Negara Vs Pancasila
Mochtar Pabottingi ; Profesor Riset LIPI
|
KOMPAS,
27 Oktober 2015
Kontroversi soal "bela negara" membawa kita pada empat
hal penting yang perlu disoroti. Pertama, siapa pun yang hendak menjadi
pelaksana pendidikan bela negara seyogianya memiliki wibawa dan kredibilitas
untuk itu. Kedua, sasaran kelompok usia dan sasaran target waktu pendidikan
bela negara mestilah ditentukan oleh realitas di Tanah Air. Ketiga, jika
program ini dimaksudkan sebagai jalan mewujudkan apa yang disebut
"revolusi mental", ia adalah jalan yang vulgar-kasar dan
menggampangkan. Terakhir, di atas semuanya, kontroversi ini membuka pintu
bagi kita untuk menilai bagaimana laku para pelaksana negara vis-à-vis
ideal-ideal tertinggi bangsa kita. Dengan kata lain, bagaimana sebenarnya
negara memperlakukan Pancasila selama ini.
Saya belum melihat adanya cabang atau perangkat pemerintahan
yang cukup memiliki wibawa dan kredibilitas untuk dijadikan pelaksana
pendidikan bela negara. Sebagian besar cabang atau perangkat pemerintahan
kita sudah puluhan tahun kehilangan wibawa dan kredibilitas itu. Kita tahu
bahwa pendidikan tanpa wibawa dan kredibilitas akan sia-sia, bahkan munafik.
Sama sia-sia dan munafiknya dengan P4 di sepanjang Orde Baru. Di sini
"revolusi mental" dalam arti kata sesungguhnya justru dicibiri dan
dicampakkan, mustahil klop.
Kita tahu bahwa perusakan sendi-sendi kehidupan di dalamnya
sudah berlangsung puluhan tahun ini dan mayoritas pelakunya para pelaksana
negara sendiri berikut alat-alatnya-dulu lebih pada TNI, kini lebih pada
Polri. Ini berarti negara-bangsa kita menuntut koreksi tidak di masa depan,
tetapi sudah selama puluhan tahun ini, dan sasarannya pastilah bukan terutama
kaum muda, melainkan terutama kaum berusia empat puluh tahun ke atas-mereka
yang kini menjadi penyelenggara negara atau alat-alat negara. Kita tak
memiliki kemewahan untuk membenahi negara-bangsa kita sepuluh atau dua
puluhan tahun lagi.
Kita ketahui bahwa sejak Demokrasi Terpimpin, apalagi sejak Orde
Baru, dan tak terkecuali di sepanjang apa yang disebut era Reformasi, para
pelaksana negara beserta alat-alatnya sudah "suspect" vis-à-vis Pancasila. Selama itu, deretan
panjang "dosa masif" terhadap Pancasila telah dilakukan oleh para
pelaksana negara sehingga sulit membuat bangsa kita melepaskan diri tidak
hanya dari hujaman trauma politik, tetapi juga dari tiadanya kepercayaan
masyarakat (societal trust) kepada
para pelaksana negara.
Penghalalan
cara
Lantaran timbunan pengkhianatan Orde Baru tak pernah dikoreksi,
rangkaian borok dan ideologinya yang menempatkan negara di atas segalanya dan
sebagai tak pernah salah terus berlanjut dan disebarkan dengan modus sarat
muslihat. Mereka terus berpose sebagai tak pernah melakukan dosa-dosa masif.
Stiker Soeharto tersenyum berbunyi "Piye
kabare Le...?" adalah bagian dari modus demikian-bukti bahwa jiwa
Orde Baru masih terus bercokol dan bekerja menyesatkan masyarakat luas bangsa
kita.
Dua ciri utama Orde Baru tak boleh kita lupakan: laku kental
penghalalan cara dan/atau penyalahgunaan kekuasaan sistemik. Inilah dua
sumber utama pengkhianatan para pelaksana negara terhadap Pancasila. Semua
laku yang secara sistemik mencampakkan ideal-deal tertinggi negara-bangsa kita
haruslah disebut pengkhianatan. Hingga kini pun tak terhitung penyelenggara
negara yang masih terus melancarkan kedua laku nista itu. Sekitar lima tahun
pertama Reformasi ditandai perampokan atau penggadaian besar-besaran atas
dana-dana publik, aset-aset negara, dan sumber-sumber daya alam kita.
Bertahun-tahun kebijakan impor terang-terangan membunuh inisiatif, potensi,
hak-hak, dan jerih payah kaum tani kita, dan baru kini mulai akan dikoreksi.
Dan kita disuguhi legislasi-legislasi yang dibuat bukan untuk kepentingan
nasional, melainkan oligarki.
Semua laku penghalalan cara atau penyalahgunaan kekuasaan itu
ditutup-tutupi dengan obral slogan menipu, pernyataan culas, dan shibboleth pandir tentang negara.
Mereka terus berusaha membutakan masyarakat perihal hukum politik
kontradiktoris yang inheren pada negara, yaitu bahwa negara, manakala
pelaksanaannya baik, akan menjadi kekuatan pemberadab terbesar; tetapi
manakala pelaksanaannya salah, ia akan menjadi kekuatan pembiadab terbesar.
Mungkin baru di sini hukum tersebut dieksplisitkan. Namun,
persis itulah yang dituju oleh para raksasa pemikir politik seperti
Aristoteles, Locke, Montesquieu, John Stuart Mill, dan John Rawls dalam karya
monumentalnya masing-masing, yaitu untuk mengatasi sifat kontradiktoris yang
inheren pada negara. Untuk itu pulalah Adnan Buyung Nasution menulis studi
seriusnya atas Konstituante. Wanti-wanti mutakhir tentang "sifat
dasamuka" negara antara lain disampaikan oleh Skocpol et al dalam Bringing the State Back In (1985):
"Kasus-kasus di mana negara menimbulkan rangkaian 'malapetaka kolektif'
haruslah diperiksa secara sama ketatnya dengan kasus-kasus di mana negara
menciptakan rangkaian 'berkah kolektif'."
Dari sepanjang 70 tahun masa kemerdekaan bangsa kita, sebanyak
empat perlimanya, yaitu 56 tahun (dari 1959 hingga saat ini), negara kita
masih terus salah jalan lantaran kentalnya jiwa Orde Baru tadi. Itu pula
sebabnya, para pelaksana negara beserta alat-alat negara masih terus menjadi
"suspect".
Di parlemen kita kini laku penghalalan cara atau penyalahgunaan
kekuasaan terus berlangsung dalam aneka praktik busuk para "wakil
rakyat" untuk tiada hentinya menguras dana publik. "Rumah
aspirasi", "studi banding", dan kehendak memaksakan "dana
dapil", misalnya, lahir dari argumen-argumen tengik. Banyak anggota
parlemen menjadikan ketiga tugas pokoknya bukan untuk membuktikan
kenegarawanan serta menetapkan patokan-patokan cerdas-bermartabat dalam
rangka menyejahterakan negara-bangsa kita, melainkan terutama sebagai alat
merampas dana publik, sebagai "komoditas-komoditas barteran" untuk
memperkaya diri, dan sarana-sarana mega-ekstorsi secara yang pada umumnya
sungguh tak bermalu. Sulit dibantah bahwa Parlemen Reformasi adalah
episentrum korupsi- sekaligus wajah terburuk demokrasi kita yang salah jalan.
Pengkhianatan
parlemen
Praktik culas-kuras dana publik atas nama studi banding serba
mewah ke luar negeri tak pernah dipertanggungjawabkan. Alih-alih menjadi
korpus rujukan bermutu yang kumulatif dari tahun-tahun panjang berlakunya
agenda konyol itu, hasil-hasil studi banding para anggota parlemen tak pernah
dilaporkan, apalagi dibuka kepada rakyat yang katanya mereka wakili, sebab
tujuannya memang sulit dilepaskan dari kenistaan. Sama sekali tak ada niat
parlemen untuk menjadikan studi banding itu tulus dan bermartabat, tanpa
harus berjemaah melakukan perjalanan rampok dana publik ke luar negeri.
Maka jadilah kinerja legislasi mereka buruk tiga kali lipat:
kerdil produktivitas, kerdil kualitas, dan kerdil integritas. Kenyataan ini
berbanding terbalik dengan magnifikasi biaya yang tak henti-hentinya mereka
ada-adakan dan tuntut tanpa malu secuil pun. Perbandingan mereka dengan para
legislator di masa Demokrasi Parlementer ibarat bumi dan langit.
Perlu dicanangkan bahwa parlemen di era Reformasi adalah yang
paling khianat di sepanjang masa kemerdekaan. Mayoritas masyarakat bangsa
kita sudah lama menanggungkan kemuakan atas aneka laku nista, laku munafik,
dan terutama laku serakah tanpa batas anggota parlemen. Ia tidak atau belum
sampai dibubarkan jelas bukan karena semua anggotanya berharkat, melainkan
semata-mata karena, beda dengan situasi-kondisi negara-bangsa kita di
pengujung 1950-an, kini kita tak lagi memiliki lembaga otoritatif atau figur panutan
politik nasional untuk mencegah risiko gejolak politik tak terkendali
manakala pembubaran dilakukan.
Parlemen di era Reformasi adalah buah simalakama terbesar dari
negara-bangsa kita di sepanjang sejarahnya. Kerjanya lebih banyak menggiring
bangsa kita ke arah pengkhianatan dibandingkan ke arah kemaslahatan. Hingga
kini bangsa kita masih terus menoleransinya semata-mata lantaran keterpaksaan
yang menyakitkan. Toh, toleransi negatif demikian tak bisa "taken for
granted", sebab ia bisa terus bertumbuh sebagai "flash point"
atau "titik didih" bagi suatu ledakan gejolak politik raksasa.
Kisah di kalangan eksekutif dan yudikatif tak jauh beda. Di
kedua lembaga ini pun penyalahgunaan kekuasaan sama sekali tidak kurang.
Penyalahgunaan kekuasaan sistemik bermula di masa Demokrasi Terpimpin lewat
pencampakan demokrasi dengan segala akibat tragisnya. Genosida terbesar di
abad ke-20 atas saudara-saudara sebangsa berlaku tepat di persimpangan akhir
Demokrasi Terpimpin dan awal Orde Baru.
Sepanjang rezimnya, Soeharto tak hanya mencampakkan demokrasi,
tetapi juga menginjak-injak nasion serta menegakkan hukum rimba. Padahal,
dalam korpus ilmu politik modern makin disadari niscayanya simbiosis nasion
dan demokrasi. Krisis multi-dimensi yang menimpa bangsa kita dalam 17 tahun
terakhir merupakan konsekuensi penafian pakem demokrasi dan penginjak-injakan
nasion. Pencampakan nasion-demokrasi itu pulalah yang paling menandai kiprah
dan panggung politik era Reformasi.
Laku penghalalan cara dan/atau penyalahgunaan kekuasaan baik
dari Demokrasi Terpimpin maupun terutama dari Orde Baru masih membelit ketiga
cabang pemerintahan kita. Seperti Presiden Jokowi banyak tersandera oleh
kalangan partai berjiwa atau bermetamorfosis Orde Baru, begitu pula bangunan
politik Reformasi masih terbelit kencang oleh masa lalu. Di dalam
keterpenjaraan pada laku penghalalan cara dan/atau penyalahgunaan kekuasaan
itulah mayoritas perilaku, praktik, dan kebijakan negara kita melecehkan,
mengkhianati, dan mencampakkan Pancasila. Tidak berlebihan jika kita tegaskan
bahwa pengkhianatan terbesar terhadap Pancasila dilakukan negara kita sendiri
lewat para pelaksana dan alat-alatnya.
Maka, kembali perlu ditegaskan bahwa wacana "empat pilar
kebangsaan" beserta sadurannya "empat pilar MPR" merupakan
siasat eskapis yang sangat menipu karena keduanya menolak hukum
kontradiktoris negara. Sebelum menjadi ideologi negara, Pancasila pada
hakikatnya adalah falsafah nasion. Subyek Pancasila bukanlah negara,
melainkan nasion. Sebutan "negara-bangsa" atau nation-state juga
men-subyek-kan nasion, bukan negara. Dalam kondisi negara ideal sekalipun,
kita harus selalu menyadari bahwa ia tetap derivat nasion yang perlu terus
diwaspadai. Menjadikan Pancasila ideologi negara berarti negaralah yang
seyogianya menjadi penjunjung tertinggi dan pelaksana terdepan dari
ideal-ideal Pancasila. Jika negara tak melaksanakan itu, para pelaksana dan
alat-alatnya mesti dikoreksi secara tegas.
Dengan kesadaran akan nasion sebagai subyek yang per sejarah
sungguh tak selalu dijunjung oleh negara itu, tidaklah berlebihan untuk
menyatakan bahwa di sepanjang empat perlima masa kemerdekaan kita, kumulasi
pengkhianatan terbesar terhadap Pancasila dilakukan oleh negara melalui para
pelaksana dan alat-alatnya. Maka, lebih daripada bela negara, yang paling
imperatif bagi bangsa kita dewasa ini demi penjunjungan pada Pancasila ialah
mengoreksi para penyelenggara negara beserta segenap alat-alatnya dari
segenap laku penghalalan cara dan/atau penyalahgunaan kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar