usia
lanjut mencapai titik terendah. Kemakmuran negara yang mendapat bonus
demografi diasumsikan meningkat cepat. Syaratnya, pembangunan bersifat
inklusif, semua warga dapat berpartisipasi penuh.
Manfaat bonus demografi didapat hanya
ketika semua penduduk berkualitas dari sisi pendidikan dan kesehatan; ada
lapangan kerja berkualitas untuk setiap orang tanpa diskriminasi, termasuk
yang berbasis jender karena perempuan adalah separuh jumlah penduduk; dan
program keluarga berencana mencapai target.
Syarat lain, akses terhadap
layanan keuangan harus meningkat, uang yang dihasilkan individu produktif
dapat ditabung dan menjadi modal pembangunan.
Persoalan dengan bonus demografi
Indonesia, saat ini sekitar 60 persen tenaga kerja berpendidikan SMP ke
bawah. Baru tahun ini program wajib belajar 12 tahun dilaksanakan meskipun
menurut penelitian Lembaga Demografi Universitas Indonesia tidak ada insentif
melanjutkan pendidikan hingga ke SLTA karena masa mencari kerja lulusan SLTA
tiga kali lebih lama daripada lulusan SMP.
Pada 30 tahun mendatang, Indonesia
tak lagi menikmati bonus demografi, jumlah warga lansia membesar. Saat itu
terjadi, beban ekonomi negara meningkat.
Indonesia dapat menikmati bonus
demografi tahap kedua asalkan para warga lansia tetap produktif
berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi. Namun, para warga lansia pada 2045
adalah mereka yang lahir dari generasi 1985 dan sebelumnya yang mempunyai
tingkat pendidikan rendah.
Tidak ada jalan lain kecuali
memanfaatkan sebaik-baiknya periode bonus demografi yang tinggal 15 tahun
lagi. Semua anak usia sekolah harus dipastikan mendapat pendidikan 12 tahun
dan tenaga kerja yang bekerja mendapat pelatihan. Selain mata ajaran formal,
juga pelatihan kepemimpinan, komunikasi, dan bahasa Inggris sebagai bahasa
yang digunakan dalam globalisasi.
Indonesia saat ini berada dalam
fase perkembangan ekonomi yang didorong oleh efisiensi. Industri tidak dapat
lagi mengandalkan padat karya yang bergaji rendah atau terus tergantung pada
sumber daya alam.
Meskipun daya saing Indonesia
menurut laporan terbaru Forum Ekonomi Dunia (WEF) berada pada peringkat ke-37
dunia (turun tiga tingkat dari 2014-2015), indeks Indonesia rendah untuk
kesiapan teknologi (3,5 dari terbaik 7) dan inovasi (3,9). Hal ini memberi
ruang perbaikan untuk peningkatan efisiensi melalui penguasaan teknologi dan
peningkatan kecanggihan melalui inovasi.
Masyarakat
sipil dan Pancasila
Menghadapi berbagai tantangan yang
tidak akan semakin ringan ke depan, Pancasila adalah pegangan yang sudah
disiapkan para pendiri bangsa dan akan tetap relevan.
Tarik-menarik antara globalisasi
dan reaksi lokalitas menghadirkan demokratisasi dan perlindungan HAM
sekaligus menguatnya politik identitas berdasarkan etnis, bahasa, agama, dan
bangsa.
Globalisasi juga melahirkan
fundamentalisme pasar yang menekan hak ekosob. Perluasan pasar melupakan
kepedulian sosial serta meningkatkan ketimpangan di dalam negara dan
antarnegara.
Sebagai keniscayaan, globalisasi
memperlihatkan pentingnya kerja sama dan perdagangan global. Namun,
globalisasi juga membawa dampak negatif bagi negara-bangsa dan warga negara.
Di dalam tekanan globalisasi yang
melemahkan peran negara-bangsa, revitalisasi nilai-nilai Pancasila menjadi
keharusan. Ke masyarakat internasional, Indonesia tetap harus ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial. Sementara ke dalam, Pancasila menjadi panduan melaksanakan
HAM dalam arti luas, memberi konteks penegakan HAM dalam kenyataan Indonesia
sebagai masyarakat yang beragam.
Dalam mendialogkan nilai-nilai
serta kepentingan bersifat privat dan nilai serta kepentingan yang bersifat
publik, dapat timbul ketegangan karena yang publik sangat mungkin ditafsirkan
dari nilai dan kepentingan privat. Di sinilah peran penting masyarakat sipil.
Masyarakat sipil berbeda dari
masyarakat politik dan komunitas budaya. Di dalam masyarakat sipil, berbagai
kelompok budaya dengan sistem nilai mereka masing-masing dapat membahas dan
menemukan bahasa publik yang tidak menyangkal nilai dan kepercayaan tiap
kelompok.
Masyarakat sipil justru berperan
mengungkapkan bahasa suatu kelompok budaya ke dalam bahasa publik yang
dipahami para warga dan kelompok budaya yang lain. Masyarakat sipil menjadi
tempat mendiskusikan, menegosiasikan, memproduksi, dan menyosialisasikan
bahasa publik untuk kepentingan bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar