Makkah dan Kapitalisme Ibadah
A Helmy Faishal Zaini ; Sekretaris Jenderal Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama
|
JAWA
POS, 06 Oktober 2015
KOTA yang
indah adalah kota yang mampu mendamaikan keluhuran budaya dengan modernitas
yang menyelimutinya. Kemodernan tidak terletak pada bangunan fisik dengan
meletakkan supremasi menara jangkung dan gedung pencakar langit sebagai
penanda utama. Namun, lebih terletak pada cara berpikir penduduknya.
Cara berpikir
yang keliru dalam menerjemahkan modernitas, tampaknya, hari ini telah
menjangkiti hampir seluruh umat manusia. Termasuk di dalamnya pemerintah Arab
Saudi.
Di dalam benak
orang-orang yang gagal menerjemahkan modernitas dengan baik itu, kemodernan
hanya bisa diukur dengan kemajuan fisik semata. Di pihak lain, mereka sama
sekali tidak mempertahankan nilainilai luhur, artefak sejarah, dan juga
khazanah kebudayaan yang turut andil mengiringi tumbuh kembangnya sebuah
sejarah kota maupun negara.
Transformasi Wahabisme
Dua tragedi
yang menimpa jamaah haji di Arab Saudi adalah bukti nyata kegagalan memahami
makna modernitas itu. Jatuhnya crane dan juga meninggalnya ribuan orang di
Mina yang disebabkan oleh desakan dengan jamaah haji lainnya membuat kita
patut mempertanyakan kapabilitas Arab Saudi menjamu tamu-tamu Allah.
Makkah berubah
menjadi kota yang aduhai megah, namun rapuh. Megah jika dilihat dari ukuran
fisik semata, tapi rapuh dari tata kelola serta filosofi pembangunannya.
Pemerintah Arab Saudi hanya mempu membangun di Makkah, mereka sama sekali
tidak mampu ’’membangun Makkah’’.
Dua terma yang
saya maksud, membangun di Makkah dan membangun Makkah, sesungguhnya jika
direnungkan memiliki dua arti yang sangat jauh berbeda. Membangun di Makkah
berarti menjadikan Kota Makkah sebagai objek pembangunan semata tanpa
memedulikan segala hal yang melatarbelakangi pembangunannya, baik sejarah,
nilai-nilai budaya, dan juga estetika ruhaniyyah lainnya.
Sementara itu,
membangun Makkah berarti membangun seluruh aspek yang menjadi dasar utama
tegaknya KotaMakkah.Yakni,sebagaisumbudan pusar peradaban umat Islam dunia.
Dengan
membangun Makkah, pemerintah Arab Saudi berarti melakukan pembangunan yang
berorientasi merawat sejarah dan artefak kebudayaan peninggalan para
pendahulu. Tempat-tempat bersejarah dirawat dengan baik, bukan malah
sebaliknya, digusur dan dihancurkan.
Sementara itu,
jika pola pikir yang digunakan adalah membangun di Makkah, hasilnya yang
terjadi sebagaimana yang kita alami dan saksikan hari ini. Makkah berubah
wajah dan menjelma menjadi ’’Las Vegas’’ kedua.
Tampaknya
benar apa yang pernah diungkapkan Khaled Abu El-Fadl dalam bukunya, Conference of the Book. Ia dengan
sangat meyakinkan pernah mengatakan bahwa ’’Wahabisme dan salafisme
menjadikan Islam di abad modern ini tampak menjemukan dan suram.’’
Wahabisme
adalah pangkal segala persoalan yang sekarang sedang dialami Arab Saudi. Cara
berpikir yang cenderung ingin menghapuskan sejarah masa silam dengan cara
memberangus seluruh peninggalan sejarah dan menggantikannya dengan bangunan
megah dan jangkung mencakar udara menjadi trademark mereka. Kita sedih dan
menitikkan air mata tatkala berkali-kali mereka mencoba menggusur dan
memberangus makam Nabi Muhammad SAW, junjungan kita, di Madinah.
Artefak
sejarah dan petilasan yang menjadi saksi bisu perjuangan Islam di awal-awal
masa penyebaran dibumihanguskan dan diganti dengan menara Abraj Al-Bait yang
luar biasa raksasa ukurannya. Ini adalah bukti nyata bahwa nalar wahabisme
dan salafisme membuat Islam semakin mengerikan.
Kapitalisme Ibadah
Hari ini,
dalam hemat saya, etos yang dibangun pemerintah Arab Saudi adalah etos
bisnis, bukan etos melayani. Etos bisnis adalah etos yang menjadikan pihak
lain sebagai komoditas untuk kepentingan tertentu, terutama mendongkrak
devisa negara. Kedatangan jamaah haji berarti kedatangan pundi-pundi riyal
bagi mereka.
Padahal, yang
mestinya ditanamkan dan dilakukan pemerintah Arab Saudi adalah etos melayani.
Para jamaah haji adalah tamu-tamu Allah yang dipilih oleh-Nya.
Tidak
sembarangan orang bisa berangkat haji. Sebab, di samping kemampuan finansial,
ia harus memiliki kemampuan fisik. Satu lagi yang terpenting dan kita yakini,
ia harus dipanggil oleh Allah, si Tuan Rumah pemilik Kakbah. Tanpa tiga
syarat tersebut, niscaya berangkat haji akan berakhir pada cita-cita semata.
Banyak kita
saksikan orang yang sesungguhnya memiliki kemampuan finansial yang mencukupi,
sehat jasmani dan rohani, namun entah sebab apa ia tidak bisa melaksanakan
haji. Kebudayaan kita menyebut orang demikian itu sebagai orang yang ’’belum
dipanggil’’ menjadi tamu Allah.
Dengan kondisi
yang demikian itu, perlakuan yang harus dilakukan pemerintah Arab Saudi
haruslah bersifat melayani, bukan malah sebaliknya, mengeksploitasi. Etos
melayani dan etos mengeksplotasi adalah dua kutub yang sampai kapan pun tidak
akan pernah bisa dipertemukan. Yang satu sifatnya menolong dan yang lain
sifatnya komersial.
Atas nalar
yang demikian itulah, tampaknya Makkah sekarang menjelma sebagai raksasa baru
di kawasan Barat Daya (Timur Tengah dalam bahasa orang Eropa). Makkah hari
ini adalah kota yang dibangun di atas kemegahan dengan cara yang angkuh,
merobohkan sejarah, mengusir penduduk, menggusur pedagang, serta sederet
kejahatan kemanusiaan dan kebudayaan lainnya.
Padahal, dulu,
sebagaimana catatan sejarah, Gubernur ’Amr bin ’Ash Ra di Mesir tidak berani
menggusur rumah seorang Yahudi dalam rangka perluasan Masjid ’Amr bin ’Ash.
Khalifah Umar bin Khattab Ra melarang penggusuran itu.
Lalu pertanyaannya, ke manakah
akhlak mulia seperti ini? Tampaknya racikan wahabisme dan kapitalisme sudah
menjadikan Kota Makkah menjelma seperti sekarang ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar