Batik itu Baik
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 03 Oktober 2015
Batik kini tidak hanya identik
dengan kondangan. Batik kini bisa dipakai ketika berolah raga. Baik sebagai
celana, kaos ataupun asesori. Ini perjalanan panjang sejak abad 17 ketika
Keraton Solo dan Yogya yang terbelah, menjadikan batik sebagai pakaian resmi.
Dalam gambar resmi para raja tampil mengenakan kain batik, walau mulai
mengenakan celana panjang yang diperlihatkan sedikit, di balik kain.
Waktu awal warna batik biru putih
yang disebut kelengan. Kemudian sekali, masuk warna coklat, dari warna kulit
pohon soga. Bahkan kemudian soga menjadi identik warna coklat. Proses ini
rumit, panjang, karena dalam mewarnai bisa beberapa kali, belasan kali.
Padahal ini baru soal mewarnai dan kemudian dicuci justru melunturkan warna.
Dari segi proses kreatif dan
produksi, batik menuntut alur yang tidak biasa. Juga dari segi permodalan.
Pasar Klewer di Solo yang dulu dikenal sebagai pasar tekstil terbesar di Asia
Tenggara, dikenal karena produk batiknya. Juga para juragan yang dikenal
dengan sebutan Mbokmase, sebutan untuk kaum perempuan yang bertindak selaku
produser, distributor, perangcang, dan sekaligus “model iklan.” Pada posisi
ini kehadiran menunjukkan kekhasan dan sekaligus keistimewaan yang tak sama
dengan industri lain.
Bahkan letak dan gaya bangunan
pabrik batik—dengan pintu sempit bagian belakang tempat transaksi dan tak
mengunakan pintu depan— menyimpan riwayat cara pandang berdagang. Boleh
dikatakan industri batik ini membuat tatatan sosial yang ideal antara majikan
dengan buruh.
Para buruh umumnya berdiam di
pabrik, mendiami secara mager sari, tanpa sewa. Hubungan saling percaya ini
yang sekarang susah ditemukan bentuknya ketika buruh memilih jalan demontrasi
misalnya. Saya pernah menuliskan riwayat batik dan buruh dan Mbokmase dalam
novel berjudul Canting pernah menjadi sinetron seri. Terakhir tahun lalu
Canting dipentaskan secara musikal oleh mahasiswa- I Indonesia yang kuliah di
Singapura. Dan memang dalam proses membatik, proses produksi banyak intrik,
banyak kisah asmara, baik yang terbuka atau tertutup.
Banyak misteri, seperti juga
ketika menatap kain batik. Banyak tafsiran ini corak apa, kenapa begitu
banyak cerek, titik, dalam lukisan, dan kenapa motif tertentu cocok untuk
keluarga pengantin, dan motif lain cocok untuk melayat. Dalam selembar kain
batik ada yang harganya mencapai puluhan, atau bahkan ratusan juta rupiah,
dan sebaliknya ada baju yang bagus harga di bawah seratus ribu rupiah.
Maka adanya Hari Batik Nasional
yang dirayakan setiap 2 Oktober itu baik adanya. Karena dalam selembar kain
batik terdapat proses budya yang luas. Dulu pun saya termasuk yang memrotes
kenapa mata uang kertas terkecil bergambar perempuan pembatik. Apakah para
buruh batik harus identik dengan kemiskinan? Mungkin saja masih selalu
problem di negeri ini. Ada kontradiksi dalam kenyataan.
Kalau sekarang kita mengelukan,
membuat hari batik, apakah ini menyejahterakan para buruh pabrik? Ataukah
justru memberi jalan batik buatan Tiongkok yang diproduksi secara massal?
Novel saja mempermasalahkan masuknya batik printing, batik yang dicetak,
bukan yang dengan canting atau dicap. Karena ketika proses produksi dengan
mesin, seniman batik tulis tak diperlukan. Dan mata rantai yang menyertai,
seperti kehidupan keluarga.
Sekarang ini pun pabrik batik yang
dulunya jaya, bangunan megah, halaman luas, sudah banyak berubah fungsi.
Kadang saya berharap banget, batik yang diwariskan nenek moyang ini bukan
sekadar warisan adi luhung, haute cuture, belaka. Melainkan juga mempunyai,
atau terkait dengan nilai-nilai ekonomis. Dan karena itu semua, batik itu
baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar