TNI di Persimpangan Jalan Politik
M Aminuddin ; Direktur Institute for Strategic and
Development Studies Jakarta
|
JAWA
POS, 05 Oktober 2015
HARI ini TNI
merayakan ulang tahun ke-70. Dalam tujuh dasawarsa keberadaannya, telah
banyak kiprah TNI bagi Indonesia. Mulai memadamkan pemberontak di awal
kemerdekaan sampai menangani separatisme dan mengantisipasi invasi asing di
era kiwari.
Ke depan,
tantangan untuk keutuhan NKRI akan tetap ada. Variannya juga bakal semakin
beragam. Mulai gerakan bersenjata sampai bentuk invasi ekonomi. Dengan
tantangan yang semakin beraneka seperti itu, peran TNI otomatis tetap
penting. Apalagi, perkembangan konstelasi dunia pascaperang dingin terkadang
diwarnai ketegangan regional seperti konflik di Laut China Selatan.
Kondisi itu
semakin mengharuskan negara kita untuk membangun suatu kekuatan militer yang
kukuh. Otomatis pula, TNI dituntut untuk selalu profesional, tidak lagi
”terganggu” aktivitas yang bercampur baur dengan kegiatan di luar hankam
(pertahanan dan keamanan). Termasuk politik.
Kita semua
patut mensyukuri bahwa kesadaran perlunya TNI semakin mengurangi fungsi
politik atau dwifungsi bisa tumbuh dari kalangan perwira tingginya. Kesadaran
internal itu bisa dilihat dari pernyataan pimpinan TNI pada masa pemerintahan
Presiden B.J. Habibie.
Ketika itu
dimaklumatkan doktrin paradigma baru TNI yang selanjutnya diimplementasikan
dalam reformasi internal TNI. Pada dasarnya, esensi reformasi internal TNI
dapat digolongkan ke dalam empat bidang kegiatan utama. Yakni, (1)
meninggalkan peran sosial politik secara bertahap, (2) memusatkan perhatian
pada peran dan tugas pertahanan nasional, (3) mengalihkan fungsi di luar
pertahanan nasional yang dilaksanakan pada masa lalu kepada institusi
fungsional, dan (4) meningkatkan doktrin gabungan.
Tetapi,
kemauan untuk melakukan reformasi dalam TNI melalui reposisi dan
restrukturisasi itu sudah pasti membutuhkan suatu landasan hukum yang kuat.
Di sini, MPR menyadari kebutuhan tersebut. Tekad TNI itu telah memperoleh
kekuatan hukum melalui TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 dan diperkuat dengan
perubahan keempat Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 5 ayat
(2) Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 menyatakan, ”Tentara Nasional Indonesia
bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada
kegiatan politik praktis.”
Bersikap
netral di sini diartikan tidak memihak dan tidak terpengaruh oleh tarikan
partai politik untuk ikut memperjuangkan kepentingannya. Adapun tidak
melibatkan diri pada kegiatan politik praktis diartikan tidak terlibat dalam
kegiatan dukungmendukung untuk kepentingan sesaat maupun menjadi simpatisan
partai politik tertentu.
Pasal 5 ayat
(4) TAP VII/MPR/2000 menyatakan, ”Anggota Tentara Nasional Indonesia tidak
menggunakan hak memilih dan dipilih. Keikutsertaan Tentara Nasional Indonesia
dalam menentukan arah kebijaksanaan nasional disalurkan melalui Majelis
Permusyawaratan Rakyat paling lama sampai dengan tahun 2009.”
Kini, setelah
satu dasawarsa meninggalkan gelanggang politik, TNI seperti kembali ke
persimpangan jalan politik. Itu terkait dengan bagaimana nasib hak pilih TNI
yang sampai sekarang masih mengambang. Sedangkan fraksi yang menjadi
institusi kepanjangan tangannya di parlemen telah dihapus.
Jika TNI atas
kemauannya sendiri tetap rela ”mengorbankan” hak pilihnya, itu tentu tak
menimbulkan masalah. Tetapi, bila di dalam tubuh TNI mulai bergulir aspirasi
untuk memiliki hak pilih sebagaimana di negara demokrasi yang telah mapan,
itu jelas merupakan pekerjaan rumah (PR) besar bagi penataan kembali sistem
politik Indonesia. Terutama regulasi tentang UU Pemilu dan TNI.
Kalau
perombakan itu dilakukan, kita belum tahu dampaknya ke depan bagi soliditas
TNI. Tetapi, yang jelas, kalau penggunaan hak pilih TNI tersebut menimbulkan
friksi di dalam tubuh militer, otomatis berdampak luas pada stabilitas
nasional. Sebab, TNI memegang persenjataan.
Itu tentu
merupakan dilema besar bagi TNI serta bangsa Indonesia sekarang dan masa
depan. Sebab, akan janggal kalau terus-menerus TNI tidak memiliki hak politik
seperti sekarang.
Bagaimanapun,
prajurit TNI juga warga negara yang aspirasinya perlu mendapatkan saluran
dalam sistem politik. Namun, di sisi lain, kalau diberi hak suara,
dikhawatirkan timbul polarisasi.
Sebagai jalan
keluar, akan lebih baik dikembalikan lagi kepada musyawarah di internal TNI.
Sebab, TNI sejak kelahirannya dalam hal strategis memiliki sikap otonom
terhadap pemerintah yang berkuasa sekalipun.
Otonomi itu
terlihat dari terpilihnya Jenderal Sudirman sebagai panglima besar TNI untuk
kali pertama melalui voting di kalangan komandan TNI sendiri, bukan ditunjuk
Presiden Soekarno.
Jika memang
internal TNI sudah merasa ingin dan siap menggunakan hak pilih, diperlukan
serangkaian prakondisi agar meminimalkan dampaknya. Pertama, anggota TNI
tetap tidak boleh menjadi pengurus atau kader politik. Kedua, semua parpol
tidak boleh berkampanye atau beraktivitas di fasilitas-fasilitas milik TNI.
Ketiga, TNI sebagai institusi harus tetap netral. Hak memilih adalah urusan
pribadi masing-masing sehingga garis komando tak berlaku menyangkut pilihan
prajurit terhadap partai, kandidat presiden, atau kepala daerah.
Berikutnya,
dilarang menggunakan uniform atau simbol-simbol TNI dalam kegiatan yang
terkait dengan pemilu, misalnya saat pergi ke tempat pencoblosan. Kelima,
sosialisasi politik terhadap prajurit TNI hanya cukup melalui yang dibaca via
media dan buku tentang profil serta program partai politik yang diterbitkan
KPU.
Semoga TNI makin dewasa dan
menyatu dengan rakyat seperti awal kelahirannya. Hanya bersama rakyat, TNI
akan tetap kuat. Dirgahayu TNI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar