RR Disemprit, Bagaimana dengan JK?
Tjipta Lesmana ; Pakar Komunikasi Politik
|
KORAN
SINDO, 31 Agustus 2015
Dalam skandal Bank
Century, paling sedikit lima kali Jusuf Kalla berteriak keras bahwa kasus BC
adalah perampokan bank. Kepada media, kepada DPR RI dan dalam keterangannya
sebagai saksi di sidang pengadilan, JK konsisten dengan pendapat bahwa bank
itu dirampok oleh para pemiliknya. Oleh karena itu, para pemegang saham dan
petinggi pemerintah yang membuka jalan bagi perampokan itu harus diseret ke
pengadilan dan dijebloskan dalam penjara dengan vonis berat (namanya saja
perampokan!).
Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) tidak kalah konsistensinya: bahwa kasus BC merupakan kebijakan publik
dan kebijakan publik tidak bisa dikriminalkan. Berulang-ulang dia mengatakan
ini di publik. SBY tentu jengkel dengan pendapat JK, sebab ketika pertama
kali JK menggunakan istilah keras “perampokan”, dia masih menjabat wakil
presiden, wakilnya SBY.
Jelas, pendapat dua
pemimpin bangsa Indonesia ini bertolak belakang. Publik pun, sebagian besar,
yakin banyak unsur pidana dalam skandal BC. Pada akhirnya memang skandal ini
dibawa ke meja hijau dan terbukti ada yang divonis bersalah.
Apa kesimpulan yang
bisa ditarik dari skandal BC? Tiap-tiap orang sah-sah saja berteriak bahwa
kebijakan publik tidak bisa dikriminalkan.
Namun jika tameng
“kebijakan publik” dipakai untuk mencegah atau menghalangi aparat hukum
bertindak, kita harus tolak! Pertama, yang namanya “kebijakan publik” mesti
diuji dulu di pengadilan. Kedua , kalau toh “kebijakan publik” itu murni
suatu kebijakan publik, bagaimana dengan implementasinya? Bagaimana kalau
terjadi penyimpangan terhadap kebijakan publik itu? Sekitar 2-3 tahun yang
lalu, Presiden SBY berulang-ulang berteriak bahwa kebijakan publik tidak bisa
dikriminalkan.
Sekarang, giliran
Presiden Jokowi meneriakkan slogan serupa: aparat penegak hukum mulai KPK,
kejaksaan, hingga kepolisian jangan mengkriminalisasi kebijakan publik.
Kriminalisasi kebijakan publik dianggap sebagai “biang kerok” lambannya
penyerapan anggaran pembangunan di daerah, karena para pejabat daerah takut
menjalan kebijakan, termasuk mencairkan anggaran APBD.
Sikap seperti itu,
sebetulnya, masih harus dikaji secara kritis. Sikap “menolak kriminalisasi
kebijakan publik” tidak mustahil diselewengkan oleh pejabat-pejabat daerah untuk
memperkaya diri sendiri.
Namun, para petinggi
pemerintah pusat, mungkin termasuk wakil presiden, kadang tidak konsisten
pendapat dan sikapnya! Ketika beberapa komisioner KPK ditersangkakan oleh
Polri, ketika Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, ditersangkakan,
dan ketika banyak kalangan membela tokohtokoh ini dengan tudingan
“kriminalisasi hukum”, JK berteriak: “Silakan saja Abraham, Bambang
Widjojanto, dan Denny mengikuti proses hukum. Kalau Anda merasa tidak
bersalah, ya pengadilan-lah forumnya untuk membela diri.”
Namun ketika giliran
kantor Direktur Utama Pelindo II RJ Lino digeledah oleh Bareskrim Polri,
ketika Lino marah-marah dan mengancam mau mundur, lalu menelepon
menteri/kepala Bappenas, dan kepala Bappenas kemudian menelepon wakil
presiden yang sedang berkunjung ke Seoul, keluarlah peringatan keras wapres
kepada kapolri: baik presiden maupun dirinya sudah memerintahkan untuk tidak
mengkriminalkan kebijakan dan hal itu perintah.
“Saya sudah bicara
dengan pimpinan Polri untuk melaksanakan tindakan atau pemeriksaan kasus RJ
Lino sesuai perintah presiden. Tidak boleh keluar dari itu!” Dengan
serta-merta memerintahkan Polri untuk hati-hati dalam menangani perkara Lino,
bukankah telah terjadi intervensi hukum? Minimal, kredibilitas anak buah
Komjen Pol Budi Waseso tidak dipercaya atau diragukan, seakan-akan Bareskrim
bertindak sembrono. Konsistensi dalam bertindak, konsisten antara ucapan dan
tindakan pemimpin, apalagi pemimpin negara, adalah sangat penting, bahkan
tidak boleh tidak.
Apa sesungguhnya yang
terjadi di Pelindo II? Bukankah Polri sebenarnya menjalankan perintah
Presiden Jokowi juga mengenai mafia dwelling time ? Bukankah Pak Presiden
marah-marah ketika melakukan inspeksi mendadak di Tanjung Priok dan
mendapatkan begitu lambatnya waktu yang dibutuhkan untuk bongkar-muat barang?
Bukankah ketika Pak Presiden tahu, lalu marah-marah dan memerintahkan aparat
hukum untuk segera mengusut kasus dwelling time, kita semua harus memuji Pak
Presiden yang bertindak begitu cepat? Dan bukankah Bareskrim Polri pun begitu
cepat merespons perintah Presiden?
Penggeledahan oleh para petugas Bareskrim
di kantor Direktur Utama Pelindo II pasti bagian dari pengusutan Polri
terhadap mafia dwelling time yang telah menelan korban satu menteri, yaitu Menteri
Perdagangan dan seorang Direktur Jenderal bawahannya.
Bisa saja anak buah
Komjen Pol Budi Waseso bertindak keliru. Tapi, bukankah kita semua termasuk
wakil presiden seyogianya menahan diri dan memberikan kesempatan kepada
Bareskrim untuk merampungkan pekerjaannya dan membuktikan kebenaran tindakan
yang diambil Polri?
Satu hal lagi yang perlu kita soroti, yaitu seputar
masalah komunikasi. Ketika Rizal Ramli mengkritik kebijakan menteri BUMN
tentang rencana pembelian 30 unit Airbus, dan ketika Rizal Ramli mengkritik
juga rencana pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt, Pak Wapres marah
serta menyemprot Rizal Ramli.
“Pelajari dulu
masalahnya, sebelum mengkritik,” kira-kira begitu kata Pak Wapres. Bukankah
pernyataan serupa seyogianya ditujukan kepada JK sendiri dalam kasus dirut
Pelindo II? Terakhir, soal kritik terbuka dan kritik tertutup. RR dituduh
lancang, bicara di publik sebelum di internal pemerintah. Memang, menurut
teori komunikasi organisasi, jika timbul masalah dalam sebuah organisasi,
termasuk organisasi yang bernama negara, sebaiknya dibahas internal dulu,
jangan langsung di bawah ke publik.
Tetapi kenapa Pak
Wapres langsung “menyodok” Kapolri di depan umum dalam kasus Pelindo II?
Kenapa Kapolri dipanggil atau dimintakan pendapatnya di sidang kabinet? Ah,
dua-duanya melakukan kesalahan sama: tidak taat asas, asas komunikasi
organisasi! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar