Kedaulatan Asap RI
Christianto Wibisono ; Pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia
|
JAWA
POS, 23 Oktober 2015
Menko Polhukam mengumumkan secara dramatis bahwa ia membatalkan
keikutsertaan dalam rombongan Presiden Joko Widodo ke Amerika Serikat untuk
koordinasi pemadaman api yang sudah menjadi fokus masyarakat internasional.
Indonesia akan jadi sorotan karena pada 30 November-11 Desember
2015 di Paris berlangsung KTT Lingkungan Hidup yang dikenal sebagai COP
21atau 21st Session of the Conference
of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change
(COP21/CMP11).
Kebakaran hutan bisa terjadi di mana saja, termasuk di negara
maju, seperti Australia, Kanada, dan AS. Kebakaran di Indonesia semakin
menarik perhatian karena melintasi tapal batas negara yang tak mungkin
dipagari kawat untuk mencegah asap memenuhi atmosfer negara tetangga kita.
Tentu harus segera dicamkan, musibah tahun ini tak hanya meracuni negara
tetangga, tetapi juga penduduk Sumatera dan Kalimantan, sebangsa dan setanah
air menderita keracunan asap serius dan dalam jangka panjang akan melahirkan
generasi pengidap radang pernapasan dan paru-paru tercemar asap.
Dua mazhab
Kami termasuk pengusul integrasi kementerian kehutanan dan
lingkungan hidup karena sepakat dengan pendekatan komprehensif sinergi
ekonomi dan ekologi. Kedua bidang yang seolah-olah bertentangan satu sama
lain itu harus diintegrasikan.
Dalam masalah pelestarian lingkungan dan pemeliharaan hutan
tropis sebagai paru-paru dunia dan warisan umat manusia, dua mazhab
seolah-olah bertentangan. Mazhab pertama adalah kubu yang apriori
menghentikan seluruh pengelolaan hutan industri dan komersial dengan dalih
bahwa hutan harus dilestarikan. Dalam mazhab ini tentu tersua para pendekar
lingkungan dari LSM yang gurem sampai yang konglomerat, seperti The Nature
Conservancy yang asetnya 6,7 miliar dollar AS.
Pada 24 September 2007 di sela-sela KTT Lingkungan Hidup PBB di
New York, 11 negara lokasi hutan hujan tropis membentuk Forestry 11 yang
diprakarsai Presiden SBY dan Presiden Luiz Ignacio Lula da Silva dari Brasil.
Lula yang tokoh buruh berpandangan unik tentang pelestarian hutan tropis:
berkeberatan bahwa Brasil (dan negara tropis lain seperti Indonesia dan
Kongo) hanya boleh berperan jadi satpam penjaga hutan dengan uang receh
satpam 1-2 miliar dollar AS, lalu dilarang total mengembangkan industri
kehutanan yang merupakan aset nasional, di samping perannya sebagai warisan
umat manusia dan paru-paru dunia.
Lula menyatakan bahwa 11 negara hutan tropis yang tergabung
dalam Forestry 11 harus boleh dan bisa mengembangkan industri berbasis
kehutanan dengan tetap melestarikan hutan tropis. Lima besar negara hutan
tropis: Brasil (1.800.000 mil2), Republik Demokratik Kongo (683.400 mil2),
Indonesia (490.349 mil2), Peru (289.576 mil2), dan Kolombia (258.688 mil2).
Pada Februari 2011, Forestry 11 berkembang jadi 14 negara: Brasil, Gabon,
Guatemala, Guyana, Indonesia, Kamerun, Kolombia, Kosta Rika, Malaysia, Papua
Niugini, Peru, Republik Demokratik Kongo, Kongo, dan Suriname.
Tahun itu juga pakar lingkungan Bjorn Lomborg menulis buku Coot It yang menobatkannya jadi the skeptical enviromentalist. Lomborg
menyatakan bahwa momok pemanasan global agak berlebihan, jadi monster yang
lebih gawat dari "aslinya". Analoginya mirip waktu orang heboh
takut virus atau bencana Y2K. Ketika peralihan tahun 1999 ke 2000, pakar
teknologi informasi India paling laris menjual program komputer anti virus
Y2K. Ternyata tiada bahaya apa pun dan sistem komputer global. Tak satu pun
sistem komputer macet gara-gara ganti digit tahun.
The Washington Post juga memuat seri artikel tentang The Nature Conservancy dan LSM pejuang
lingkungan lain, apabila ditelusuri tingkah lakunya mempunyai agenda
menguntungkan secara pendapatan dari kampanye anti perusak lingkungan dan
mengandung unsur persaingan tidak sehat. Seperti kata Lula, untuk membuat
negara berkembang hanya jadi satpam dan tidak bisa menjadi raja kertas, raja
kayu, raja sawit, dan raja mebel dengan dalih perusak lingkungan. Kampanye
pelabelan eko dan introduksi perdagangan emisi karbon merupakan kreasi negara
maju yang memungut untung dari isu lingkungan dengan memperjualbelikan
legitimasi produk yang dinilai "halal" menurut "agama
lingkungan hidup".
Mekanisme perdagangan emisi karbon adalah juga kiat canggih para
pemburu rente pasca modern yang tak kehilangan akal menciptakan isu dan
program yang bernilai luhur dan bercitra positif. Sambil tetap memegang
kendali dominasi dunia pasca industri, pasca ekonomi menuju ekologi über
alles.
Kebakaran hutan yang terjadi di rimba Sumatera dan Kalimantan
adalah tanggung jawab Indonesia. Kita akan menyelesaikan, tetapi kita juga
menuntut bahwa dunia bertanggung jawab atas pelestarian dan penyelamatan
serta pemeliharaan warisan umat manusia dan paru-paru dunia itu. Anggaran
untuk itu hanya mungkin apabila Forestry 11 dapat mengembangkan bisnis hutan
secara berkelanjutan.
Tak mungkin Forestry 11 disu- ruh hanya jadi satpam hutan,
sedangkan negara maju sudah menikmati pembangunan industri seabad sebelumnya,
kemudian mencegah Forestry 11 mengembangkan industri hutan berkelanjutan.
Boikot atas nama lingkungan dan penghukuman atas kebakaran hutan dan bencana
asap adalah arogansi mental kolonial: mendominasi dunia dengan isu ideologi
lingkungan.
Kita semua berkepentingan jadi pelestari lingkungan dan harus
memelihara keberlanjutan dunia dan hutan tropis. Namun, RI dan Forestry 11
harus memperjuangkan kesetaraan dan keseimbangan ekonomi dan ekologi. Inilah
misi Presiden Jokowi ke COP 21-mungkin bersama Dilma Rousseff, pengganti
Lula- untuk menolak hanya jadi satpam negara yang mengkhotbahkan lingkungan
dan mencegah industrialisasi emerging market pemilik hutan tropis dunia.
Kedaulatan asap yang mengepul dari hutan RI harus dikelola
lintas batas regional dan memerlukan diplomasi global, tidak dengan
pendekatan mantri hutan dan aktivis, tetapi oleh negarawan kelas Lula dan
para pendiri Forestry 11. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar