Rabu, 16 September 2015

Persepsi Negatif dan Kekuatan Komunikasi

Persepsi Negatif dan Kekuatan Komunikasi

Anton Hendranata  ;  Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia Tbk
                                                     KOMPAS, 15 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam situasi ekonomi melambat dan kental persepsi negatif, komunikasi yang buruk dalam menjelaskan kondisi ekonomi dan mitigasinya berpotensi menambah beban tekanan terhadap perekonomian yang sedang sulit.

Sungguh sangat disayangkan ketika suatu perekonomian masih dalam lampu kuning dipersepsikan masuk dalam zona merah membahayakan. Defisit kepercayaan dan persepsi negatif yang cenderung berlebihan atau sengaja didramatisasi bisa menambah tekanan ekonomi yang sedang lesu. Sebaliknya, persepsi positif dan tingkat kepercayaan yang baik bisa jadi energi tambahan untuk keluar dari situasi perekonomian melambat agar tak terperangkap kian parah.

Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan bagi pemerintah, Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan komunikasi yang efektif dan mumpuni ke pelaku pasar agar menjadi tenang dan tak bereaksi negatif berlebihan (irasional). Kredibilitas pemerintahan dan otoritas moneter menjadi kunci untuk membalikkan keadaan yang diliputi ketakutan yang tidak pada tempatnya.

Melihat pertumbuhan ekonomi yang hanya 4,7 persen pada semester I-2015 dan rupiah yang sudah di atas Rp 14.000 per dollar AS, wajar jika masyarakat dan pelaku ekonomi resah. Muncul pertanyaan, akankah perekonomian Indonesia lebih parah dari krisis ekonomi dunia 2008 atau bahkan krisis 1997/1998? Saat ini, suara sumbang tampaknya lebih mendominasi, seolah tak ada sisi positif yang dimiliki pemerintah. Memang tak adil, tetapi itulah kenyataan. Modal asing cenderung keluar dari Indonesia lewat pasar saham dan obligasi.

Situasi makin berat karena investor domestik juga cenderung prosiklikal, mengikuti apa yang telah dilakukan asing. Akibatnya harga aset finansial Indonesia terkoreksi cukup dalam, terutama di saham, karena ekspektasi pertumbuhan yang terus melambat. Menarik diteliti, apakah Indonesia memang layak ditinggalkan investor asing, yang diikuti investor domestik? Sangat mengkhawatirkankah kondisi perekonomian Indonesia? Rasanya kecil kemungkinan kita kembali ke krisis ekonomi dan moneter 1997/1998. Mungkin lebih masuk akal kondisi perekonomian sekarang mendekati krisis ekonomi global 2008, itupun dalam perspektif berbeda.

Aspek positif

Ada beberapa hal yang relatif positif atau baik yang bisa jadi alasan untuk tak pesimistis dan menambah tekanan dalam situasi pasar yang cukup berat ini.

Pertama, pemerintahan Jokowi-JK terbebas dari sandera subsidi BBM per 1 Januari 2015. Subsidi ini selama ini selalu menjadi beban dan ganjalan berat APBN setiap tahun. Subsidi bensin dicabut dan pemerintah hanya memberikan subsidi tetap Rp 1.000 per liter untuk solar. Pemerintah dapat menghemat sekitar Rp 212 triliun dari kebijakan ini, yang diharapkan bisa jadi modal untuk mengejar ketertinggalan pembangunan infrastruktur.

Kedua, secara nominal rupiah sudah menembus level Rp 14.000 per dollar AS atau lebih lemah dibandingkan November 2008 yang Rp 12.650 per dollar AS. Tak heran ada yang berpendapat perekonomian Indonesia lebih parah dibandingkan krisis ekonomi 2008. Namun, perlu ditekankan, tren pelemahan rupiah saat ini terjadi secara perlahan dan gradual. Perlu waktu lama, yaitu empat tahun, untuk mencapai level Rp 14.000-an. Dalam tahun ini, selama delapan bulan pertama rupiah melemah 12 persen, jauh lebih rendah dibandingkan krisis 1997/1998 dan 2008.

Pada saat krisis ekonomi dan moneter 1997/1998, rupiah melemah sekitar 572 persen dari Rp 2.477 per dollar AS menjadi Rp 16.650 per dollar AS pada 17 Juni 1998 hanya dalam 11 bulan. Kemudian, pada saat krisis ekonomi global 2008, rupiah melemah 38 persen hanya dalam waktu tiga bulan, dari Rp 9.153 per dollar AS menjadi Rp 12.650 per dollar AS pada 24 November 2008.

Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang menurun dari 4,72 persen (kuartal I-2015) ke 4,67 persen (kuartal II-2015). Sebenarnya tak lebih buruk dibandingkan 2009 yang tumbuh 4,6 persen, apalagi dibandingkan krisis ekonomi 1998, yang tumbuh-13,1 persen. Perlambatan ekonomi tahun ini tidak terlepas dari lemahnya pemulihan ekonomi global, terutama ancaman perlambatan ekonomi Tiongkok.

Keempat, cadangan devisa 2015 jauh lebih tinggi (105,3 miliar dollar AS per Agustus 2015), dua kali lipat dibandingkan 2008 (51,6 miliar dollar AS). Kalaupun cadangan devisa turun di bawah 100 miliar dollar AS, itu untuk menstabilkan rupiah. Saya kira tak perlu jadi pemicu sentimen negatif. Sayangnya, muncul stigma di masyarakat bahwa cadangan devisa di bawah 100 miliar dollar AS akan buruk buat perekonomian Indonesia.

Kelima, indikator yang mencerminkan risiko buat investor asing, yaitu credit default swap (CDS) 5 tahun. Investor asing masih merasa aman berinvestasi di Indonesia, terlihat dari CDS 5 tahun yang masih wajar, yaitu 2,43 persen per 2 September 2015. CDS ini jauh lebih rendah dibandingkan 2008 yang 12,48 persen per 24 Oktober 2008.

Keenam, inflasi 2015 kemungkinan di kisaran 4,5 persen, jauh lebih rendah dibandingkan 2008 dan 1998, masing-masing 9,8 dan 58,0 persen. Suku bunga acuan BI 2015, walaupun dirasakan tinggi, yaitu 7,50 persen, ternyata masih di bawah suku bunga acuan BI 2008, yaitu 9,50 persen (November 2008) dan suku bunga sertifikat Bank Indonesia sebesar 58,7 persen (Oktober 1998).

Ketujuh, berkaitan dengan sektor perbankan, tampaknya kondisi 2015 lebih sehat dibandingkan krisis ekonomi global 2008, apalagi krisis 1998. Kredit bermasalah (NPL) 2015 tercatat 2,6 persen, lebih rendah dibandingkan 2008 dan 1998 masing-masing 3,8 dan 30,0 persen. Pada 2008, banyak perbankan yang terkena kasus derivatif akibatnya secara mendadak mengalami kerugian besar dan sangat menggerus aset pada waktu itu. Sementara tahun ini, ancaman di perbankan hanya terkait dengan anjloknya harga komoditas ekspor primer yang menyebabkan tingginya NPL di sektor ini.

Aspek negatif

Di luar ketujuh hal positif tersebut, memang ada beberapa hal negatif yang mewarnai perekonomian domestik. Pertama, defisit transaksi berjalan yang terjadi sejak kuartal IV-2011 sampai kuartal II-2015. Defisit ini memang terlihat buruk dibandingkan 2008 dan 1998. Memang sudah ada usaha menurunkan defisit ini, lewat pengereman laju ekonomi melalui kenaikan suku bunga. Sayangnya, hal itu berujung pada pertumbuhan ekonomi yang terlalu lambat.

Kedua, utang luar negeri (ULN) 2015 (posisi Juni 2015) meningkat sangat pesat dibandingkan 2008, terutama ULN swasta. Dalam kurun tujuh tahun, ULN swasta meningkat 148 persen, jauh di atas ULN pemerintah 55 persen. Sebagian besar utang didominasi dollar AS, yang cenderung meningkat. Tahun 2015, porsi utang dalam dollar AS sebesar 72 persen, lebih tinggi dibandingkan 2008 yang 60 persen. Namun, kalau dilihat dari rasio ULN terhadap cadangan devisa 2015 sebesar 2,8, lebih rendah dibandingkan 2008 yang tercatat sebesar 3,0.

Ketiga, buruknya persepsi terhadap pertumbuhan ekonomi yang melambat pada 2015 terlihat dari keluarnya modal asing, terutama di saham. Selama periode Januari-Agustus 2015, arus modal asing yang keluar Rp 7,2 triliun. Sebaliknya, pada periode sama 2008, aliran modal asing masih masuk Rp 4,5 triliun.

Jangan terjebak

Berdasarkan paparan fakta-fakta tersebut, secara relatif lebih banyak sisi positif dibandingkan negatifnya. Kalaupun kita titik beratkan pada sisi negatif, melalui keluarnya modal asing di saham, seharusnya tak perlu direspons dan ditakuti secara berlebihan. Biasanya, arus keluar modal asing bersifat sementara. Pengalaman krisis 1998 yang sangat parah, arus modal asing yang keluar hanya terjadi empat bulan, yaitu April-Juni dan September 1998. Setelah itu, investor asing akan masuk kembali untuk berburu dan membeli saham Indonesia yang harganya anjlok. Begitu juga dengan krisis global 2008, hanya dua bulan nilai beli bersih asing tercatat negatif (Rp 445 miliar dan Rp 895 miliar pada Juni dan Juli).

Oleh karena itu, jangan mau terintimidasi atau merasa takut dengan gaya investor asing karena hal ini bisa membawa negara kita semakin terjebak dalam posisi sulit. Investor asing mungkin selalu berusaha memberikan sentimen negatif agar aset finansial Indonesia semakin murah. Jadi, tidak pada tempatnya kita sebagai bangsa ikut terlibat menghantui sehingga makin menekan rupiah, pasar saham, dan obligasi RI. Alangkah lebih baik investor domestik bertindak kontrasiklikal (bukan prosiklikal), berlawanan dengan apa yang dilakukan investor asing.

Dalam kondisi seperti ini, peranan komunikasi pemerintah dan otoritas moneter menjadi kunci untuk dapat meredam dan melawan isu negatif. Tak hanya wacana dan rencana yang disampaikan untuk memitigasi perlambatan ekonomi yang ada. Pada saat ini, rakyat sangat merindukan hasil nyata, terutama pengeluaran pemerintah yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur. Kelihaian dan kecerdikan pemerintah menjaga stabilitas harga, terutama kebutuhan pokok, juga sangat diperlukan agar daya beli masyarakat tak kian tergerus. Tak kalah penting, mencegah agar tak terjadi PHK massal melalui stimulus dan kebijakan fiskalnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar