Rabu, 16 September 2015

Panggung

Panggung

Bre Redana  ;  Penulis Kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 13 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Panggung adalah refleksi kehidupan, di mana dulu baik pada masyarakat tradisional di sini maupun pada zaman klasik dan modern di Barat orang berkaca diri. Pertemuan langsung antara pemain di panggung dan penonton itulah yang seketika membedakan antara panggung dan dunia film maupun televisi. Pada dua yang disebut terakhir, hubungan manusia dimediasi citra.

Untuk urusan panggung, proyek Indonesia Kita yang dimotori oleh Butet Kartaredjasa dan Agus Noor merupakan salah satu proyek tontonan paling sukses di TIM tahun-tahun belakangan ini. Setiap kali pentas, tiket selalu ludes. Kadang, jumlah pementasan harus ditambah.

Mereka telah menemukan sistem produksi yang efisien dan efektif. Di situ termasuk formula estetiknya, yang sebenarnya biasa dilakukan oleh kelompok-kelompok kesenian rakyat kita di masa lalu, entah wayang, ketoprak, maupun yang mutakhir kelompok lucu Srimulat pada zamannya.

Kelompok-kelompok panggung tradisional kita melakukan pengolahan keseniannya dalam tradisi yang berbeda dibanding tradisi berteater di Barat. Siapa saja yang mempelajari teater Barat tentu akrab dengan istilah reading, tafsir atas reading, blocking, moving, dan seterusnya. Proses reading alias membaca dan menafsir naskah bisa berlangsung berbulan-bulan sebelum berlanjut ke pengadeganan.

Sebaliknya pada teater rakyat kita, proses berlangsung terbalik. Yang diutamakan adalah posisi, gerak, sesuatu yang berhubungan dengan tubuh. Tak ada naskah, apalagi naskah yang rinci. Yang ada hanyalah apa yang mereka kenal dengan istilah penuangan, di mana sutradara atau pimpinan grup membagikan gagasan cerita pada para pemain. Kelompok Srimulat yang berpentas setiap malam di Taman Ria Senayan pada tahun 1980-an, melakukan penuangan beberapa menit sebelum pertunjukan dimulai. Setelah itu pemain mengembangkannya sendiri di atas panggung. Hal seperti itu pasti masih dilakukan oleh kelompok-kelompok kesenian rakyat yang masih tersisa sekarang.

Semua tadi bisa berjalan dikarenakan kecakapan, keterampilan, kemampuan merespons situasi, diandaikan telah melekat pada para seniman panggung. Spontanitas mereka tidak jatuh dari langit. Mereka terasah memproyeksikan diri sebagai tokoh untuk menghidupkan cerita, lewat proses panjang berkesenian yang mereka geluti dan tekuni bertahun-tahun. Ditambah energi yang muncul karena kehadiran penonton, lengkaplah panggung menjadi miniatur kehidupan.

Ya, pertemuan langsung alias sesrawungan selalu memunculkan energi. Hakikat manusia adalah makhluk sosial. Peradaban manusia sendiri berangkat dari kebutuhan bersosialisasi yang menjadi sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Kebudayaan lahir dari ritual, termasuk ekspresinya yang paling kuno, yakni tari. Waktu itu bahasa belum ada. Tubuh menjadi piranti sosial pertama.

Kini, signifikansi tubuh makin ditinggalkan orang. Politik tubuh digantikan istilah yang diucapkan banyak orang namun barangkali tak dipahami benar maknanya, yakni politik pencitraan. Dengan ditinggalkannya signifikansi tubuh yang berarti juga signifikansi tindakan, terjadi kesenjangan antara kata dan perbuatan. Terlebih ketika hubungan manusia dimediasi oleh citra, serta piranti-piranti teknologi informasi. Spontanitas tindakan diganti dengan spontanitas celetukan seperti Anda temui di Twitter.

Sejatinya, kesenian hanya sarana untuk mengungkap segi-segi terdalam manusia, termasuk antara lain kebutuhannya untuk bersosialisasi atau sesrawungan tadi. Pada titik itu, soal-soal teknis seperti menyangkut kriteria estetik kesenian bakal teratasi dengan sendirinya. Justru pamrih berkesenian itu yang dalam beberapa hal perlu dihilangkan. Meminjam paradoks Zen: karena aku berkesenian maka aku tidak berkesenian.

Jangan terlalu percaya pada televisi, dan lain-lain media kontemporer. Mereka telah menjadikan hidup sebagai reality show. Kita perlu kembali kepada kewajaran hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar