Dialog Para Eksil yang Terhenti
Lola Amaria ; Sutradara dan Produsen Film
|
KOMPAS,
04 Oktober 2015
Judulnya Dialogue of Exiles (1984). Sebuah film karya sineas eksperimental
Cile, Raúl Ernesto Ruiz Pino (1941-2011) ini sangat menusuk jiwa setiap orang
yang merasa memiliki negeri. Ruiz sendiri melarikan diri dari Cile
sebagaimana ribuan orang lainnya dan memilih menjadi eksil di Paris tak lama
setelah Jenderal Pinochet melakukan kudeta menyingkirkan Presiden Allende
(1973).
Ruiz menggambarkan eksilitas itu
kematian politik dan kematian kemanusiaan sekaligus. Ribuan eksil Cile itu
hidup secara komunal dalam kelompok kecil (6-10 orang) dengan berbagi tempat
tinggal yang sangat sempit, makanan, dan bahkan pakaian tebal menahan dingin.
Sementara untuk hidup, mereka harus berjuang sangat keras bahkan terkadang
harus mogok makan bersama-sama demi memperoleh pekerjaan. Di tengah-tengah kesulitan
hidup itu, mereka masih menyempatkan waktu untuk membantu kawan-kawan mereka
yang berjuang di negerinya. Nasib seperti sudah menggariskan bahwa mereka
berjuang hidup di negara yang bukan negerinya untuk negara yang tidak
mengakuinya.
Film ini adalah satu di antara
sekian film referensi yang membantu saya dalam melakukan riset tentang eksil
Indonesia di Eropa, setahun terakhir ini. Narasi eksilitas film ini mengajak
membayangkan nasib ribuan orang Indonesia yang tugas belajar di luar negeri
dicabut kewarganegaraannya sejak tahun 1965. Persis 50 tahun lalu hingga hari
ini, sejauh yang saya tahu, Pemerintah Indonesia belum pernah tercatat
memulihkan kembali kewarganegaraan seorang pun di antara mereka.
Bertahan
hidup
Kuslan Budiman (lahir 1935), salah
seorang narasumber pada riset ini, menuturkan bahwa dirinya yang berangkat ke
Tiongkok pada awal 1965 tidak pernah mengira bahwa hidupnya akan berubah.
Sebagai seniman dengan tugas belajar, ia tidak bisa melanjutkan lagi studinya
mengenai pentas pertunjukan. Paspornya dicabut, dipaksa menghuni kamp
penampungan, dilarang bekerja, dilarang bergaul dengan penduduk setempat,
dijaga militer, dan hidup dari rasa kasihan Pemerintah Tiongkok selama
bertahun-tahun.
Hidup hanya dengan makan dan
minum, tanpa aktivitas lain cukup menjadikan mereka stres. Akibatnya, banyak
di antara mereka yang bertengkar satu sama lain karena hal sepele. Bahkan
menurutnya, ”Tahun-tahun itu sangat cukup buat kami menjadi gila.” Dan, agar
tidak mengalami nasib buruk itu, ia dan beberapa kawan lainnya memilih pergi
ke Rusia dan Eropa, mencari kehidupan yang lebih baik.
Di Rusia, ia belajar lagi di
Universitas Stroganov sampai lulus dan bekerja sebagai desainer. Kehidupannya
lebih meningkat lagi ketika ditawari menjadi dosen di Institut Asia Afrika.
Namun, itu tak lama. Setelah kebencian terhadap warga asing bermunculan
seiring dengan masa Glasnost dan Perestroika (1991), ia memutuskan pindah ke
Belanda dan memulai semuanya kembali dari nol.
Sarmadji (lahir 1931), eksil yang
juga pernah ”terdampar” di Tiongkok selama beberapa tahun, akhirnya juga
memilih pergi ke Belanda. Ia yang mula-mula kerja serabutan selama
bertahun-tahun, akhirnya diterima bekerja di sebuah perusahaan besar. Ia
bercerita dengan bangga, ”Saya mendapat penghargaan perusahaan karena selama
saya bekerja sampai pensiun tidak pernah sakit dan bolos sehari pun.”
Setelah pensiun, Sarmadji tidak
berhenti bekerja. Saat ini ia banyak mengumpulkan kepustakaan tentang
Indonesia. Rumah tempat tinggalnya lebih mirip ruang perpustakaan yang
dikelolanya sendiri.
Lain halnya dengan Chalid Hamid
(lahir 1938) dan Djumaeni. Mereka harus meninggalkan keahliannya demi
memenuhi kebutuhan hidup. Chalid bekerja sebagai pramusaji di sebuah restoran
china, sementara Djumaeni yang doktor forensik menyerah menjadi petugas
perpustakaan dengan gaji yang tak seberapa.
Eksil Indonesia lain mengalami
nasib serupa, bertebaran dari Tiongkok hingga Eropa, dari Kuba hingga Rusia.
Dulu, ribuan jumlahnya dan sekarang, seperti yang dicatat oleh Sarmadji, yang
rajin mencatat informasi para eksil, sudah kurang dari 200 orang yang masih
hidup. Mereka berjuang hidup dan berpindah-pindah negeri bertahun-tahun tanpa
identitas.
Hidup Kuslan dan kawan-kawan
persis seperti tuturan Bertolt Brecht dalam Refugee Conversations bahwa
sekolah terbaik untuk dialektika hidup adalah imigrasi dan dialektika hidup
yang paling berat adalah kaum terbuang (eksil). Ada perubahan yang memaksa
mereka menjadi eksil dan mereka hanya bisa hidup dalam perubahan.
Eksil
luar dan dalam
Eksil lainnya, Mintardjo, yang
sekolah di Romania dan kemudian pindah ke Belanda, bercerita bahwa persoalan
kewarganegaraan merupakan persoalan yang sangat menghantui setiap eksil.
Mereka tidak pernah rela menjadi warga negara selain Indonesia. Namun, kebutuhan
hidup mereka mengharuskan untuk memiliki status kewarganegaraan, misalnya
untuk bekerja dan bepergian.
Selain Pak Min, sapaan akrab
Mintardjo, Sarmadji juga mengatakan bahwa sejatinya ia menolak untuk tunduk
di bawah hukum Belanda. Mengikuti proses menjadi warga negara Belanda seperti
tinggal di kamp penampungan, lapor ke marsose, bolak-balik konsultasi dengan
pengacara, wawancara, dan lainnya sangat menyiksa batinnya.
Tahun 2000-an, Presiden
Abdurrahman Wahid pernah mengutus Yusril Ihza Mahendra untuk menyiapkan
proses pengembalian kewarganegaraan para eksil dan meminta mereka kembali ke
Tanah Air. Setelah melakukan beberapa kali pertemuan di beberapa negara
dengan para eksil, rencana itu surut seiring dengan jatuhnya Presiden Gus
Dur.
Sementara Kuslan bercerita, saat
ia punya kesempatan kembali ke Indonesia, ia harus punya kewarganegaraan yang
jelas. ”Terpaksa saya punya paspor Belanda. Tapi hati saya tetap Indonesia,
paspor itu, kan, hanya dokumen identitas,” katanya menjelaskan.
Saat ini, hampir semua eksil sudah
pernah kembali ke Indonesia dengan menggunakan paspor negara lain. Sekalipun
secara resmi sudah menyandang sebuah kewarganegaraan, mereka tetap sebagai
eksil. Kalau dulu mereka adalah eksil luar-dalam, sekarang pun mereka masih
eksil, eksil dalam.
Rekonsiliasi
dan koeksistensi
Usaha Presiden Abdurrahman Wahid
sempat menumbuhkan harapan akan pulihnya kewarganegaraan para eksil, tetapi
kemudian menghilang sampai muncul isu akan dibentuknya Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) pada zaman Presiden Megawati.
KKR yang sempat dibentuk untuk
kasus Timor Leste diharapkan bisa menjadi jalan keluar bagi persoalan 1965,
khususnya nasib para eksil. Dengan berbagai alasan, tidak semua setuju dengan
usaha besar ini. Bahkan ada yang menganggap proses rekonsiliasi biarkan saja
berjalan apa adanya di antara kelompok-kelompok masyarakat.
Pendapat yang berbeda juga muncul
di kalangan para eksil, ada yang menganggap rekonsiliasi penting dilanjutkan,
ada yang mengatakan rekonsiliasi penting tapi lebih penting koeksistensi.
Rekonsiliasi memang menjadi pintu bagi penghentian semua bentuk pertikaian,
sementara koeksistensi mengandung sikap saling menghormati hidup dan
perbedaan sikap masing-masing.
Namun, yang lebih penting
sebelumnya adalah usaha menyampaikan kebenaran, termasuk pengakuan
masing-masing. Pengakuan-pengakuan semacam ini bisa menjadi pintu terwujudnya
rekonsiliasi dan koeksistensi. Maka tidak salah jika Kuslan menyampaikan
bahwa dirinya bukan korban karena ia menjadi anggota Lekra bukan ikut-ikutan.
”Saya ini orang kalah,” katanya.
Pukul 00.42 WIB, 18 September
2015, ada berita masuk dalam telepon seluler saya yang mengabarkan Pak Min
meninggal di Leiden beberapa hari setelah kembali dari Yogyakarta. Di
Yogyakarta, Pak Min jatuh dan sempat koma. Yogyakarta adalah kota yang banyak
berarti dalam hidupnya, termasuk pernah menjadi pemain sepak bola andalan
kota itu. Pak Min meninggal dengan membawa jutaan terrabite memori tentang
eksil Indonesia di luar negeri yang luput kita catat. Satu lagi, negara tak
sempat memulihkan kewarganegaraannya seperti yang ia harap-harapkan.
Jokowi sebagai Presiden RI yang
terbebas dari beban sejarah masa lalu memiliki kesempatan mewujudkan harapan
besar rekonsiliasi demi masa depan Indonesia. Sebagaimana usahanya membangun
infrastruktur Indonesia yang lebih baik, dengan tanpa banyak mengumbar
kata-kata, Jokowi bisa melanjutkan dialog yang sempat terhenti itu.
Setelah 50 tahun berlalu dan belum
tampak rekonsiliasi dan koeksistensi yang kita inginkan, haruskah kita menunggu
50 tahun lagi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar