Persepsi Negatif dan Kekuatan Komunikasi
Anton Hendranata ; Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia
Tbk
|
KOMPAS,
15 September 2015
Dalam situasi ekonomi
melambat dan kental persepsi negatif, komunikasi yang buruk dalam menjelaskan
kondisi ekonomi dan mitigasinya berpotensi menambah beban tekanan terhadap
perekonomian yang sedang sulit.
Sungguh sangat
disayangkan ketika suatu perekonomian masih dalam lampu kuning dipersepsikan
masuk dalam zona merah membahayakan. Defisit kepercayaan dan persepsi negatif
yang cenderung berlebihan atau sengaja didramatisasi bisa menambah tekanan
ekonomi yang sedang lesu. Sebaliknya, persepsi positif dan tingkat
kepercayaan yang baik bisa jadi energi tambahan untuk keluar dari situasi
perekonomian melambat agar tak terperangkap kian parah.
Oleh karena itu,
menjadi suatu keharusan bagi pemerintah, Bank Indonesia (BI), dan Otoritas
Jasa Keuangan untuk melakukan komunikasi yang efektif dan mumpuni ke pelaku
pasar agar menjadi tenang dan tak bereaksi negatif berlebihan (irasional).
Kredibilitas pemerintahan dan otoritas moneter menjadi kunci untuk
membalikkan keadaan yang diliputi ketakutan yang tidak pada tempatnya.
Melihat pertumbuhan
ekonomi yang hanya 4,7 persen pada semester I-2015 dan rupiah yang sudah di
atas Rp 14.000 per dollar AS, wajar jika masyarakat dan pelaku ekonomi resah.
Muncul pertanyaan, akankah perekonomian Indonesia lebih parah dari krisis
ekonomi dunia 2008 atau bahkan krisis 1997/1998? Saat ini, suara sumbang
tampaknya lebih mendominasi, seolah tak ada sisi positif yang dimiliki
pemerintah. Memang tak adil, tetapi itulah kenyataan. Modal asing cenderung
keluar dari Indonesia lewat pasar saham dan obligasi.
Situasi makin berat
karena investor domestik juga cenderung prosiklikal, mengikuti apa yang telah
dilakukan asing. Akibatnya harga aset finansial Indonesia terkoreksi cukup
dalam, terutama di saham, karena ekspektasi pertumbuhan yang terus melambat.
Menarik diteliti, apakah Indonesia memang layak ditinggalkan investor asing,
yang diikuti investor domestik? Sangat mengkhawatirkankah kondisi
perekonomian Indonesia? Rasanya kecil kemungkinan kita kembali ke krisis
ekonomi dan moneter 1997/1998. Mungkin lebih masuk akal kondisi perekonomian
sekarang mendekati krisis ekonomi global 2008, itupun dalam perspektif
berbeda.
Aspek positif
Ada beberapa hal yang
relatif positif atau baik yang bisa jadi alasan untuk tak pesimistis dan
menambah tekanan dalam situasi pasar yang cukup berat ini.
Pertama, pemerintahan
Jokowi-JK terbebas dari sandera subsidi BBM per 1 Januari 2015. Subsidi ini
selama ini selalu menjadi beban dan ganjalan berat APBN setiap tahun. Subsidi
bensin dicabut dan pemerintah hanya memberikan subsidi tetap Rp 1.000 per
liter untuk solar. Pemerintah dapat menghemat sekitar Rp 212 triliun dari
kebijakan ini, yang diharapkan bisa jadi modal untuk mengejar ketertinggalan
pembangunan infrastruktur.
Kedua, secara nominal
rupiah sudah menembus level Rp 14.000 per dollar AS atau lebih lemah
dibandingkan November 2008 yang Rp 12.650 per dollar AS. Tak heran ada yang
berpendapat perekonomian Indonesia lebih parah dibandingkan krisis ekonomi
2008. Namun, perlu ditekankan, tren pelemahan rupiah saat ini terjadi secara
perlahan dan gradual. Perlu waktu lama, yaitu empat tahun, untuk mencapai
level Rp 14.000-an. Dalam tahun ini, selama delapan bulan pertama rupiah
melemah 12 persen, jauh lebih rendah dibandingkan krisis 1997/1998 dan 2008.
Pada saat krisis
ekonomi dan moneter 1997/1998, rupiah melemah sekitar 572 persen dari Rp
2.477 per dollar AS menjadi Rp 16.650 per dollar AS pada 17 Juni 1998 hanya
dalam 11 bulan. Kemudian, pada saat krisis ekonomi global 2008, rupiah
melemah 38 persen hanya dalam waktu tiga bulan, dari Rp 9.153 per dollar AS
menjadi Rp 12.650 per dollar AS pada 24 November 2008.
Ketiga, pertumbuhan
ekonomi yang menurun dari 4,72 persen (kuartal I-2015) ke 4,67 persen
(kuartal II-2015). Sebenarnya tak lebih buruk dibandingkan 2009 yang tumbuh
4,6 persen, apalagi dibandingkan krisis ekonomi 1998, yang tumbuh-13,1
persen. Perlambatan ekonomi tahun ini tidak terlepas dari lemahnya pemulihan
ekonomi global, terutama ancaman perlambatan ekonomi Tiongkok.
Keempat, cadangan
devisa 2015 jauh lebih tinggi (105,3 miliar dollar AS per Agustus 2015), dua
kali lipat dibandingkan 2008 (51,6 miliar dollar AS). Kalaupun cadangan
devisa turun di bawah 100 miliar dollar AS, itu untuk menstabilkan rupiah.
Saya kira tak perlu jadi pemicu sentimen negatif. Sayangnya, muncul stigma di
masyarakat bahwa cadangan devisa di bawah 100 miliar dollar AS akan buruk
buat perekonomian Indonesia.
Kelima, indikator yang
mencerminkan risiko buat investor asing, yaitu credit default swap (CDS) 5 tahun. Investor asing masih merasa
aman berinvestasi di Indonesia, terlihat dari CDS 5 tahun yang masih wajar,
yaitu 2,43 persen per 2 September 2015. CDS ini jauh lebih rendah
dibandingkan 2008 yang 12,48 persen per 24 Oktober 2008.
Keenam, inflasi 2015
kemungkinan di kisaran 4,5 persen, jauh lebih rendah dibandingkan 2008 dan
1998, masing-masing 9,8 dan 58,0 persen. Suku bunga acuan BI 2015, walaupun
dirasakan tinggi, yaitu 7,50 persen, ternyata masih di bawah suku bunga acuan
BI 2008, yaitu 9,50 persen (November 2008) dan suku bunga sertifikat Bank
Indonesia sebesar 58,7 persen (Oktober 1998).
Ketujuh, berkaitan
dengan sektor perbankan, tampaknya kondisi 2015 lebih sehat dibandingkan
krisis ekonomi global 2008, apalagi krisis 1998. Kredit bermasalah (NPL) 2015
tercatat 2,6 persen, lebih rendah dibandingkan 2008 dan 1998 masing-masing
3,8 dan 30,0 persen. Pada 2008, banyak perbankan yang terkena kasus derivatif
akibatnya secara mendadak mengalami kerugian besar dan sangat menggerus aset
pada waktu itu. Sementara tahun ini, ancaman di perbankan hanya terkait
dengan anjloknya harga komoditas ekspor primer yang menyebabkan tingginya NPL
di sektor ini.
Aspek negatif
Di luar ketujuh hal
positif tersebut, memang ada beberapa hal negatif yang mewarnai perekonomian
domestik. Pertama, defisit transaksi berjalan yang terjadi sejak kuartal
IV-2011 sampai kuartal II-2015. Defisit ini memang terlihat buruk
dibandingkan 2008 dan 1998. Memang sudah ada usaha menurunkan defisit ini,
lewat pengereman laju ekonomi melalui kenaikan suku bunga. Sayangnya, hal itu
berujung pada pertumbuhan ekonomi yang terlalu lambat.
Kedua, utang luar
negeri (ULN) 2015 (posisi Juni 2015) meningkat sangat pesat dibandingkan
2008, terutama ULN swasta. Dalam kurun tujuh tahun, ULN swasta meningkat 148
persen, jauh di atas ULN pemerintah 55 persen. Sebagian besar utang
didominasi dollar AS, yang cenderung meningkat. Tahun 2015, porsi utang dalam
dollar AS sebesar 72 persen, lebih tinggi dibandingkan 2008 yang 60 persen.
Namun, kalau dilihat dari rasio ULN terhadap cadangan devisa 2015 sebesar
2,8, lebih rendah dibandingkan 2008 yang tercatat sebesar 3,0.
Ketiga, buruknya
persepsi terhadap pertumbuhan ekonomi yang melambat pada 2015 terlihat dari
keluarnya modal asing, terutama di saham. Selama periode Januari-Agustus
2015, arus modal asing yang keluar Rp 7,2 triliun. Sebaliknya, pada periode
sama 2008, aliran modal asing masih masuk Rp 4,5 triliun.
Jangan terjebak
Berdasarkan paparan
fakta-fakta tersebut, secara relatif lebih banyak sisi positif dibandingkan
negatifnya. Kalaupun kita titik beratkan pada sisi negatif, melalui keluarnya
modal asing di saham, seharusnya tak perlu direspons dan ditakuti secara
berlebihan. Biasanya, arus keluar modal asing bersifat sementara. Pengalaman
krisis 1998 yang sangat parah, arus modal asing yang keluar hanya terjadi
empat bulan, yaitu April-Juni dan September 1998. Setelah itu, investor asing
akan masuk kembali untuk berburu dan membeli saham Indonesia yang harganya
anjlok. Begitu juga dengan krisis global 2008, hanya dua bulan nilai beli
bersih asing tercatat negatif (Rp 445 miliar dan Rp 895 miliar pada Juni dan
Juli).
Oleh karena itu,
jangan mau terintimidasi atau merasa takut dengan gaya investor asing karena
hal ini bisa membawa negara kita semakin terjebak dalam posisi sulit.
Investor asing mungkin selalu berusaha memberikan sentimen negatif agar aset
finansial Indonesia semakin murah. Jadi, tidak pada tempatnya kita sebagai
bangsa ikut terlibat menghantui sehingga makin menekan rupiah, pasar saham,
dan obligasi RI. Alangkah lebih baik investor domestik bertindak
kontrasiklikal (bukan prosiklikal), berlawanan dengan apa yang dilakukan
investor asing.
Dalam kondisi seperti
ini, peranan komunikasi pemerintah dan otoritas moneter menjadi kunci untuk
dapat meredam dan melawan isu negatif. Tak hanya wacana dan rencana yang
disampaikan untuk memitigasi perlambatan ekonomi yang ada. Pada saat ini,
rakyat sangat merindukan hasil nyata, terutama pengeluaran pemerintah yang
berkaitan dengan pembangunan infrastruktur. Kelihaian dan kecerdikan
pemerintah menjaga stabilitas harga, terutama kebutuhan pokok, juga sangat
diperlukan agar daya beli masyarakat tak kian tergerus. Tak kalah penting,
mencegah agar tak terjadi PHK massal melalui stimulus dan kebijakan fiskalnya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar