70 Tahun Tenun
Keindonesiaan
Asep Salahudin ;
Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren
Suryalaya Tasikmalaya; Dosen di FISS Unpas Bandung
|
KOMPAS,
22 Agustus 2015
Kalau ada sebuah
bangsa yang menjadi panggung interaksi semua agama, etnisitas, dan lintas
budaya, maka ia Indonesia. Kalau ada sebuah bangsa yang memiliki ratusan
pulau membelah garis Khatulistiwa, dengan bahasa dan kultur bahkan warna
kulit yang tidak serupa tetapi masih sepakat bersatu, maka ia Nusantara.
Kalau ada sebuah
negara yang wujudnya masih tegak padahal "hanya" ditenun semboyan
silam Bhinneka Tunggal Ika yang dianggit dari kitab Sutasoma Empu Tantular
abad ke-14, maka ia NKRI. Kalau ada sebuah nation yang seluruh warganya bisa dipersatukan
falsafah Pancasila, maka ia negara
Indonesia.
Namun, juga harus
dikatakan bahwa kalau ada sebuah negeri
dengan kekayaan sumber daya alam melimpah tapi rakyatnya berada dalam
indeks garis kemiskinan yang parah, maka lagi-lagi ia Indonesia. Bangsa
dengan kesuburan tanah yang bisa menanam apa pun jenis tumbuh-tumbuhan, tapi beras, kedelai, dan
aneka buah ternyata harus impor dari negara lain.
Kalau ada sebuah
negara dengan Ketuhanan Yang Maha Esa
bertengger sebagai sila pertama dasar negaranya, tapi setiap hari
berita yang menerpa adalah ihwal korupsi yang tidak pernah berhenti, anggaran
negara yang selalu dikemplang, dan tingkah kerumunan politikus yang lebih mengerikan dari monster sekalipun,
maka harus dengan jujur ditulis bahwa
kawasan itu adalah negeri kepulauan yang saat ini merayakan ulang
tahun ke-70 kemerdekaannya.
Gambaran paradoks
Sungguh Indonesia
menggambarkan tentang situasi yang serba ambigu dan nyaris kita selalu
kesulitan dari mana sesungguhnya benang kusut itu harus diurai. Kita
senantiasa tersekap dalam kegamangan yang tak berkesudahan, dalam sikap diri
yang seolah-olah tak punya kemampuan menurunkan norma-norma yang baik menjadi bagian akhlak keseharian.
Sekian undang-undang
dan aturan yang kita bikin sekaligus
agama yang menjadi pegangan seperti
menguap tanpa bekas. Berhenti sebatas penataran dan khotbah. Pancasila
pun alih-alih menjadi jalan kebudayaan, malah hanya menyisakan sekadar
monumen yang dikunjungi setiap 1 Juni lengkap dengan gemuruh upacara,
retorika murahan, dan pekik pidato
yang diulang-ulang.
Ketika manusia
pergerakan mencanangkan "Indonesia merdeka", maka sesungguhnya
lengkap di dalamnya upaya mewujudkan cita-cita luhur tergelarnya kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan, musyawarah mufakat, hikmah kebijaksanaan,
dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia yang seharusnya
dibentangkan dengan rute yang jelas, tegas, dan terukur.
Kita sangat tak habis
pikir membaca artikulasi politik kaum pejuang ketika merumuskan
keindonesiaan. Dengan fasilitas ala kadarnya tapi mampu bikin trayektori
politik imajinatif, bisa meretas jalan keindonesiaan yang bukan saja tepat,
melainkan sangat kontekstual, revolusioner, dan visioner.
Di bawah ancaman
Hindia Belanda dengan kekuatan senjata yang masih kukuh tidak kemudian
membuat nyali mereka ciut, tapi kian menyala-nyala. Bagaimana Bung Karno
lewat Klub Studi Bandung dan pamflet yang terus dibikin dengan
bahasa radikal untuk menyulut
kesadaran massa pada akhirnya harus dihadapkan ke pengadilan pada Agustus
1930.
Dengan lantang diungkapkannya,
"...Kami punya pidato-pidato bukanlah pidato paderi di dalam gereja atau
pidato juru khotbah di dalam masjid. Kami adalah nasionalis revolusioner,
nasionalis yang radikal, nasionalis kepala banteng! Kami punya bahasa adalah
bahasa yang keluar dari kalbu yang berkobar-kobar dengan semangat nasional,
berkobar-kobar dengan rasa kecewa atas celaka dan sengsara rakyat."
Tak kalah garang Bung
Hatta pada 9 Maret 1928 melalui pembelaannya di Mahkamah Den Haag bukan saja
jiwanya disulut keberaniannya yang
tanpa batas, tapi juga iman kebangsaannya yang tak pernah lekang, "Bahwa
kekuasaan Belanda akan berakhir, bagi saya hal itu sudah pasti. Soalnya bukan
iya atau tidak, tapi cepat atau lambat. Janganlah Nederland memukau diri
bahwa kekuasaan kolonialnya akan kukuh
kuat sampai akhir zaman."
Demikian juga Sutan
Sjahrir, Tan Malaka, Amir Sjarifuddin, Natsir, Muhammad Yamin, Wahid Hasyim,
Soedriman, Otto Iskandar Dinata dengan cara masing-masing memburu mimpi
keindonesiaan dalam tenun kebersamaan.
Bahkan, dalam kasus
Tan Malaka, sosok yang pertama kali menulis "Indonesia
Merdeka" dalam Naar de Republiek
Indonesia (1924) dan disebut-sebut Bung Karno sebagai "seorang yang
mahir dalam revolusi" bukan saja tak mencicipi masa kemerdekaan yang
diperjuangkannya selama 30 tahun tanpa lelah untuk bangsanya, tetapi juga
dengan sangat tragis harus mati di tangan bangsanya sendiri dalam sebuah
kemelut yang gelap.
"Kemerdekaan"
bukan sebagai hadiah dari kolonial, tapi diperjuangkan dengan raga dan roh.
Chairil Anwar dengan bagus memotret pergulatan kaum pejuang itu dalam
"Aku": ...biar peluru menembus kulitku/aku tetap meradang
menerjang/luka dan bisa kubawa berlari/berlari/hingga hilang pedih peri/dan
aku akan lebih tidak peduli/aku mau hidup seribu tahun lagi.
Kemerdekaan dan
proklamasi yang digelorakan dari Gang Pegangsaan oleh Soekarno dan Hatta atas
nama seluruh rakyat Indonesia bukan kata tanpa rajah, melainkan di
belakangnya terhampar keniscayaan para pewarisnya mengelola keindonesiaan
dengan politik lurus.
Politik tentu tidak
harus selalu diidentikkan dengan perebutan kekuasaan lewat sirkulasi
kekuasaan demokrasi pemilu lima tahunan atau melalui pilkada, tapi tak kalah
pentingnya bagaimana menjadikan politik itu sebagai tindakan (dan kebijakan)
harian untuk mempercepat massa menemukan peluang ekonomi, budaya, dan harkat sosial. Politik
adalah siasat etik, bukan konspirasi licik. Cara menggapai keutamaan.
Termasuk politik
adalah sikap bagaimana kita sebagai warga memperlakukan "liyan"
secara lapang dan penuh tanggung jawab. Bahwa liyan secara ontologis bukanlah
orang lain (mereka) yang diperlakukan secara berbeda apalagi diskriminatif,
tapi liyan sejatinya adalah bagian eksistensial dari tubuh kita, dari cara
kita "mengada". Lewat tubuh liyan, kita satu sama lain saling
menemukan keunikan diri, saling belajar dan berempati, menuju sukma keindonesiaan yang majemuk. Liyan menjadi
ruang kebersamaan melakukan transendensi.
Sebuah pertanyaan
Tujuh puluh tahun usia
yang tidak lagi bisa dianggap muda. Usia yang telah menghabiskan enam
presiden dan Joko Widodo yang ketujuh. Tidaklah keliru kalau rezim sekarang
mengenang masa depan dengan cara menating ingatan silam generasi pertama
dalam mengusung pemerintahannya, revolusi mental dan Nawacita, sekaligus
mengingatkan pentingnya kembali ke laut selaras dengan karakter negeri
bahari, memastikan kehadiran negara dalam penegakan hukum, tidak ada lagi
politik diskriminasi.
Sejauh mana program
ini berhasil diimplementasikan? Jawabannya harus didiskusikan dengan kepala
jernih agar setiap kekuasaan tak terkena kutukan: mendaur ulang kesalahan
yang sama. Supaya kemerdekaan terhindar dari utopia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar