Ketika Berbeda, Tengoklah Arafah
Agus Mustofa ;
Penulis Buku-Buku Tasawuf Modern;
Inisiator Rukyat Astrofotografi
Indonesia
|
JAWA
POS, 22 September 2015
PERAYAAN Idul Adha tahun ini dipastikan
berbeda. Muhammadiyah jauh-jauh hari sudah mengumumkan bahwa Hari Raya Idul
Adha jatuh pada Rabu, 23 September. Sedangkan pemerintah, melalui sidang
isbat (13/9), mengumumkan bahwa Idul Adha dilaksanakan pada Kamis, 24
September 2015. Dan Nahdlatul Ulama (NU), berdasar rukyatnya, menetapkan Idul
Adha sama dengan pemerintah.
Meskipun reaksi masyarakat tidak seheboh
tahun-tahun lalu, umat masih terus bertanya-tanya mengapa perbedaan ini masih
terus terjadi. Dan yang lebih penting, bagaimana seharusnya perbedaan itu
bisa diselesaikan secara mendasar sehingga berlaku permanen dalam jangka
panjang. Ketika perbedaan kriteria secara akademis masih belum juga bisa
disamakan, kembali mengacu pada sunah Rasulullah SAW adalah jalan yang
terbaik.
Suatu ketika Rasulullah ditanya tentang
pelaksanaan puasa Arafah dan Hari Raya Idul Adha. Beliau memberikan jawaban
sebagai berikut. ”Berbuka kalian adalah di hari kalian berbuka, penyembelihan
kalian adalah di hari kalian menyembelih, dan Arafah kalian adalah di HARI
kalian melakukan WUKUF di Padang Arafah.” [Diriwayatkan AsySyaafi’iy dalam
Al-Umm 1/230 dan Al-Baihaqiy 5/176; sahih dari ’Athaa’ secara mursal. Lihat
Shahiihul-Jaami’ no 4224]
Poin penting hadis di atas terkait dengan apa
yang sedang kita bahas adalah menjadikan hari wukuf sebagai pedoman untuk
melakukan puasa Arafah. Hal ini dipertegas Lajnah Daimah alias Komite Fatwa
dan Penelitian Ilmiah Arab Saudi.
”Hari Arafah adalah hari di mana kaum
muslimin melakukan wukuf di Arafah. Puasa Arafah dianjurkan bagi orang yang
tidak melakukan haji. Karena itu, jika Anda ingin puasa Arafah, maka Anda
bisa melakukan puasa di hari itu (hari wukuf). Dan jika Anda puasa SEHARI
SEBELUMNYA, tidak masalah (BOLEH).” (Fatwa Lajnah Daimah no 4052)
Itulah sebabnya, dalam sejumlah hadis
diceritakan berkali-kali keterkaitan antara puasa Arafah dan wukuf di Padang
Arafah. Dari Ummul-Fadhl binti Al-Haarits: Bahwasanya orang-orang berdebat di
sisinya pada hari Arafah tentang puasa Nabi SAW. Sebagian dari mereka
berkata: ”Beliau berpuasa.” Sebagian lain berkata: ”Beliau tidak berpuasa.” Lalu
aku (Ummul-Fadhl) mengirimkan ke- pada beliau satu wadah yang berisi susu
ketika beliau sedang wukuf di atas untanya. Maka beliau meminumnya.” [HR
Bukhari no 1988 dan Muslim no 1123]
Selain itu, At-Tirmidziy Rahimahullah berkata:
”Para ulama menyenangi puasa di hari Arafah, kecuali jika berada di Arafah
(melaksanakan wukuf haji).” [ Sunan At-Tirmidziy, 2/116]
Dari berbagai hadis dan penjelasan di atas,
tidak bisa dimungkiri, puasa Arafah terkait erat dengan pelaksanaan wukuf di
Padang Arafah. Termasuk waktu penyembelihan kurban. Semua itu tidak terlepas
dari ritual ibadah haji di Tanah Suci.
Lantas, bagaimana menjelaskan catatan sejarah
bahwa Rasulullah sudah berpuasa Arafah sebelum adanya wukuf di Arafah? Secara
kaidah fikih tidak menjadi masalah. Bahwa sesuatu yang dihukumkan paling
akhir adalah menjadi penjelas dan penentu bagi hukum yang terdahulu.
Jadi, bisa saja awalnya puasa Arafah itu tidak
terkait dengan tempat dan peristiwa wukuf. Tapi, di akhir-akhir masa
kenabian, Rasulullah menegaskan –agar tidak terjadi perselisihan– bahwa hari
Arafah adalah hari ketika jamaah haji sedang wukuf di Arafah. Dan sunah yang
terakhir itulah yang semestinya diikuti umat Islam di seluruh dunia.
Lantas, bagaimana wilayah-wilayah yang
berjauhan dengan Makkah? Rasulullah memerintahkan mengikuti keputusan
penguasa Makkah meskipun beliau tinggal di Madinah sebagai pusat pemerintahan
waktu itu. Hal tersebut bisa disimpulkan dari hadis berikut.
Husain bin Al-Harts Al-Jadaliy pernah berkata:
”Bahwasanya pemimpin Kota Makkah pernah berkhotbah, lalu berkata: ’Rasulullah
SAW telah berpesan kepada kami agar kami (mulai) menyembelih berdasarkan
rukyat. Jika kami tidak melihatnya, namun dua orang saksi adil menyaksikan
(hilal), maka kami mulai menyembelih berdasarkan persaksian mereka berdua….”
[Diriwayatkan Abu Dawud no 2338; sahih]
Hadis tersebut menunjukkan kepada kita bahwa
Rasulullah yang berdiam di Kota Madinah memerintah penguasa Kota Makkah untuk
melakukan rukyat sebagai rujukan penetapan datangnya Idul Adha. Kota Madinah
saat itu berjarak sekitar seminggu perjalanan naik kuda.
Tidak menjadi masalah karena Idul Adha adalah
hari kesepuluh Zulhijah. Dan yang lebih substansial, sesungguhnya seluruh
peribadatan yang terkait dengan Idul Adha dan puasa Arafah memang seharusnya
mengacu pada peristiwa haji di Kota Makkah. Ini adalah Hari Raya Haji.
Bisa dibayangkan, jika saat itu Rasulullah
memerintahkan agar setiap kota di mana umat Islam berada mengadakan sendiri
Idul Adha dan puasanya, padahal pemimpinnya satu, yaitu Rasulullah. Maka,
umat Islam akan menjadi terkotak-kotak seperti sekarang. Nabi tidak melakukan
pengotak-ngotakan itu, namun memerintahkan agar semuanya mengacu ke Kota
Makkah sebagai lokasi penyelenggaraan haji. Wallahu a’lam bis-sawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar