Pembangunan dan Kerja
Bandung Mawardi ;
Esais
|
KORAN
TEMPO, 22 Agustus 2015
Pada 18 Agustus 1945,
Sukarno-Hatta menandatangani Makloemat Kepada Rakjat Indonesia, yang berisi
empat kalimat. Maklumat memberi penerangan tentang tujuan kemerdekaan. Kita
membaca ada penguatan makna merdeka dan pembangunan. Kalimat pertama:
"Dengan ini dimakloemkan bahwa pembangoenan negara Indonesia merdeka
jang dikehendakkan oleh rakjat sekalian diwaktoe ini sedang didjalankan
dengan saksama." Penggunaan istilah "saksama" berkesan
pemerintah memang serius dan bertanggung jawab. Semula, istilah itu sudah
muncul di teks proklamasi, 17 Agustus 1945. Saksama bisa berarti cermat,
hati-hati, teliti, akurat, atau jitu (Eko Endarmoko, 2006). Dua teks konsisten
menggunakan istilah "saksama". Barangkali istilah itu paling manjur
untuk membuktikan kemerdekaan dan pembangunan.
Istilah pembangunan
tentu bertaut ke lirik lagu gubahan W.R. Soepratman: "bangoenlah
djiwanja, bangoenlah raganja". Pemilihan istilah dan pemaknaan
pembangunan dalam maklumat tampak menjelaskan situasi genting, sehari setelah
Indonesia merdeka. Kekacauan masih terjadi. Kebingungan masih melanda jutaan
orang untuk mengekspresikan kemerdekaan. Para pemimpin belum terlalu memiliki
modal mengartikan merdeka. Proklamasi segera digenapi penetapan UUD 1945 dan
pembentukan kabinet. Pembangunan mesti segera dimulai dengan kepastian
Indonesia telah merdeka, tak lagi diperintah Belanda atau Jepang. Di ujung
maklumat, Sukarno-Hatta berlaku sebagai pemimpin bijak: "Diharap
sekalian rakjat Indonesia dari segala lapisan tinggal tenteram, tenang,
siap-sedia dan memegang tegoeh disiplin." Pembangunan dipastikan dimulai
dengan seribu impian.
Indonesia adalah
"negara belia", bergerak masih lambat dan rawan terkena kutukan
bernama pesimisme. Sukarno-Hatta bekerja dan berbakti. Para menteri
menjalankan tugas-tugas berat. Para petani menunaikan pembangunan di sawah.
Butuh-buruh bekerja. Indonesia berlakon pembangunan meski masih sulit menepis
kemiskinan, kelaparan, dan kebodohan. Pembangunan selalu diharapkan saksama,
tak sembrono atau serampangan. Pada 10 November 1945, Sutan Sjahrir
mengingatkan: "Bagi rakjat djelata njata bahwa sembojan merdeka itoe
tidak sadja berarti negara Indonesia jang berdaoelat, poen tidak poela sadja
bendera merah-poetih baginja berarti simbol persatoean dan tjita-tjita bangsa
dan negara, akan tetapi teroetama kemerdekaan dirinja sendiri dari
sewenang-wenang, dari kelaparan dan kesengsaraan, dan merah-poetih baginja
teroetama simbol perdjoeangannja itoe, jaitoe perdjoeangan kerakjatan."
Sjahrir menilai agenda-agenda pembangunan belum sukses.
Kini, sejarah
Indonesia sudah bergerak jauh. Usia 70 tahun diartikan oleh Joko Widodo
dengan kerja, tak lagi meniru penggunaan istilah pembangunan. Soeharto sudah
terlalu "memiliki" dan "membakukan" pembangunan selama 32
tahun. Joko Widodo memilih kerja, berharap bisa membuktikan janji kemerdekaan
demi berbakti kepada ratusan juta orang Indonesia. Istilah kerja telanjur
tercantum dalam dokumen dan spanduk meski pesimisme masih melanda. Barangkali
Joko Widodo, menteri, gubernur, bupati, dan wali kota harus semakin
"saksama" dalam kerja. Kita ingin "saksama" bermula
dengan kesungguhan dan keikhlasan demi kemuliaan Indonesia. Kerja itu pembuktian,
tak melulu pidato singkat atau tulisan di ribuan spanduk! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar