Rabu, 16 September 2015

Deregulasi, Rupiah, dan Banjir Likuiditas

Deregulasi, Rupiah, dan Banjir Likuiditas

A Tony Prasetiantono  ;  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
                                                     KOMPAS, 14 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pekan lalu pemerintah mengeluarkan banyak kebijakan deregulasi. Langkah itu praktis dilakukan di semua sektor, baik sektor riil maupun finansial. Namun, kurs rupiah tetap belum beranjak dari level Rp 14.300-an per dollar AS. Mengapa? Ada dua penjelasan.

Pertama, pasar finansial dunia masih melanjutkan tren memberi sentimen positif terhadap perekonomian Amerika Serikat (AS). Apa pun indikator ekonomi AS yang berbau membaik langsung direspons dengan ”memegang” erat-erat dollar AS. Hanya sepenggal pernyataan Janet Yellen, bos The Fed, bahwa dia tetap berencana menaikkan suku bunga yang kini 0,25 persen menjadi 0,5 persen saja, sudah membuat pontang-panting pasar.

Belakangan ini juga muncul fenomena baru, indikator penyerapan tenaga kerja baru (non-farm payroll) juga sanggup membangkitkan euforia. Indikator lain yang juga dipantau adalah penjualan mobil.

Oleh karena itu, ketika pekan lalu terungkap angka pengangguran di AS terus menurun pesat menjadi 5,1 persen, atau hanya separuh dari posisi terjelek 10 persen (2009), respons positif pun mengalir ke dollar AS. Indeks saham di New York pun berangsur menghijau ke 16.433.

Perilaku pasar finansial yang sedemikian sensitif tersebut merupakan konsekuensi dari peristiwa sebelumnya, yakni Pemerintah AS memompa likuiditas dollar AS melalui kebijakan tiga kali pelonggaran likuiditas (quantitative easing) pada 2009, 2011, dan 2013. Jumlah peredaran dollar AS ke seluruh dunia bertambah 4,2 triliun dollar AS, atau signifikan jika dibandingkan dengan produk domestik brutonya 17,5 triliun dollar AS.

Melimpahnya peredaran dollar AS inilah yang merisaukan Yellen. Sesuai teori John Maynard Keynes (1936), tingginya uang yang beredar rawan menimbulkan tindak spekulasi. Karena itulah, Yellen berniat menaikkan suku bunga AS, untuk meminimalkan kemungkinan spekulasi.

Sayangnya, menaikkan suku bunga bisa menimbulkan implikasi negatif bagi AS, yakni dollar AS akan menguat lagi sehingga menurunkan daya saingnya. Ini pasti tidak dimaui AS, apalagi di saat Pemerintah Tiongkok sudah nekat melakukan devaluasi yuan.

Berdasarkan analisis tersebut, tampaknya perekonomian dunia masih akan terombang-ambing oleh bergeraknya likuiditas global ke sana kemari. Secara umum, likuiditas itu bergerak menuju ke New York, ibaratnya ”dollar AS pulang kandang”. Namun, jika itu terus-menerus terjadi, pasti akan terjadi koreksi. Indeks saham Dow Jones yang pernah mencapai 18.300 pernah pula terjerembap hingga 15.800. Saya menduga ayun-ayunan semacam ini masih akan terus berlangsung. Tidak mudah untuk segera mencapai titik ekuilibrium yang permanen.

Kedua, kebijakan deregulasi yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia baru akan memberi dampak jangka menengah dan panjang. Kita tidak bisa segera berharap solusi instan, misalnya rupiah mendadak menguat hingga Rp 13.000 per dollar AS, atau bahkan lebih kuat lagi.

Pada saat ini, kita tengah menghadapi persoalan struktural-fundamental yang tidak bisa segera diubah, yakni struktur ekspor yang bias ke arah komoditas primer serta sektor manufaktur yang lemah sehingga sensitif terhadap impor. Ketika masyarakat kelas menengah tumbuh cepat, ternyata kita kedodoran. Sektor manufaktur kita tidak mampu melakukan swasembada sehingga harus mengimpor, baik barang-barang konsumsi, barang modal, barang setengah jadi, maupun barang input. Inilah yang menimbulkan defisit perdagangan dan transaksi berjalan menganga lebar.

Berbagai paket kebijakan deregulasi yang diluncurkan pemerintah sudah tepat, tetapi kita tidak bisa serta-merta menuai hasilnya. Misalnya, warga asing boleh membuka rekening di bank-bank nasional, lalu pembebasan visa bagi puluhan negara. Ini semua berpotensi mengalirkan dana asing masuk. Namun, kapan? Saya duga dampaknya paling cepat baru terasa pada akhir tahun ini.

Kebijakan memberikan pembebasan pajak (tax holiday) bagi sektor-sektor pionir juga hal yang baik. Isu ini dulu termasuk sensitif. Padahal esensinya adalah, kita memberikan apresiasi kepada para investor yang berani ”pasang badan” memasuki sektor-sektor yang belum terjamah, padahal potensial.

Dalam pertemuan kedua para ekonom dengan Presiden Joko Widodo, saya menangkap kesan bahwa beliau paham betul bahwa kita perlu mendorong industrialisasi besar-besaran. Karena itu, proyek-proyek infrastruktur harus dikebut. Caranya, Presiden terus-menerus memonitornya, tidak cuma sebatas peletakan batu pertama.

Ibarat seorang petani, pemerintah sekarang memang harus terus menanam agar menuai panenannya kelak. Tidak ada solusi instan dalam kasus gonjang-ganjing perekonomian dunia ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar