Kemajuan dan Keselamatan
Daoed Joesoef ; Alumnus Universite' Pluridisciplinaires
Pantheon-Sorbonne
|
KOMPAS,
14 September 2015
Ada dugaan bahwa niat
pemerintah mengadakan investasi kereta api cepat ala Jepang atau Tiongkok
sebagai usaha memasuki era kecepatan. Hal ini benar sejauh kebijakan itu
dilakukan dalam konteks ”dromokrasi”, suatu kekuatan yang tidak kelihatan,
tetapi cukup berkuasa mendorong manusia bertindak serba cepat. Sama halnya
dengan istilah ”demokrasi”, ”dromokrasi” dibentuk dari dua kata Yunani, yaitu
dromos berarti ’kecepatan’ (speed) dan kratos berarti ’pemerintahan’ (rule).
Analog dengan istilah ”demokrasi”, maka kata ”dromokrasi” bermakna ’the government of the speed, by the
speed, for the speed’.
Kekuasaan dromokrasi
sudah berlaku sejak dua ribu tahun sebelum Kristus. Para Firaun (Pharao)
Mesir sudah menggunakan ”pengait” dan ”cambuk” sebagai lambang kekuasaan dan
pemerintahan. Dengan mengait orang menahan, dengan cambuk orang menggerakkan.
Jadi, pemerintahan sudah lama mengacu pada aturan. Mengatur berarti
menggerakkan, mengendalikan, dan menertibkan.
Penciptaan benda yang
disebut ”roda” dan pemikiran mengukur ”pi” (n), yaitu perbandingan antara
garis tengah dan lingkaran roda, membuat satu lompatan besar di tingkat
kecepatan. Abad XIX membangun industri kecepatan. Dalam perspektif sejarah,
penerbangan angkasa luar merupakan lanjutan dari penemuan roda tersebut. Jika
masa prasejarah adalah ”berjalan” dan masa sejarah ”menggelinding”, sekarang
ini adalah proto sejarah dari ”terbang”. Dengan terbang, orang mampu bergerak
lebih cepat daripada suara dan masih terus berusaha melaju secepat gerakan
cahaya.
Isra dan Miraj adalah
gerakan dromokratis yang dinarasikan oleh agama Islam, pada tanggal 27 Rajab,
16 abad yang lalu. Isra adalah perjalanan malam yang ditempuh Rasulullah dari
Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsa di Jerusalem, berjarak kira-kira
1.350 kilometer. Miraj merupakan perjalanan lanjutan di malam yang sama ke
angkasa luar menuju Sidratul Muntaha tempat dia menerima perintah dari Allah
tentang kewajiban bershalat. Waktu yang dia perlukan untuk sampai ke sana,
dengan melewati berbagai galaksi di jagat raya, diperkirakan sebanyak 10
miliar tahun cahaya. Berarti dia perlu kendaraan yang kecepatannya melebihi
kecepatan cahaya (300.000 kilometer per detik). Dalam narasi tadi kendaraan
Rasulullah disebut berkecepatan ”kilat” (Buraq atau Barqun).
Kalau dahulu jarak dan
ruang menghabiskan waktu, berkat kecepatan waktu menelan jarak dan ruang.
Mengetahui hal ini, pemerintah kita sejak kemerdekaan telah berusaha
menciptakan ”kecepatan” berupa bandara di setiap pelosok Tanah Air. Namun,
langkah yang serba spektakuler ini tidak memenuhi dromokrasi. Ternyata yang
dibangun itu hanya sarana dan lambang kecepatan, bukan sekali-kali
”kecepatan” itu sendiri. Tanpa kesadaran berdromokrasi, penikmatan
”gerak-cepat” itu tidak tanpa biaya tak terduga, berupa penghamburan dana,
kerja tumpang tindih, kehilangan waktu, tumpukan kejengkelan dan kecelakaan,
yang jauh lebih besar daripada seharusnya.
Kita lupa bahwa
makanan enak dapat dibeli, tetapi makan enak tidak. Kasur empuk dapat dibeli,
tetapi tidur enak tidak. Buku ilmu pengetahuan dapat dibeli, tetapi sang
pembaca tidak otomatis menjadi ilmuwan sejati. Untuk kualifikasi intelektual
ini diperlukan ”spirit ilmiah” dan ini pasti tidak dapat dibeli, harus
dikembangkan sendiri berdasarkan kesadaran.
Kesadaran yang
diniscayakan oleh dromokrasi itu terutama mengenai hakikat dari faktor-faktor
yang menentukan jalannya dromokrasi, pada pokoknya berupa: berpikir integratif
(perencanaan terpadu, interdisipliner, interkoneksitas), kebijakan energi,
kesadaran waktu dan ruang. Unsur ”waktu”, misalnya, menentukan sekali
keberhasilan dromokrasi berhubung bersama-sama dengan ”jarak”, ialah yang
dijadikan pengukur perkembangannya. Adapun perilaku kita pada umumnya masih
dikuasai oleh ”jam karet”.
Miopia waktu
Manusia Indonesia
kelihatan mengalami gangguan dalam ber-”waktu”. Jangka pendek sering dianggap
sebagai horizon pasti dan cenderung bergerak dari jangka pendek ke immediate,
dari horizon tertutup ke tidak adanya horizon, hingga terpaku pada ”waktu
riil”: jarak temporal sebesar nol derajat.
Miopia waktu lalu
membuat kehidupan bersama dikuasai oleh ”tirani urgensi”, yang mendesakkan
cara kerja dadakan. Dengan dalih just on time, tirani urgensi dengan gaya
pendadakannya membuat kriteria aksi yang simpel—fleksibilitas dan
adaptasi—menjadi absolut dalam pengambilan keputusan. Keputusan ini bisa saja
membuahkan manfaat sesaat, terutama di bidang politik yang dikuasai oleh parpol
dan politikus oportunis.
Dalih just on time
dari tindakan mendadak itu sendiri bukan berarti ia dilakukan tepat waktu,
sesuai jadwal. Sesuatu yang sampai dianggap urgen sebenarnya sudah sangat
terlambat—when it is urgent, it is
already too late. Maka, tirani urgensi membiasakan merespons langsung
tanpa analisis cukup hingga kebijakan pemerintahan menjadi suatu rangkaian
adaptasi pasif immediate terus-menerus. Aksi pemerintahan yang diambil guna
mengatasi kelumpuhan tadi selalu berupa tindakan spektakuler yang serba
cepat.
Jadi, investasi kereta
api cepat dilakukan bukan karena kesadaran adanya ”dromokrasi”, melainkan
sebagai reaksi terhadap penjajahan miopia waktu. Adapun sikap pemerintah
dalam keadaan apa pun seharusnya bersifat antisipatif sebab ”to govern is to foresee”. Berarti
selalu berusaha ”to foresee the present
in order to build the proper future of the nation-state”.
Etika masa depan
Etika masa depan lahir
dari kesadaran bahwa setiap makhluk akan menjalani sisa hidupnya di masa
depan bersama dengan makhluk hidup lain yang ada. Maka, manusia, selaku
khalifatullah di bumi, bertanggung jawab tidak hanya atas dirinya, tetapi
juga terhadap makhluk lainnya itu. Berarti masa depan menuntut manusia untuk
tidak mengelakkan tanggung jawab atas konsekuensi dari setiap aksi yang
dilakukannya sekarang ini, termasuk langkah yang dia tahu harus diambil,
tetapi tetap tidak dia lakukan.
Berhubung tanpa adanya
etika masa depan di masa lalu, di masa sekarang segala sesuatu sudah terasa
serba terlambat, etika masa depan menuntut manusia mempunyai pula visi
prospektif. Ini adalah sikap intelek yang melihat sesuatu di masa depan bukan
sebagai realitas tersembunyi yang sudah eksis dan dapat ditemukan dengan
menggunakan aneka metode ilmiah yang sesuai, melainkan lebih berupa hasil
yang telah diprakirakan oleh aksi-aksi yang kita lakukan dengan sengaja,
sistematik, dan terarah sebelumnya.
Jadi, sikap prospektif
dibangun berdasarkan postulat bahwa manusia terpanggil untuk membangun masa
depannya sendiri dan adanya kebebasan manusia dalam menghadapi hal-hal
mendatang, beraneka ragam, tidak pasti, dan serba kompleks. Maka, kemampuan
antisipatif dan pikiran prospektif hendaknya dijadikan prioritas bagi
orang/lembaga yang merasa terpanggil untuk mengambil keputusan. Hal ini jelas
memerlukan riset, tetapi pasti sangat relevan bagi pembentukan kekuatan guna
membebaskan diri dari cengkeraman faktor ”tirani urgensi”, untuk menolak
adaptasi ”waktu riil”, demi menentang kebijakan just on time.
Kontrak kealaman
Sepintas lalu tidak
ada alasan untuk khawatir bahwa anak cucu kita tidak bisa hidup bahagia di
bumi Indonesia yang terkenal kaya dengan sumber alamnya. Namun, berhadapan
dengan aneka jenis eksploitasi alam yang rakus demi keuntungan yang serba
instan, kita harus membuat suatu kontrak kealaman, a natural contract, yang menyatakan ”the does and the don’t” dan harus kita taati dalam memanfaatkan
alam demi keselamatan (survival).
Selama ini sumber alam
dianggap sebagai warisan nenek moyang dan karena itu generasi sekarang merasa
berhak penuh menguras semuanya guna memenuhi kebutuhan sekarang dengan
menyerahkan begitu saja kepada generasi mendatang menemukan sendiri solusi
masalah yang diakibatkan oleh pengurasan itu. Akibat kerakusan ini sudah
terasa sekarang: polusi, kehancuran ekologis, penandusan, longsor dan banjir,
pemanasan global, penyusutan cadangan air tanah, kerusakan lapisan ozon, dan
kepunahan berbagai jenis flora dan fauna akibat pembabatan hutan seenaknya.
Lebih daripada seabad
yang lalu, Alexis de Focqueville, filosof politik Perancis, telah
mengingatkan ”a democratic power is
never likely to perish for lack of strength or of its resources, but it may
very well fall because of the misdirection of its strength and the abuse of
its resources”. Dan di negeri tercinta ini memang terjadi ”salah arah
eksploitasi alam” serta ”penghamburan pemanfaatannya”.
Maka, dengan
penyalahgunaan koleksi terbesar dari kekayaan alam berlimpah yang pernah ada
di sepotong geografi, Indonesia kini menghadapi a now or never situation
dalam keselamatan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara hingga
kiamat.
Revolusi mental
Revolusi yang sekarang
gencar dicanangkan ini seharusnya meliputi anggapan bahwa kekayaan sumber
alam yang ada merupakan ”pinjaman” belaka dari generasi sekarang kepada
generasi mendatang yang seharusnya bisa dikembalikan dalam keadaan terawat
dan relatif siap pakai.
Jangan lagi kita
kacaukan hakikat ”teknologi” dan ”ilmu pengetahuan”. Jangan lagi menganggap
status martil sama dengan test-tube.
Sudah waktunya kita menyadari bahwa peralatan yang dipakai guna membelah
gunung dan merusak pantai adalah perpanjangan dari sekaligus pikiran dan
otot. Ilmu pengetahuan boleh dibiarkan bebas karena ia ”mencari” kebenaran,
tetapi teknologi hanya merupakan means guna ”menerapkan” kebenaran. Dan
justru penerapan ini membutuhkan kontrol filosofis dan keseimbangan antara
kearifan dan concern for posterity.
Kita tidak mungkin
mengubah/memperbaiki masa lalu. Dengan opsi yang cenderung menyempit, kita
tetap berkewajiban membentuk masa depan. Maka, demi penanganan masa depan
yang menjanjikan, negara perlu melaksanakan tugas hakikatnya yang selama ini
terabaikan, yaitu ”membangun jiwa” sebelum ”membangun badan” Tanah Air,
seperti yang diamanatkan oleh himne nasional ”Indonesia Raya”. Berarti kiat
bernegara sinonim dengan keterampilan membangun jiwa. Statecraft is sosulcraft. Negara-Bangsa yang merdeka bukan lagi
sekadar suatu ”lokalitas fisik”, melainkan suatu ”mindset”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar