Pilkada dan Akuntabilitas
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan
Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN
SINDO, 05 Agustus 2015
Minggu ini kita menyaksikan dua
kejadian politik yang ekstrem sekaligus menarik untuk dicermati. Pertama
adalah fenomena pilkada pasangan tunggal di beberapa daerah, dan kedua adalah
ditahannya Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho atas tuduhan korupsi
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua peristiwa itu menimbulkan
potensi kerugian yang sama, yaitu risiko terhambatnya pembangunan karena
kekosongan pemimpin yang dianggap berwenang didaerah tersebut.
Kalaupun ada pemimpin baru yang
lahir, misalnya sebagai calon tunggal atau seorang wakil pejabat daerah yang
naik menggantikan pejabat yang tertangkap karena tuduhan korupsi, maka akan
muncul problem legitimasi yang tidak mustahil rawan konflik, karena mereka
tidak dianggap mewakili aspirasi masyarakat. Kedua peristiwa ini mengingatkan
saya tentang konsep akuntabilitas.
Konsep ini sendiri berasal dari
kata dan praktik akuntansi dalam sistem keuangan. Menurut Boven (2006), kata
akuntabilitas mulai digunakan di luar sistem keuangan dan masuk ke dalam
ranah politik pada saat pemerintahan Raja William I di Inggris. Kata itu
mulai digunakan untuk menilai kinerja pemerintahan.
Ia mencatat bahwa kata
”akuntabilitas” mulai benar-benar dipergunakan dalam wacana pemerintahan dan
politik ketika diperkenalkan oleh pemerintahan konservatif Margaret Thatcher
di Inggris dan dalam program-program Reinventing
Government di bawah pemerintahan Clinton-Gore di Amerika Serikat.
Konsep akuntabilitas kerap dipakai
untuk merujuk pada praktik tata kelola pemerintahan yang bersih. Kata ini
juga dapat dipandang sebagai kata kunci untuk transparency, equity, democracy, efficiency, responsiveness,
responsibility, dan integrity.
Begitu banyaknya kata ini digunakan dalam konteks yang berbeda-beda sehingga
sering kali membingungkan.
Intinya bahwa akuntabilitas adalah
indikator untuk mengukur kinerja pemerintahan. Mereka yang memiliki kekuasaan
harus menjawab pertanyaan masyarakat yang dilayaninya. Masyarakat memberikan
mandat pada negara untuk memungut pajak, merancang anggaran, dan
menggunakannya sesuai dengan peruntukannya. Namun demikian, akuntabilitas itu
memiliki dua mekanisme yaitu akuntabilitas horizontal dan akuntabilitas
vertikal.
Akuntabilitas horizontal terkait
dengan sistem pengawasan yang dilakukan oleh sebuah lembaga pemerintah
terhadap lembaga lain. Dalam kasus ini, lembaga KPK telah melakukan tugasnya
untuk mengawasi lembaga pemerintahan daerah. Namun di kasus yang sama,
Pengadilan Tata Usaha Negara gagal untuk menjembatani pencari keadilan yang
terlibat dalam kasus tersebut.
Akuntabilitas yang lain yaitu
akuntabilitas vertikal adalah pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat sipil
terhadap lembaga-lembaga negara. Masyarakat sipil mengawasi dan memberikan
penilaian apakah sebuah lembaga atau pemerintahan memiliki kinerja yang baik
atau buruk.
Akuntabilitas ini biasanya
digunakan pada saat masyarakat mengikuti pemilihan umum, baik untuk memilih
presiden maupun kepala daerah. Apabila rakyat menilai pemimpin daerahnya
melakukan kinerja yang buruk, masyarakat akan menggantinya dengan pemimpin
yang lain; sebaliknya apabila memiliki kinerja baik maka akan dipilih
kembali.
Masalah timbul ketika sistem atau
model demokrasi tidak sejalan dengan prinsip akuntabilitas vertikal tersebut.
Ini terjadi dalam kasus calon tunggal pasangan yang akan mengikuti pilkada.
Ketiadaan lawan tanding dalam pilkada dapat disebabkan karena adanya
ketidakseimbangan antara demokrasi yang bersifat prosedural dan yang
substantif.
Demokrasi prosedural mengedepankan
mekanisme dan prosedur pemilihan umum sebagai cara menjaga terpenuhinya
pergantian kekuasaan secara damai dan sesuai dengan prinsip-prinsip
keterwakilan. Sementara itu, demokrasi substantif mengedepankan kualitas
keterwakilan yang dimiliki masyarakat untuk mengawal kekuasaan, termasuk
dengan mengutamakan hak-hak masyarakat sipil dan kebebasan berpendapat.
Penguatan demokrasi prosedural
adalah pilihan yang tidak bisa diabaikan ketika sistem demokrasi dianut
melalui proses reformasi. Hal-hal teknis terkait prosedur, aturan main, serta
mekanisme menjadi penting untuk disepakati sebagai dasar penyelenggara-an
demokrasi yang rutin.
Sementara itu, demokrasi
substantif cenderung dikembangkan sebagai norma-norma yang pertamatama
diperkenalkan dahulu pada masyarakat sebelum akhirnya bisa dikembangkan
sesuai kesepakatan umum dalam masyarakat.
Dari dua kasus yang berkembang di
Indonesia tadi, dapat disimpulkan bahwa demokrasi prosedural sering
digaungkan dalam wacana-wacana bertajuk akuntabilitas, tetapi para penyusun
undang-undang (UU) kurang memikirkan segala dimensi masalah yang mungkin
terjadi.
Akibatnya, antisipasi dalam UU itu
sendiri menjadi tidak lengkap. Ada indikasi bahwa para penyusun UU di
Indonesia kurang mendalami karakter dan kecenderungan sikap warga negara,
partai politik, maupun elite politik. Jika ditelusuri lebih lanjut, ini
merupakan indikator lemahnya mekanisme pelibatan masyarakat sipil dalam
proses penyusunan UU.
Wajar jika kemudian produk
perundang-undangan yang ada cenderung gagal di praktik implementasi. Semoga
ini menjadi pembelajaran bersama terkait pentingnya mengedepankan demokrasi
substantif dalam fase reformasi saat ini di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar