Rabu, 16 September 2015

Jiwa Zaman dalam Sastra

Jiwa Zaman dalam Sastra

Warih Wisatsana  ;  Sastrawan; Penulis Puisi
       KOMPAS, 13 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sebuah karya sastra, roman atau naskah drama, yang berlatar periode kunci sejarah tertentu, semisal pergulatan historis Indonesia pada awal abad ke-19, sewaktu mulai bertunasnya gagasan identitas kebangsaan, terbukti berpeluang menjadi karya besar yang mencerahkan. Sebut saja tetralogi Buru dari Pramoedya Ananta Toer, War and Peace karya Leo Tolstoy (1863), novel semi biografi The Sun Also Rises Ernest Hemingway (1926), atau karya Conrad, In the Heart of Darkness (1905).

Para penulis tersebut sejatinya tidak semata menuturkan dengan piawai karakter dan konflik antartokohnya, melainkan sebagaimana keyakinan kaum sejarawan, sesungguhnya menyuguhkan upaya eksplorasi pada Geistzeit atau jiwa zaman. Melalui romannya yang fenomenal itu, Leo Tolstoy dengan realistis menggambarkan kemelut 580 tokoh-tokohnya, berlatar penyerbuan Napoleon ke Rusia. Sedangkan The Sun Also Rises adalah novel semibiografi berlatar perang saudara di Spanyol, di mana Hemingway bertugas sebagai jurnalis. Adapun Joseph Conrad memaparkan teror yang merundung masyarakat Kongo di bawah kekuasaan Raja Belgia.

Demikian juga sejumlah pengarang Jepang tersohor dan diakui dunia, semisal Yasunari Kawabata, Kenzaburo Oe, Haruki Murakami, dan Yukio Mishima, juga mencipta novel yang menggali Geistzeit. Namun, jiwa zaman tersebut tidak dituturkan secara langsung sebagai penggambaran keadaan, melainkan dideskripsikan dengan sublim dan mendalam melalui kemelut batin tokoh-tokohnya.

Novel atau roman tersebut sesungguhnya bukan sepenuhnya karya fiksi, yang jauh berjarak dari kenyataan, akan tetapi adalah sebuah dunia rekaan pengarang yang membaurkan serpihan pengharapan, kenangan-kenangan pribadi, dan juga realitas sejarah. Peristiwa-peristiwa dalam novel menggenangi pembaca dengan berlapis kejadian. Pada tataran tertentu, hal itu boleh jadi adalah sebentuk strategi estetik pengarang dalam menguraikan kerumitan latar sejarah yang dialami tokoh-tokoh novelnya, sekaligus berdialetika mengundang permenungan para pembacanya.

Menimbang tetralogi Pramoedya

Pramoedya Anantar Toer, di dalam tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), memang terbukti adalah tafsir atas jiwa zaman, membicarakan periode kunci sejarah Nusantara semasa benih-benih kebangsaan mulai tersemai, pada awal abad ke-19. Tokoh Minke dan Nyai Ontosoroh ada dalam pusaran zaman yang serba paradoks, di mana kolonialisme sedang memuncak sekaligus juga dibayang-bayangi gerakan kesadaran baru, yakni arus pencerahan humanistis universalis yang meniscayakan adanya keadilan, merekahkan benih-benih kebangsaan dan kelak terbukti turut menderaskan gelombang kemerdekaan di berbagai penjuru dunia.

Boleh dikata, yang menjadi tokoh utama adalah Sang Sejarah itu sendiri. Novel Pulau Buru sebenarnya menyiratkan paradoks yang melekat pada kebudayaan Barat sejak Auflärung abad ke-18, yaitu kontradiksi antara ideologi universalis modern, yang hendak memperluas jangkauannya dengan senantiasa mengkritisi diri, dan logika sistem kapitalis yang cenderung melahirkan aneka ragam dominasi.

Kritik Pramoedya atas kolonialisme juga diserukan sebelumnya oleh pengarang besar Perancis, Victor Hugo, bahkan pengarang Amerika, Mark Twain, memelopori liga anti-imperialisme. Seiring itu juga, pergolakan berkobar di mana-mana, masyarakat terjajah mulai bangkit kesadaran berbangsanya, memunculkan berbagai gerakan perlawanan.

Novel inspiratif, Max Havelaar (1860), karya Multatuli, mengiringi lahirnya arus kesadaran baru tersebut, berkisah tentang Saijah dan Adinda—hidup sekitar 40 tahun sebelum Minke dan Nyai Ontosoroh di Bumi Manusia. Seturut Max Havelaar itu, lahirlah kebijakan Politik Etis Belanda (1901), bersemangat reformis, namun tidak mampu mengatasi kontradiksi-kontradiksi yang menyertainya. Lantaran tujuannya mengadaptasi kolonialisme pada ragam kapitalisme yang lebih terbuka, bukan menggantikan penjajahan dengan sistem lain, sehingga menimbulkan pertentangan, baik yang pro maupun yang kontra atas kolonialisme.

Novel tetralogi Pulau Buru menarik untuk disandingkan ataupun dibandingkan dengan novel-novel yang mengeksplorasi jiwa zaman yang sama, baik dari pengarang Indonesia lainnya maupun pengarang luar, semisal pengarang Perancis, Catherine van Moppès (Emilie: Java 1904, telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia).

Bila Catherine van Moppès bertutur sudut pandang wanita muda Eropa yang tengah merumuskan jati diri dan pandangan antarbangsa, tokoh Minke dari Pramoedya juga berbicara hal yang tak jauh beda. Kedua tokoh rekaan tersebut meski berbeda latar budaya dan psikologinya, hidup dalam kurun waktu yang sama.

Kedua penulis ini mewartakan pentingnya memperjuangkan humanisme yang melampaui batas-batas bangsa, di mana Emilie dan Minke terlibat dalam situasi-situasi pelik, serta dicekam prasangka-prasangka rasial-kultural. Menariknya, kedua sosok anak manusia muda, sama-sama menyinggung perihal perjuangan Multatuli serta mengagumi sosok RA Kartini, yang ramai diperbincangkan karena gagasan emansipasinya.

Upaya menyandingkan sekaligus membandingkan novel-novel berlatar historis tersebut, bukan semata dapat membantu kita meresapi dan memahami sejarah kebangsaan Indonesia, melainkan juga berpeluang menjernihkan dan mencerahkan.

Demikian pula tentu harapannya bila membaca novel-novel berlatar tragedi tahun 65, baik karya Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk), Umar Kayam (Sri Sumarah dan Bawuk), atau karya Bre Redana (65 dan Blues Merbabu), Putu Oka Sukanta (Istana Jiwa), Noorca Massardi (September), berikut yang belakangan dari Laksmi Pamuntjak (Amba), Leila Chudori (Pulang), serta lain-lain, termasuk novel atau roman selatar yang penulis dengar akan segera terbit setelah melalui riset yang panjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar