Bersiasat dengan Konflik
Ito Prajna-Nugroho ;
Peneliti Bidang Filsafat Politik dan Teori
Konflik
pada Lembaga Studi Terapan
Filsafat
|
KORAN
TEMPO, 22 Agustus 2015
Sekitar 5 tahun lalu,
kelompok kajian khusus tentang konflik yang bernaung di bawah bendera sebuah
lembaga internasional, ViCIS (Violent Conflict in Indonesia Study),
menerbitkan laporan singkat untuk panduan kebijakan nasional. Laporan singkat
itu menyampaikan bahwa demokratisasi dan otonomi daerah telah mengubah peta
konflik, dan membuat konflik di Indonesia menjadi lebih bersifat lokal,
berskala kecil, tapi sporadis menyebar di sana-sini. Api yang akan membakar
konflik-konflik tersebut adalah persoalan keadilan sosial dan ketimpangan
ekonomi. Laporan itu, sebagaimana nasib kebanyakan hasil studi di Indonesia,
mungkin telah masuk arsip entah di mana, luput dari perhatian.
Sebagai negara yang
bhinneka dalam hal suku bangsa, muda dalam hal demokrasi, setiap peringatan
dini akan konflik layak mendapatkan perhatian khusus. Beberapa kasus konflik
yang terjadi selama pemerintahan Joko Widodo mengafirmasi simpulan penelitian
tersebut. Sebut saja kasus konflik di Batam, Paniai, Tolikara, dan Kampung
Pulo belum lama ini. Belum lagi besarnya kemungkinan konflik yang dapat
muncul menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 9 Desember
nanti. Apalagi situasi ekonomi yang semakin berat membuat banyak warga
tergelincir ke tingkat bertahan hidup (survival)
sehari-hari.
Akar konflik biasanya
diasalkan ke persoalan separatisme dan radikalisme, atau ke tuntutan
kesejahteraan dan pemerataan, yang semuanya terkait dengan persoalan ekonomi.
Meski tentu benar motif ekonomi meresap di balik hampir setiap konflik, satu
dimensi yang sering luput diperhitungkan dalam menghadapi kerentanan konflik
adalah dimensi sosial-budaya. Semakin seseorang terdesak kebutuhan survival, dia akan semakin abai
terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan semakin acuh terhadap norma-norma
sosial-budaya. Desakan tuntutan hidup sering kali membuat manusia berubah
brutal, tanpa ia sadari. Penyebabnya sederhana, nilai budaya tidak lagi
memiliki relevansi dalam menopang pergulatan hidup yang paling dasar.
Mekanisme penghargaan-diri dan penghargaan sosial yang awalnya membuat
seseorang bersedia berkompromi mematuhi nilai-nilai sosial budaya, kini tidak
lagi mampu memberikan makna dan terang budi bagi pergulatan kelangsungan
hidup di tingkat dasar. Asimetri, atau ketidakseimbangan di antara brutalnya
pergulatan hidup dan mulianya tuntutan sosial, inilah akar dari segala disorientasi
dan konflik.
Menghadapi asimetri
sosial-budaya ini, beberapa terobosan negara dalam menyiasati konflik patut
diacungi jempol. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Direktorat
Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya, secara intensif pernah menyelenggarakan
program "Internalisasi Nilai Damai" di seluruh daerah rawan konflik
di Indonesia sekitar 2013 hingga 2014. Demikian juga Kementerian Pertahanan
saat ini mulai menggiatkan kembali panji "Bela Negara" dan mulai
menyiapkan infrastruktur terkait untuk mendukung program tersebut, seperti
Pusdiklat Bela Negara.
Namun, dalam
permasalahan konflik, pengelolaan di tingkat mikro (micro management) jauh lebih dibutuhkan daripada konsep-konsep
makro mengenai teori kebudayaan dan pertahanan. Ini juga berarti perlunya
efektivitas kerja sama antar-kementerian, dan terobosan-terobosan program
lintas kementerian yang langsung menyentuh masyarakat di semua lapisan
sosial. Di tingkat mikro manajemen ini, pertahanan bermakna lebih dari
sekadar pameran alutsista, dan kebudayaan bermakna lebih dari sekadar
pergelaran.
Efektivitas penerapan
program lintas-kementerian di aras mikro adalah kunci dalam bersiasat dengan
konflik baik di tingkat lokal maupun nasional. Ini juga berarti hambatan
psikologis, yaitu ego sektoral masing-masing kementerian, harus mengalah demi
tujuan yang lebih besar, yaitu keutuhan Republik. Seperti telah dibuktikan
sepanjang sejarah peradaban manusia, rahasia keberhasilan suatu siasat
terletak pada kepemimpinan.
Berhadapan dengan
kerentanan konflik, layaknya musuh tersembunyi yang dapat menyergap di mana
saja, kapan saja, kualitas kepemimpinan Joko Widodo sebagai pengemban
tanggung jawab tertinggi di Republik ini mungkin akan diuji hingga ke batas
terjauhnya. Apalagi pepatah kuno peninggalan peradaban Romawi pernah
mengatakan bahwa retaknya suatu bangsa tidak berasal dari bangsa lain,
melainkan bersumber dari dalam bangsa itu sendiri.
Bersiasat dengan
konflik, atau menyiasati benturan antar-kepentingan, menjadi tanggung jawab
berat yang harus ditanggung pemimpin, siapa pun dia. Siasat untuk menyiasati
konflik ini selayaknya juga menyadarkan para elite politik untuk berhenti
bersiasat satu sama lain. Sebab, terlalu besar pengorbanan yang harus dibayar
dari setiap tetes darah dan air mata yang tertumpah akibat konflik yang
terlambat diantisipasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar