Memidana Pembuat Kebijakan
Margarito Kamis ; Doktor Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas
Khairun, Ternate
KORAN
SINDO, 31 Agustus 2015
Margarito Kamis ; Doktor Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas
Khairun, Ternate
|
Sehari setelah rapat
antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah di Istana Bogor, 25 Agustus
yang lalu, Sekretaris Kabinet diperintahkan Presiden membuat surat edaran,
yang sejauh terungkap ke publik memiliki substansi penegasan tentang
kebijakan tidak bisa dipidana.
Disebut penegasan
disebabkan, yampaknya, pemerintah menyadari
keberadaan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Terdapat
sepuluh pasal dalam UU ini yang mengatur hal-ihwal keputusan atau tindakan,
yang dalam konteks rapat di Istana Bogor itu “kebijakan.
” Secara garis besar,
kesepuluh pasal itu mengatur tujuan, jangkauan atau ruang lingkup, syarat,
prosedur, dan akibat hukum dari pembuatan keputusan atau tindakan yang
bersifat diskresioner, kebijakan dalam konteks Istana Bogor. Sepintas
terlihat pengaturan inihebat, dan andal untuk digunakan oleh aparatur
pemerintah membentengi dirinya dari pidana.
Tetapi bila dianalisis
secara mendalam, UU inimemiliki, apa yang diistilahkan oleh Roman Tomasic,
ahli sosiologi hukum dari Australia, sebagai unintended expected dan
unintended consequences.
Rimba Ketidakpastian
Melancarkan
penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian
hukum dan mengatasi stagnasi pemerintahan merupakan tujuan dari keputusan
atau tindakan kebijakan dalam konteks rapat di Istana Bogor. Tetapi aparatur
pemerintah tidak bisa hanya menunjuk keempat hal itu ketika hendak mengambil
keputusan atau tindakan, kebijakan dalam konteks rapat di Istana Bogor.
Mengapa?
Kerangka hukum
kebijakan yang tersedia dalam UU ini, digantungkan pada serangkaian keadaan
hukum. Selain harus sesuai dengan tujuannya, kebijakan harus pula sesuai
dengan peraturan perundangan, asas umum pemerintahan yang baik, adanya alasan
yang objektif dan tidak ada konflik kepentingan. Tidak berhenti di situ,
kebijakan hanya bisa dilakukan oleh pejabat yang berwenang, dan pada saat
digunakan, tidak boleh melampaui kewenangan itu, dan tidak boleh pula
mencampuradukkannya.
Keadaan hukum yang
bagaimanakah yang dapat dikualifikasikan sebagai telah terjadi ketidak
lancaran dan atau stagnasi pemerintahan? Keadaan hukum yang bagaimanakah yang
dapat di kualifikasikan telah terjadi kevakuman hukum atau ketidakpastian
hukum? Siapa yang berwenang menetapkan telah terjadi kevakuman hukum atau
ketidakpastian hukum itu? Menterikah, dirjenkah, gubernurkah, bupatikah atau
wali kota, termasuk kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) untuk
persoalan-persoalan di daerah? UU Nomor 30 Tahun 2014 tidak
mendefinisikannya.
Cukup krusial manakala
kebijakan itu menimbulkan kerugian keuangan negara. Apakah kerugian keuangan
negara itu serta-merta berkualifikasi tindak pidana korupsi? Soal ini pun
tidak terdefinisikan secara rigid dalam tata hukum saat ini. Temuan BPK
misalnya, harus diserahkan Ke DPR dan DPRD, termasuk gubernur, bupati dan
walikota. Dalam audit general, biasa disebut audit keuangan, subjek yang
mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara tidak disebut secara
spesifik dalam laporan hasil pemeriksaan BPK itu.
Bagaimana menentukan
subjek yang bertanggung jawab? Penentunya adalah aparatur pengawas internal.
Masalahnya kapan penentuan itu? Setelah hasil audit BPK atau sebelum? Bila
pengawas internal telah menetapkan siapa yang bertanggung jawab atas kerugian
keuangan negara itu, maka pejabat yang bersangkutan, menurut hukum diharuskan
mengembalikannya. Untuk mengembalikannya, gubernur atau bupati dan wali kota
harus menuntut yang bersangkutan.
Bagaimana bila yang
bersangkutan tidak mengembalikannya? Jalan Lain Apa hukumnya bila aparatur
hukum berdalih bahwa pengembalian kerugian keuangan negara dan perkara atas
penetapan ganti rugi ke pengadilan, tidak menghilangkan sifat pidana dari
perbuatan tersebut? Kerangka hukum yang tersedia tidak menyediakan solusi
spesifik. Surat edaran tak bisa jadi alasan pembenar.
Satusatunya cara hukum
yang dapat digunakan oleh pejabat yang disidik itu adalah melakukan
praperadilan. Nasibnya tergantung pada hakim praperadilan. Surat edaran,
bukan tak perlu, tetapi secara hukum tidak memiliki kecukupan kapasitas
sebagai hukum yang valid. Mengubah, tidak usah seluruh UU Nomor 30 Tahun 2014
itu, melainkan beberapa pasal saja, terasa masuk akal.
Mengatur bahwa hasil pemeriksaan
aparatur pengawas internal, dan tuntutan ganti rugi oleh gubernur, bupati dan
wali kota atas kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dari implementasi
kebijakan menjadi dasar hilangnya sifat pidana dalam kerugian keuangan negara
itu, mungkin andal menghalau ketakutan kepala daerah.
Pemeriksaan internal
dan tuntutan ganti rugi, jelas meneguhkan kualifikasi kesalahan pejabat itu
semata-mata sebagai kesalahan administratif, dan sanksinya juga sematamata
atau hanya itu, sanksi administratif. Bagaimana bila kebijakan yang
menimbulkan kerugian negara itu dibuat oleh gubernur? Dalam kasus ini dapat
dibuat skema pengaturan berupa menteri sebagai otoritas penuntut ganti rugi
itu. Bila kebijakan bupati dan atau wali kota yang menimbulkan kerugian keuangan
negara, gubernurlah yang menjadi otoritas penuntut ganti rugi.
Gairah memperlancar
penyelenggaraan urusan pemerintahan, sehingga kepala daerah diberi
keleluasaan menilai keadaan, dan memilih tindakan membuat keputusan atau
mengambil kebijakan diberi proteksi hukum minimum, harus diakui, beralasan.
Agar tak berbuah
menjadi malapetaka, maka cara dan alat hukum yang dipilih harus pula
beralasan. Membebaskan pejabat dari tanggung jawab dipidana, yang
kebijakannya menimbulkan kerugian keuangan negara, dan dirinya memperoleh
keuntungan langsung atau tidak langsung, terus terang terlalu konyol. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar