Dijamin Mutu atau Dijamin Lulus?
Amirullah ;
Dosen Universitas Bhayangkara Surabaya; Mahasiswa S-3 ITS Surabaya
|
JAWA
POS, 23 September 2015
PENYELENGGARAAN perkuliahan secara abnormal
kembali mengemuka. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
(Kemenristek-Dikti) menggerebek wisuda ilegal yang diikuti 1.235 orang pada
Sabtu (19/9) di Universitas Terbuka Convention Center Pondok Labu, Ciputat,
Tangerang.
Wisudawan merupakan gabungan dari tiga kampus.
Yakni, Sekolah Tinggi Teknologi (STT) Telematika, Sekolah Tinggi Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (STKIP) Suluh Bangsa, dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT)
Tangerang Raya. Tiga kampus tersebut berada di bawah naungan Yayasan Aldiana
Nusantara. Penyelenggaraan wisuda dianggap tidak sah karena tidak didaftarkan
ke Kopertis III (kepanjangan tangan Kemenristek-Dikti) sebagai syarat wajib
untuk mendapatkan nomor ijazah bagi calon wisudawan ( Jawa Pos, 20/9/2015).
Sebelumnya, pada akhir Mei 2015, praktik jual
beli ijazah ditemukan langsung oleh Menristek Dikti M. Nasir ketika melakukan
kunjungan mendadak ke belasan kampus di Jabodetabek. Salah satu modusnya
adalah meluluskan mahasiswa yang baru kuliah 16 SKS. Kampus tersebut hanya
mensyaratkan mahasiswanya kuliah satu atau dua semester.
Harga ijazah S-1 berkisar Rp 16 juta–Rp 25
juta. Harga ijazah S-2 dua kali lipat. Jauh sebelumnya, permasalahan serupa
menimpa seorang penyanyi dangdut atas gelar profesor dari perguruan tinggi
kelas jauh berbasis di Amerika Serikat.
Padahal, sudah ada regulasi sanksi pidana bagi
penggunaan gelar akademisi yang tidak sesuai. Hal itu diatur dalam pasal 68
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Di dalam ayat 2 dan 4 pasal
tersebut disebutkan, ”Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat
kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari
satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana
penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Di dalam ayat 4 pasal 68 disebutkan, ”Setiap
orang yang memperoleh dan/ atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak
sesuai dengan pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
Secara umum, ada dua kategori penyelenggaraan
pendidikan tinggi di Indonesia. Kategori pertama adalah penyelenggaraan
pendidikan tinggi dengan jaminan mutu. Mekanisme pendidikan dan gelar
akademik yang diraih ditempuh dengan mekanisme yang wajar. Wajar yang
dimaksud adalah adanya garansi bahwa pemakai gelar telah menyelesaikan
seluruh kewajiban akademik (perkuliahan, tugas, praktikum, praktik, skripsi,
tesis, ataupun disertasi) dan ditempuh dalam rentang waktu studi minimal dan
maksimal yang dipersyaratkan di perguruan tinggi atau program studi (prodi)
terakreditasi.
Kategori kedua adalah penyelenggaraan
pendidikan tinggi dengan jaminan lulus. Kondisi tersebut dipicu oleh
antusiasme masyarakat untuk mendapatkan gelar dan kemudian dimanfaatkan
segelintir oknum lembaga pendidikan tinggi sebagai peluang untuk menawarkan
gelar. Meskipun gelar tersebut diperoleh dengan cara secepat mungkin.
Tentunya juga ada beragam janji, fasilitas, dan kemudahan.
Kemudahan dapat berbentuk dispensasi atau
pembebasan kewajiban akademik. Misalnya, mahasiswa tidak harus bersusah payah
mengikuti perkuliahan, ujian, menyusun dan mempertahankan skripsi, tesis
ataupun disertasi, serta adanya jaminan nilai dan indeks prestasi kumulatif
(IPK) memuaskan. Kemudahan tersebut diperparah dengan adanya garansi lulus
kepada para mahasiswa.
Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi (Dikti) No. 810/ D/T/2003 tanggal 16 April 2003 menyebutkan,
setidaknya terdapat 22 lembaga pendidikan ilegal di Indonesia yang umumnya
memakai istilah asing dan memberikan gelar. Istilah asing ini, misalnya,
lembaga pendidikan berlabel; international university, world university,
global university, distance learning institute, American institute, western
university, dsb.
Undang-Undang (UU) No 20/2003 tentang
Sisdiknas menggariskan bahwa penggunaan gelar tertentu hanya pantas digunakan
dalam tataran akademik. Jadi, paradigma bahwa gelar akademik dapat
melambungkan status sosial seseorang harus diubah. Contohnya, gelar doktor
(S-3) atau profesor (guru besar) hanya relevan jika para penyandangnya
mengajar di kampus.
Berkaca pada perundangan di atas, sudah
sepatutnya para elite birokrat, politisi, anggota DPR/DPRD, calon kepala
daerah, artis, dan para pemakai gelar lainnya tidak menggunakan atribut
akademik yang tidak relevan dengan kompetensi, jabatan dan kedudukannya.
Seandainya cara ini diikuti, niscaya masyarakat tidak perlu tergila-gila
mengejar titel akademik.
Kopertis sebagai penghubung PTS dengan Dikti
juga bertanggung jawab melakukan pembinaan dan pengawasan total terhadap PTS
karena mayoritas pelanggaran atau penyimpangan pemberian gelar terjadi di
PTS. Pejabat kopertis sebaiknya tidak menghadiri undangan wisuda oleh PTS
yang diindikasikan menyelenggarakan pendidikan tinggi melanggar etika
akademik.
Kehadiran pejabat negara pada seremonial ini dikhawatirkan menjadi
justifikasi pembenar bahwa kopertis mengakui semua proses penyelenggaraan
pendidikan sekaligus ijazah yang diterbitkan PTS tersebut. Jika semua upaya
simultan itu sudah dilakukan, masyarakat tinggal memilih mau kuliah di PT
yang dijamin mutu atau dijamin lulus? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar