Kamis, 15 Oktober 2015

Musibah Mina dan Suksesi Saudi

Musibah Mina dan Suksesi Saudi

Faisal Assegaf  ;  Pendiri Albalad.co
                                                 KORAN TEMPO, 13 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Musim haji tahun ini rasanya pantas diberi label sebagai musim haji paling tragis sepanjang sejarah, lantaran ada dua tragedi: jatuhnya derek raksasa di Masjidil Haram dan petaka di Mina. Dua tragedi itu telah mengoyak kredibilitas Raja Arab Saudi, Salman bin Abdul Aziz, pemilik gelar Pelayan Dua Kota Suci.

Pamornya semakin suram lantaran Raja Salman berbohong. Lewat media, pemerintahnya mengumumkan bahwa tragedi Mina itu menewaskan 769 orang dan 934 lainnya luka. Namun mereka menyebarkan sekitar 1.100 foto korban meninggal kepada para diplomat untuk proses identifikasi.

Dengan kesehatan meragukan dan sudah pikun sejak naik takhta pada Januari lalu, kekuasaan Salman tinggal menunggu waktu. Dua skenario—suksesi atau kudeta—sangat mungkin terjadi di sana.

Di negeri berlimpah sumber fulus, dari minyak, gas, serta haji dan umrah itu, tidak aneh ada intrik, konflik, dan persaingan ketat dalam keluarga kerajaan. Ratusan pangeran tentu bakal berebut pengaruh dan kuasa buat menguasai hartanya.

Namun, kali ini, konflik dalam keluarga kerajaan mencuat ke publik setelah seorang pangeran, salah satu cucu dari mendiang pendiri Arab Saudi, Raja Abdul Aziz, menulis surat terbuka yang menyerukan kudeta terhadap Raja Salman. Dia beralasan, pemimpin berusia 79 tahun itu tidak mampu lagi menjalankan pemerintahan karena kesehatannya digerogoti sejumlah penyakit.

Konflik internal dan persaingan antarpangeran sejatinya bukan hal baru di Saudi, namun kudeta tidak umum terjadi. Kudeta terakhir berlangsung pada 1964, ketika Raja Saud dipaksa turun oleh Pangeran Faisal. Sebelas tahun kemudian, Raja Faisal ditembak mati oleh keponakannya.

Tekanan terhadap Raja Salman untuk lengser kian besar lantaran anggaran Saudi tergerus oleh melemahnya harga minyak mentah dunia, sumber pendapatan utamanya. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan tahun ini defisit Saudi mencapai US$ 107 miliar (Rp 1.566 triliun), yang makin membengkak akibat ongkos perang Yaman yang ditanggung Saudi. Sampai-sampai Riyadh menarik Rp 1.029 triliun dananya di luar negeri buat mengurangi defisit.

Raja Salman sudah sadar dia tidak bakal lama lagi memerintah. Karena itu, tiga bulan setelah duduk di singgasana, dia membuat keputusan mengejutkan: mencabut gelar putra mahkota dari Pangeran Muqrin bin Abdul Aziz, putra bungsu Abdul Aziz. Dia kemudian mengangkat Pangeran Muhammad bin Salman, putra sulungnya dari istri ketiga, menjadi wakil putra mahkota. Posisi itu sebelumnya dipegang Pangeran Muhammad bin Nayif, yang kini otomatis naik menjadi putra mahkota. Sebenarnya ini tidak juga mengagetkan, lantaran ibu Muqrin bukanlah bangsawan.

Ada dua sinyalemen disampaikan Raja Salman terkait dengan keputusan kontroversialnya itu. Dia ingin memutus rantai generasi kedua penguasa Saudi. Artinya, dialah anak Abdul Aziz terakhir dari klan ibu, Hissa as-Sudairi, yang menjadi raja. Sejak Abdul Aziz meninggal, semua penguasa Saudi—mulai dari Saud, Faisal, Khalid, Fahad, hingga Abdullah, dan kini Salman--beribukan Hissa as-Sudairi.

Tentu saja ini bertentangan dengan dekrit Raja Abdullah pada 2006 yang berisi: jika semua anak-anak Abdul Aziz sudah tidak ada, baru kekuasaan dipegang oleh salah satu cucunya yang dipilih dari sekian ratus pangeran oleh sebuah dewan beranggotakan para pangeran senior.

Kedua, Raja Salman berambisi menjadikan anaknya itu sebagai penggantinya, walau miskin pengalaman. Usia Muhammad bin Salman terbilang amat muda, yang diyakini baru 30 tahun, meskipun di dokumen resmi tertulis 35 tahun. Dia sebenarnya adalah pelaksana pemerintahan keseharian kerajaan itu, karena memegang dua jabatan mentereng lain, yakni sebagai menteri pertahanan dan ketua komisi kebijakan ekonomi.

Boleh jadi keistimewaan itu membikin sepupunya, Muhammad bin Nayif, iri. Inilah yang membuat persaingan keduanya kian panas. Itu sebabnya muncul tudingan bahwa dua tragedi di musim haji tahun ini sengaja untuk mencoreng reputasi Muhammad bin Nayif, yang dikenal dekat dengan Amerika Serikat karena sama-sama terlibat operasi menumpas Al-Qaidah saat menjabat kepala intelijen. Dengan jabatan tambahan sebagai menteri dalam negeri, dia bertanggung jawab pula atas pengamanan pelaksanaan ibadah haji.

Sedangkan Pangeran Muhammad bin Salman butuh reputasi yang baik. Namanya sudah jelek akibat perang di Yaman yang dianggap gagal. Keputusan sembrono sang pangeran untuk melakukan intervensi militer langsung secara keroyokan makin membuat Yaman kian bergolak. Kalau persaingan keduanya dibiarkan berlarut-larut, akan sangat berbahaya bagi masa depan Saudi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar