Kekuasaan Tanpa Kuasa
Yasraf Amir Piliang ; Pemikir Sosial dan Kebudayaan
|
KOMPAS,
07 September 2015
Tak ada kondisi bangsa yang sangat menyesakkan akhir-akhir ini
selain tak berfungsinya kekuasaan dalam roda pemerintahan. Kekuasaan secara legal-formal
ada, tetapi tak hadir dan tak berfungsi karena ia tanpa ”kuasa”.
Kekuasaan tidak bekerja karena ia tak mampu melaksanakan apa
yang dikatakan, merealisasikan apa yang dijanjikan, atau mencapai apa yang
telah direncanakan. Garis komando dalam roda pemerintahan tak hadir karena
tak punya efek disiplin pada aparat-aparat lebih rendah.
Krisis keuangan global yang mengancam akhir-akhir ini kian
menambah parah kehidupan bernegara dan berbangsa karena ia bersamaan dengan
semacam ”krisis kekuasaan” yang ada di dalam tubuh pemerintahan itu sendiri.
Krisis kekuasaan terjadi karena kekuasaan yang ada tak mampu menunjukkan
legitimasinya, yaitu kapasitas dalam menjalankan fungsinya sesuai harapan
rakyat. Jokowi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara sejauh ini tak
mampu menunjukkan kapasitasnya dalam mengendalikan dan mengarahkan bangsa ke
arah perubahan.
Kekuasaan tanpa kuasa tentu sebuah ironi karena ia seperti kata
tanpa makna, atau konsep tanpa realitas. Namun, justru ”ironi kekuasaan” itu
yang kini dialami negara-bangsa ini, yaitu ketika rezim kekuasaan tak mampu
menunjukkan dayanya dalam memecahkan aneka persoalan bangsa. Yang ada hanya
ketakberdayaan, yaitu ketakmampuan menghadapi aneka tekanan: sosial, politik,
ekonomi, hukum. Ironi kekuasaan ini akibat kentalnya pertarungan kepentingan
di dalam tubuh pemerintah itu sendiri dan terabaikannya kepentingan bangsa
yang lebih besar.
Kekuasaan
minimalis
Kekuasaan tidak bekerja ketika ia tak mampu mengarahkan elemen
bangsa menuju perbaikan atau perubahan. Otoritas kekuasaan memang ada, yang
dipegang para pemangku kekuasaan di dalam aneka aparatus negara, tetapi ia
tidak mampu menunjukkan kuasanya. Kekuasaan lantas menjadi ”kekuasaan
minimalis”, yaitu ketika sistem kekuasaan hanya mampu menunjukkan efek
kekuasaan sangat kecil, dengan efek perubahan sangat minim.
”Kekuasaan” adalah kemampuan untuk mendapatkan apa yang
diinginkan, untuk mencapai sebuah tujuan, atau singkatnya kemampuan melakukan
perubahan. (Boulding, 1989). Artinya, kekuasaan adalah kemampuan
merealisasikan apa yang dijanjikan atau mencapai sebuah tujuan bersama
melalui jalan perubahan. ”Revolusi mental” adalah sebuah konsep perubahan
yang dicanangkan Jokowi, tetapi hingga kini tak mampu direalisasikan secara
nyata bagi perubahan bangsa ke arah lebih baik.
Kekuasaan juga kemampuan untuk mengawasi, mengoreksi,
mengendalikan, mendisiplinkan, dan menciptakan kepatuhan (Foucault, 1986).
Ironisnya, semua kemampuan ini yang tak mampu ditunjukkan oleh Jokowi sebagai
kepala negara. Sebaliknya, yang tumbuh adalah ketakpatuhan, indisipliner,
pembangkangan aparat-aparat tertentu terhadap kekuasaan tertinggi,
pertengkaran di antara para pejabat negara, serta ketakmampuan Jokowi sebagai
kepala negara melakukan koreksi, pengawasan, dan perbaikan.
Tak berfungsinya kekuasaan dalam rezim pemerintahan Jokowi
diperparah dengan tak berfungsinya aparatus negara sesuai bidang dan
kapasitasnya. ”Aparatus” adalah segala sesuatu yang dalam cara dan kapasitas
tertentu dapat mengarahkan, menentukan, menahan, mencegah, memodelkan atau
mengamankan perilaku, opini atau wacana (Agamben, 2009). Akan tetapi,
ironisnya, beberapa aparatus negara tampak tak mampu menjalankan fungsi
memodelkan dan mengarahkan tindakan atau menahan dan mencegah aneka tekanan,
gejolak, dan krisis.
Ketimbang menjalankan fungsinya secara profesional di bidang
masing-masing, yang amat kentara dalam rezim sekarang justru ”rivalitas
politik” atas dasar kepentingan. Penunjukan jajaran kementerian yang kental
nuansa politik jadi penyebab utama minimnya profesionalitas untuk
menyelesaikan aneka masalah bangsa. Rivalitas politik mendorong mereka
mendahulukan kepentingan politik sektoral dan sempit ketimbang memikirkan
perubahan bangsa ke arah yang lebih baik.
Akibatnya, terjadi ”perebutan kekuasaan” tak tampak di tubuh
pemerintahan itu sendiri. Ada kepentingan ”kekuasaan tak tampak” yang berebut
pengaruh—juga lahan ekonomi—di balik aparatus negara yang ada menyebabkan
terpecah-belahnya sistem kekuasaan jadi fragmen-fragmen kekuasaan yang tak
mampu diintegrasikan oleh Jokowi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara.
Disintegrasi kekuasaan ini menjadi titik lemah rezim Jokowi sehingga tak
memiliki daya tangkal terhadap aneka tekanan politik dan rentan terhadap
ancaman badai krisis.
Krisis timbul ketika struktur sistem pemerintahan hanya mampu
menyediakan kemungkinan solusi sangat terbatas bagi penyelesaian masalah
ketimbang yang diperlukan bagi keberlanjutan rezim. ”Krisis kekuasaan” adalah
ketika kemampuan untuk mendisiplinkan, mengarahkan, dan mengendalikan yang
ditunjukkan oleh rezim kekuasaan jauh dari yang diharapkan. Krisis kekuasaan
macam ini dapat menimbulkan krisis lebih lanjut pada keberlanjutan
pemerintahan, berupa ”krisis legitimasi”.
Jika krisis kekuasaan dan legitimasi ini tak dapat diselesaikan,
dikhawatirkan terjadi krisis multidimensi lebih parah dalam waktu dekat.
Krisis multidimensi diprediksi terjadi apabila sistem sosial, politik,
ekonomi, hukum, dan kultural yang ada tak mampu menyediakan solusi bagi
penyelesaian aneka masalah bangsa yang kian menumpuk. Krisis kekuasaan adalah
akar dari kegaduhan dalam sistem pemerintah Jokowi, yang tak dapat
diselesaikan dengan sekadar perombakan kabinet.
Kultur
kekuasaan
Perombakan kabinet yang dilakukan Jokowi baru-baru ini nyatanya
tak banyak membantu memulihkan kepercayaan akan kemampuan pemerintahan
mengatasi berbagai akumulasi permasalahan bangsa yang kian kompleks. Ada
masalah lebih fundamental yang pertama-tama harus diselesaikan terkait dengan
”kultur kekuasaan”, khususnya mental, suasana batin, karakter, dan
nilai-nilai yang bekerja di balik sistem kekuasaan itu sendiri.
Disiplin dan kepatuhan dalam sistem kekuasaan dapat dibentuk
melalui berbagai karakter penguasa: karisma, ketegasan, kekuatan batin,
kecerdasan, pesona diri, atau kecakapan. Disiplin dan kepatuhan yang didasari
kesadaran nasionalisme dan kekuatan batin anak bangsa dapat jadi kekuatan
besar menghadapi krisis karena ia mampu mengikat mereka dalam imagined community di atas fondasi
kebatinan yang sama. Kemampuan untuk membangun disiplin dan kepatuhan dalam
bingkai imagined community ini yang
tak mampu ditunjukkan Jokowi.
Rezim otoriter menciptakan kepatuhan atas dasar ketakutan.
Namun, rezim ”dis- otoriter”, yaitu rezim yang tak mampu menunjukkan
kekuasaan, menumbuhkan ketakpedulian atas dasar apatisme. Tidak saja sistem
kekuasaan dan beberapa aparatus kekuasaan yang ada tak berfungsi, tetapi
peran ”wakil rakyat” dan ”kekuasaan rakyat” itu sendiri sebagai kekuatan
pengoreksi kekuasaan juga tak bekerja karena ada semacam ”kemacetan” di DPR
dan apatisme di tengah masyarakat.
Padahal, manifestasi satu-satunya ”kekuasaan rakyat” di dalam
sistem demokrasi masa kini adalah pada kekuatan untuk mengawasi, mengoreksi,
dan meluruskan rezim kekuasaan agar sesuai dengan cita-cita, ideal, dan
harapan rakyat. Inilah kekuatan ”demokrasi tandingan”, yaitu kekuasaan rakyat
dalam mengawasi dan mengendalikan rezim kekuasaan yang ada agar tak melenceng
dari prinsip mencapai kebaikan bagi rakyat, dengan tujuan memastikan para
pejabat terpilih memegang amanatnya (Rosanvallon,
2008).
”Demokrasi tandingan” adalah semacam dinding penahan dari aneka
ancaman terhadap kekuasaan demokratis melalui kekuatan masyarakat sipil. Ia
adalah kekuatan demos untuk terus-menerus mengawasi, mengoreksi, dan meningkatkan
efektivitas kekuasaan melalui demonstrasi, petisi, atau solidaritas sosial.
Pengawasan kekuasaan tanpa jeda ini sebagai kompensasi dari tak berfungsinya
aparat dan aparatus-aparatus negara. Di sinilah mestinya peran relawan
Jokowi, tentunya rakyat pada umumnya, dalam memandu agenda Nawacita yang
telah dicanangkan.
Akan tetapi, ironisnya, dua fungsi kekuasaan di dalam tubuh
demokrasi itu kini lumpuh. Negara lemah dan rakyat yang lemah menciptakan
semacam efek ganda, memudahkan benih-benih krisis multidimensional menjadi
kenyataan yang menakutkan dalam waktu dekat ini. Negara lemah karena tak
berfungsinya kekuasaan pemandu perubahan; rakyat dan wakil rakyat lemah
karena tak memiliki dorongan mengoreksi arah perubahan.
Tanda-tanda ke arah krisis multidimensi sudah mulai tampak,
berupa gejala-gejala krisis politik, ekonomi, dan sosial. Gejala ”krisis
politik” ditunjukkan oleh ketakmampuan rezim mengendalikan kekuatan-kekuatan
yang ada; gejala ”krisis ekonomi” ditunjukkan oleh anjloknya nilai rupiah, melambatnya
pertumbuhan ekonomi, dan menurunnya daya beli masyarakat; gejala ”krisis
sosial” ditunjukkan oleh apatisme masyarakat dan tak adanya ”gerakan sosial”
bagi perubahan: demonstrasi, petisi, atau solidaritas sosial.
Apa yang terjadi adalah situasi di mana kompleksitas
permasalahan yang ada tak sebanding kecanggihan pemikiran, strategi, dan
tindakan rezim dalam mengatasinya. Ini diperparah oleh tak munculnya kekuatan
demokrasi tandingan untuk mengoreksi kekuasaan. Memang, permasalahan ekonomi
yang dihadapi sekarang sangat kompleks karena cara kerja ekonomi kini sudah
seperti cara kerja politik. Akan tetapi, bagaimanapun, ”kekuatan nasional”
adalah benteng yang mampu menghadapinya.
Untuk itu, Jokowi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara
harus melakukan langkah-langkah ”budaya politik” untuk menghadapi ancaman
krisis.
Pertama, Jokowi harus mampu merevitalisasi dan memulihkan
otoritas kekuasaannya dengan menunjukkan kemampuannya dalam mengomandokan,
mengendalikan, mendisiplinkan, menciptakan kepatuhan pada jajaran-jajarannya
dan rakyat pada umumnya. Untuk itu, ia harus dapat melepaskan diri dari aneka
tekanan dan rongrongan ”kekuatan-kekuatan” di luar otoritas kekuasaannya. Ia
tak dapat lagi menggunakan ”tangan orang” lain melawan sebuah kekuatan.
Kedua, Jokowi harus mampu membangun ”suasana batin”
rakyat—dengan lebih sering tampil di depan publik—untuk membangkitkan
sentimen nasional, menumbuhkan sense of
crisis, mengajak rakyat sebagai bagian dari krisis, dan membangun semacam
”kekuatan batin” untuk menghadapi ancaman krisis global. Syaratnya,
penampilan Jokowi di depan publik demi pencitraan harus dihentikan.
Ketiga, bila perlu, Jokowi membentuk semacam tim crisis centre bersifat terbuka,
non-partisan dan netral, serta diisi para intelektual dan teknokrat
profesional yang fokus pada pemikiran dalam penyelesaian krisis politik,
sosial, dan ekonomi. Tim ini diharapkan dapat mem-back-up otoritas kekuasaan Presiden dan meningkatkan kewibawaan
pemerintah. Jika ini tak dapat dilakukan, dikawatirkan kita akan menuju pada the real crisis of the state. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar