Paket Ekonomi ’’Jilid III’’ dan Nilai Tukar Rupiah
Sunarsip ; Chief Economist The Indonesia Economic
Intelligence
|
JAWA
POS, 07 Oktober 2015
PAKET
kebijakan ekonomi baru (jilid III), rencananya, diumumkan besok (7/10). Dari
berbagai pernyataan pemerintah, Paket Kebijakan Jilid III itu setidaknya akan
berkisar pada (i) kebijakan peningkatan ekspor, khususnya yang memiliki basis
pada UKM, dan (ii) penurunan harga gas, bahan bakar minyak (BBM), serta
listrik.
Kebijakan
peningkatan ekspor, antara lain, akan diwujudkan dengan memberikan dukungan
berupa kredit ekspor maupun kredit UKM guna mencegah terjadinya pemutusan
hubungan kerja (PHK) melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Impor (LPEI).
Suku bunga
kredit yang dikenakan LPEI nanti lebih rendah bila dibandingkan dengan
pinjaman kredit komersial oleh perbankan. Dengan catatan, perusahaan yang
menerima kredit dari LPEI tidak boleh melakukan PHK.
Sementara itu,
kebijakan penurunan harga gas, BBM, dan harga listrik mungkin akan dilakukan
terhadap gas, BBM, dan listrik yang dikonsumsi oleh industri, bukan rumah
tangga.
Kebijakan
ekonomi yang akan diluncurkan itu tentu positif untuk menjaga perekonomian
tetap tumbuh di tengah tekanan pelemahan nilai tukar rupiah yang masif.
Namun, kebijakan tersebut diperkirakan tidak serta merta mampu memperkuat
nilai tukar rupiah terhadap USD (dolar AS).
Mengingat,
kebijakan penguatan sektoral merupakan hal yang berbeda dari upaya memperkuat
rupiah, meskipun memiliki keterkaitan. Pelaku pasar uang, yang memainkan peran
penting dalam pergerakan nilai tukar lebih melihat bagaimana posisi neraca
pembayaran Indonesia, terutama yang berhubungan dengan arus keluar masuk
modal.
Saat ini
kebutuhan USD sangatlah tinggi, terutama disebabkan kebutuhan pembayaran
utang luar negeri (ULN). ULN yang jatuh tempo tahun ini cukup tinggi
sebagaimana ditunjukkan angka debt
service ratio (DSR) yang mengalami peningkatan.
Saat ini angka
DSR kuartalan pada Q2-2015 mencapai 56,32 persen, meningkat cukup tinggi bila
dibandingkan dengan posisi pada Q4-2014 yang mencapai 51,92 persen. Tingginya
angka DSR itu menunjukkan bahwa permintaan (demand) USD untuk membayar ULN yang jatuh tempo cukup tinggi. Di
sisi lain, pasokan (supply) USD
hasil ekspor masih terbatas akibat ekspor kita yang tidak tumbuh secara
signifikan.
Kondisi itulah
yang akan lebih dilihat oleh pelaku pasar uang. Pelaku pasar uang, terutama,
akan melihat seberapa jauh upaya pemerintah dan otoritas moneter (dalam hal
ini Bank Indonesia, BI) dalam mengelola sisi supply demand USD agar lebih
seimbang.
Saya
berpendapat, lambatnya pasokan USD merupakan sesuatu yang given karena ekspor
kita memang sedang melemah gara-gara permintaan global yang melemah. Oleh
karena itu, saat sisi pasokan USD melambat, semestinya perlu ada
langkah-langkah dari sisi permintaan agar kebutuhan valas itu dapat bergerak
seimbang dengan pasokan USD. Caranya?
Saat ini telah
ada sejumlah konglomerasi yang mengalami tekanan cukup tinggi akibat
pelemahan nilai tukar rupiah. Penyebabnya adalah ULN yang tinggi. Di sisi lain,
instrumen dan insentif untuk melakukan restrukturisasi ULN tidak tersedia.
Saya mengusulkan
agar pemerintah dan BI perlu mendorong pihak-pihak yang memiliki ULN
melakukan renegosiasi ULN kepada krediturnya, terutama ULN yang berupa
pinjaman (loan). Mekanismenya, bisa
dilakukan seperti yang pernah dilakukan melalui ’’Prakarsa Jakarta’’ pada
1998.
Strateginya
adalah lakukan identifikasi kepada lembaga keuangan yang ULN kita
terkonsentrasi. Termasuk pula, ULN tersebut terkonsentrasi di sektor apa
saja. Selanjutnya, tawarkan kepada lembaga keuangan tersebut agar bersedia
melakukan restrukturisasi ULN yang dilakukan korporasi kita.
Misalnya,
menunda pembayaran utang yang jatuh tempo atau penurunan suku bunga. Sebagai
kompensasi, kita tawarkan kepada lembaga keuangan luar negeri tersebut berupa
keterlibatan mereka dalam berbagai pembiayaan tambahan pada sektor ekonomi
yang selama ini mereka kerjakan di Indonesia, termasuk infrastruktur.
Melalui
langkah itu, setidaknya dua hal yang dapat diperoleh. Pertama, kebutuhan USD
berkurang karena ULN yang direstrukturisasi. Kedua, Indonesia juga memperoleh
sumber pendanaan tambahan dari lembaga keuangan luar negeri bagi upaya
mempercepat pembangunan.
Harga Gas, BBM-Listrik Turun?
Seperti
disebut di atas, pemerintah juga berencana menurunkan harga gas, BBM, dan
listrik bagi industri. Kebijakan itu positif, tetapi risikonya juga harus
diantisipasi.
Penurunan
harga gas, BBM, dan listrik pastinya akan merugikan pihak BUMN energi kita.
Saat ini kondisi BUMN di sektor energi kita (Pertamina dan PLN) tidak sedang
baik.
Tekanan harga
minyak dan gas yang melemah membuat kinerja Pertamina menurun. Di sisi lain,
Pertamina dihadapkan kepada kerugian, baik sisi operasional maupun keuangan.
PLN juga mengalami hal yang sama.
Tingginya kebutuhan
akan USD mengakibatkan sisi keuangan BUMN itu tertekan. Bila harga listrik
diturunkan, kondisi tersebut bisa mengancam kelangsungan PLN dalam mengejar
target 35.000 mw.
Bila tetap
berniat melanjutkan rencananya menurunkan harga gas, BBM, dan listrik,
pemerintah juga harus siap kompensasinya. Pertama, subsidi harus dinaikkan.
Kedua, pemerintah juga dapat memberikan kompensasi lain, misalnya mengurangi
jatah bagi hasil (split profits)
pemerintah dalam kontrak hulu migas.
Paket
kebijakan ekonomi memang penting dilakukan. Terutama, untuk mendorong
perubahan secara struktural di sektor ekonomi. Namun, hasil dari kebijakan
tersebut lebih bersifat jangka panjang.
Karena itu, tetap saja
dibutuhkan langkah-langkah jangka pendek, sekalipun pragmatis, untuk memulihkan
kondisi perekonomian akibat pelemahan nilai tukar rupiah. Sebab, tanpa
dikombinasikan dengan kebijakan jangka pendek, kebijakan jangka menengah dan
panjang itu pun bisa berpotensi tidak efektif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar