Membangun Jembatan antara Dua Gajah
Mohammad Nasih ; Pengajar di Program
Pascasarjana
Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ;
Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidh
al-Quran Darun Nashihah, Ngaliyan Semarang
|
KORAN
SINDO, 05 Agustus 2015
Di sebagian kalangan ”akar rumput”
dan sesungguhnya juga elite warga Muhammadiyah dan NU, perbedaan afiliasi
organisasi keagamaan Islam tersebut seringkali menyebabkan masalah yang kecil
atau besar bisa mengganggu dalam konteks persatuan umat Islam.
Muhammadiyah dan NU didirikan
dengan niat awal mempersatukan kekuatan untuk memperjuangkan Islam dan umat
Islam secara optimal dengan desain membangun jamaah (kelompok) dalam bentuk
jamjamiyyah (organisasi). Perjuangan besar dan berat tidak mungkin dilakukan
secara sendiri-sendiri. Perlu jamaah yang kuat yang di dalamnya terdapat
banyak elemen yang bisa melakukan sinergi.
Dalam konteks Islam sebagai titik
temu dan sumber yang sama para penganutnya yang memiliki berbagai keragaman,
jamaahjamaah yang dibangun oleh umat Islam seharusnya mensinergikan
keunggulan-keunggulan masing-masing sehingga dihasilkan kekuatan yang jauh
lebih besar yang bisa membuat upaya-upaya perjuangan dakwah Islam menjadi
lebih optimal. Namun, dalam banyak kasus, Muhammadiyah dan NU justru
menyebabkan implikasi yang berkebalikan dengan niat tersebut.
Dengan tetap memandang bahwa
Muhammadiyah dan NU telah memberikan kontribusi positif dan berskala besar
pada kehidupan umat Islam di Indonesia (Muhammadiyah dengan lembaga
pendidikan modern berupa sekolah dan perguruan tinggi, juga rumah sakit
dengan jumlah yang tidak sedikit, dan NU dengan lembaga pendidikan
tradisional berupa pesantren yang sekarang terus dimodifikasi), harus diakui
juga bahwa ada di antara warga Muhammadiyah dan NU, yang jumlahnya tidak bisa
diremehkan, yang telah menjadi bagaikan air dengan minyak sehingga sangat
sulit bersatu.
Sekali lagi, sikap tersebut
disebabkan fanatisme yang berlebihan terhadap organisasi masing-masing.
Implikasi dari sikap tersebut harus diwaspadai bisa menyebabkan prestasi
kontribusi besar tadi jika dikalkulasi dengan dampak negatif yang terjadi
menjadi impas atau bahkan dalam jangka panjang bisa menjadi minus.
Sekadar contoh, faktanya secara
kuantitas, persentase pemeluk Islam di Indonesia terus mengalami penurunan.
Mestinya, dengan keberadaan Muhammadiyah dan NU, persentase umat Islam, di
Indonesia terutama, senantiasa meningkat. Dalam banyak aspek kehidupan,
terutama ekonomi, kondisi umat Islam juga mengkhawatirkan. Idealnya, keduanya
menjadi para pihak yang ”saling memberikan makan”.
Namun, dalam kenyataan, keduanya
seringkali melakukan tindakan ”saling memakan”. Jika pun di permukaan tampak
harmonis dan baik-baik saja, belum tentu itu tidak menggambarkan sedang
terjadi sesuatu yang bisa diibaratkan dengan ”api dalam sekam”.
Seringkali itu sekadar basa-basi
sementara. Ujungujungnya, dalam ihwal yang memiliki implikasi besar kepada
umat, mereka kembali tidak bisa bersatu dan umatlah yang akan mengalami
dampak buruk. Yang terjadi adalah ibarat ”gajah bertarung, pelanduk menjadi
korban.”
Secara umum penyebab warga
Muhammadiyah dan NU sulit bersatu bisa dikategorikan menjadi dua. Pertama,
hal yang berkaitan dengan kepentingan politik. Kepentingan ini bisa dalam
konteks organisasi, juga bisa dalam konteks pribadi-pribadi dengan
mengatasnamakan organisasi.
Inilah
yang tampaknya menjadi awal mula perseteruan antara keduanya meruncing.
Muhammadiyah dan NU, juga organisasi-organisasi Islam lain di Indonesia,
pernah menjalin persatuan dalam politik pada masa awal kemerdekaan dengan
mendirikan satu partai Islam bernama Masyumi.
Dengan
Masyumi sebagai rumah besar bagi umat Islam untuk menyalurkan aspirasi
politik, umat Islam bisa mentransformasikan gagasan-gagasan politik
kenegaraan dengan sumber nilai-nilai Islam tanpa ”tedeng aling-aling”. Namun,
persatuan mengagumkan itu kemudian buyar karena NU merasa mendapatkan bagian
kekuasaan yang tidak proporsional.
NU
merasa diperlakukan secara tidak adil dalam hal ini. Kedua, hal yang
berkaitan dengan ibadah yang sesungguhnya masuk dalam kategori khilafiah yang
bisa dikatakan sebagai hal sepele belaka dan tidak perlu diperpanjang lagi
pembahasannya semisal seputar qunut atau tidak qunut, salat tarawih delapan
atau dua puluh rakaat, dan ihwal lain yang diperselisihkan sebagai bidah atau
tidak bidah.
Sebagian
warga NU misalnya menganggap bahwa salat subuh yang tidak ada bacaan qunut
sebagai tidak sah sehingga orang yang melakukannya dianggap tidak salat
subuh. Dalam praktik kehidupan di kalangan masyarakat bawah, hal ini ternyata
menyebabkan persoalan yang terbilang serius.
Penulis
memiliki pengalaman pribadi yang cukup menarik berkaitan dengan qunut ini.
Suatu ketika penulis pulang kampung dan menjadi imam salat subuh di musala di
depan rumah yang jamaahnya adalah keluarga penulis yang semuanya aktivis NU
dan tetangga sekitar yang seluruhnya warga NU.
Namun,
penulis lupa membaca qunut. Sedangkan para jamaah tersebut mendengar
informasi bahwa setelah penulis ”keluar kampung”, penulis telah ”menjadi
Muhammadiyah”. Karena itu, walaupun mereka tidak berani protes karena tidak
ada bacaan qunut, mereka kemudian mengulangi salat subuh mereka karena
anggapan bahwa salat subuh yang tidak terdapat qunut di dalamnya adalah
batal.
Karena
peristiwa itu, setiap saya pulang kampung dan menjadi imam salat subuh, ibu
penulis selalu mengingatkan melalui sebuah bisikan, persis sebelum takbiratul
ihram, agar penulis jangan sampai tidak membaca doa qunut.
Namun,
karena penulis telah menganggap biasa salat subuh dengan atau tanpa membaca
qunut dan itu juga merupakan pendapat salah satu dari empat mazhab besar yang
diikuti oleh NU, qunut tidak menjadi sesuatu yang mesti mendapatkan
perhatian.
Karena
itu, suatu saat, ketika ibu penulis telah merasa bahwa penulis tidak perlu
diingatkan lagi, beliau tidak mengingatkan penulis lagi. Namun, karena tidak
diingatkan itu, penulis benar-benar lupa tidak membaca qunut.
Karena
khawatir jamaah menganggap bahwa salat subuh mereka tidak sah, pagi itu
setelah salat dan berdoa sebagaimana biasanya penulis langsung berbalik badan
dan mengucap salam sebagai penanda bahwa penulis akan menyampaikan sesuatu
agar jamaah tidak melakukan aktivitas lain terlebih dulu.
Saat
itulah penulis menyampaikan bahwa salat subuh tidak menggunakan qunut tetap
sah. Penulis katakan bahwa jika mereka nanti haji atau umrah ke Tanah Suci,
baik di Masjidilharam maupun Masjid Nabawi tidak ada salat subuh menggunakan
qunut.
Jadi,
kalau pandangan bahwa salat subuh tanpa qunut adalah tidak sah tetap mereka
pertahankan, setiap hari mereka akan mengulang salat setelah salat jamaah di
dua masjid yang paling banyak dikunjungi umat Islam tersebut. Tampaknya,
penjelasan penulis tersebut benar-benar mendapatkan perhatian yang cukup
baik, terlihat dari pandangan mata mereka yang tidak seperti biasanya.
Setelah
itu, penulis tidak perlu lagi merasa khawatir yang berlebihan jika menjadi
imam di musala di depan rumah tanpa menggunakan qunut walaupun jika tidak
benar-benar lupa, penulis selalu membaca qunut dalam salat subuh bersama
mereka.
Karena
realitas itu, perlu ada jembatan antara keduanya sehingga warga kedua
organisasi ”gajah” tersebut bisa bertemu untuk mendialogkan berbagai
permasalahan yang bisa dan biasanya memicu kesalahpahaman sehingga keduanya
bisa benar-benar berlomba-lomba dalam kebaikan (al- Baqarah: 148) sebagaimana
jargon Muhammadiyah dan bersatu-padu dengan berpegang teguh pada tali Allah
(Ali Imran: 103) sebagaimana jargon NU guna membuat satu ikatan yang kuat
untuk melaksanakan dakwah amar maamar
maruf nahi munkar.
Jembatan
tersebut bisa dibangun oleh warga Muhammadiyah dan NU sendiri maupun oleh
pihak lain dengan tanpa menggunakan embel-embel Muhammadiyah maupun NU yang
memiliki perspektif yang cukup untuk mempertemukan antara keduanya dalam
forumforum bersama antara warga kedua organisasi itu.
Dari
kebiasaan untuk menjalankan aktivitas bersama-sama tersebut, diharapkan akan
lahir sikap saling memahami dan terbangun kerja sama dan sinergi. Jika mereka
kepada umat beragama lain saja bisa bertoleransi juga bisa bekerja sama,
bahkan tanpa mendahuluinya dengan upaya dakwah, sungguh sangat aneh bila
dengan sesama muslim justru saling mencurigai dan menjelekkan.
Justru
yang kemudian harus dibangun adalah membangun persatuan antara seluruh elemen
umat Islam untuk mendesain upaya-upaya dakwah yang lebih baik. Setelah upaya
tersebut dijalankan dengan optimal, barulah toleransi menjadi pilihan
terakhir.
Dengan
cara inilah, dakwah amar mamaruf nahi munkar dalam segala bentuknya akan bisa
dijalankan dengan lebih baik. Wallahu
aWallahu alam bi alshawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar